Contents
IBU SAMBUNG
Part 7
Aldebaran bergegas masuk ke kantor polisi setelah mendapat kabar bahwa pria yang melakukan pengejaran terhadap Andin sudah ditemukan dan sedang diinterogasi. Aldebaran benar-benar ingin tahu sosok pria itu. Saat memasuki sebuah ruangan yang ditunjuk salah satu petugas, Aldebaran terbelalak saat melihat rekan bisnisnya duduk berhadapan dengan polisi.
"Pak Nino? Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Aldebaran dengan mimik keheranan.
Pria yang disapa Nino berdiri dengan ekspresi terkejut. "Pak Aldebaran? Kenapa Anda bisa ada di sini?"
Polisi yang tengah menginterogasi Nino, terheran-heran melihat interaksi keduanya. "Apa Bapak berdua ini saling kenal?"
"Benar, Pak. Pak Nino ini salah satu rekan bisnis saya," Aldebaran menjawab dengan anggukan kepala, lalu terdiam sejenak saat dia menyadari hanya ada Nino di ruangan tersebut selain polisi. Untuk memastikannya, dia bertanya, "Apa dia yang Bapak maksud di telepon tadi?"
"Iya, Pak. Kami sudah menyelidiki semuanya sampai tuntas. Semua bukti rekaman CCTV dan saksi mengarah ke Pak Elnino Prasetya," jelas polisi itu.
Aldebaran tercengang. Tak menyangka jika Nino yang dia kenal sangat berwibawa dalam bisnis, ternyata punya sekelumit masalah dengan seorang wanita hingga membuat wanita itu celaka dan hilang ingatan. Bahkan, wanita itu masih terbaring di rumah sakit tanpa ada siapa pun yang menjenguknya.
Nino menatap polisi dan Aldebaran bergantian. Dahinya berkerut dalam. "Maaf, ini maksudnya apa, ya? Saya tidak mengerti. Ada hubungan apa Pak Aldebaran dengan kecelakaan itu?"
Sebelum menjelaskan perkaranya, sang polisi mempersilakan Aldebaran dan Nino duduk. "Begini, Pak. Korban mengalami kecelakaan tepat di depan rumah Pak Aldebaran. Beliau sendiri yang membawa korban ke rumah sakit. Kesimpulannya, Pak Aldebaran yang telah menyelamatkan nyawa korban."
Nino terenyak dalam hening. Itu berarti Aldebaran tahu tentang Andin dan dia selamat sekarang? Ah, syukurlah. Seenggaknya, aku enggak dirundung rasa bersalah karena sudah mencelakainya, simpulnya dalam hati.
"Saya tidak menyangka Anda tega melakukan hal keji terhadap seorang wanita, Pak Nino. Saya pikir Anda termasuk kolega yang berwibawa dan cerdas dalam berbisnis. Ternyata, pikiran saya salah. Anda tidak ada bedanya dengan komplotan penjahat," ujar Aldebaran dengan nada ketus.
Nino tidak terima dengan kata-kata Aldebaran yang bernada sarkastis. Matanya nyalang memandang Aldebaran. Rahang di wajahnya mengeras. Darah di dalam tubuhnya terasa panas. "Anda tidak tahu apa-apa tentang permasalahan yang sebenarnya. Sebaiknya, Anda tidak ikut campur dengan urusan saya dan Andin," balasnya dengan emosi yang tertahan.
Aldebaran tersenyum tipis. Sikapnya begitu santai menanggapi tatapan Nino kepadanya. "Apa Anda tahu akibat dari perbuatan Anda, Pak Nino? Andin mengalami koma selama dua hari. Setelah sadar, apa Anda tahu yang terjadi selanjutnya? Andin amnesia. Bahkan, dia tidak ingat apa pun, termasuk namanya sendiri. Apa Anda sama sekali tidak memikirkan kondisi kesehatan Andin?"
Kesabaran Nino sudah di ambang batas. Dia paling tidak suka ada yang mencampuri urusannya. "Sudah saya katakan! Kalau Anda tidak tahu pokok permasalahannya, lebih baik Anda diam daripada menuduh saya sebagai penyebab kecelakaan Andin. Dia yang melompat sendiri dari mobil saya. Jadi, bukan salah saya jika dia ditabrak pick up," cecarnya dengan lantang. Dia benar-benar geram dengan sikap Aldebaran yang sok tahu dan ikut campur.
Aldebaran tertegun dengan penuturan Nino. Andin melompat dari mobil? Besar sekali nyali dia! Namun, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka sampai Andin berbuat nekat seperti itu?
Sebelum Aldebaran kembali membalas Nino, sang polisi segera menengahi perdebatan sengit mereka. "Maaf, Pak Aldebaran. Saya menghubungi Anda bukan untuk berdebat dengan Pak Nino, melainkan ingin menunjukkan siapa pelaku itu. Untuk interogasi kasus ini, serahkan saja kepada kami! Kami akan mengurusnya."
"Baik, Pak." Aldebaran memilih diam dan mengikuti aturan.
Selama interogasi berlangsung, Nino berkali-kali membantah tuduhan yang dilontarkan polisi kepadanya dan mengelak bahwa dia tidak bersalah. Bahkan, dia terus membela diri atas perbuatan yang dia lakukan adalah benar. Dia hanya menginginkan Andin sebagai pasangannya.
Aldebaran termenung, memikirkan nasib Andin saat bersama Nino sebelum kecelakaan itu. Dia membayangkan seandainya dia yang berada di posisi Andin saat itu, dia juga pasti akan menolak Nino. Siapa yang mau jadi pasangan dengan perangai buruk seperti Nino? Hati kecilnya pun menjadi iba dengan Andin. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Andin hingga tidak menyadari kini dia berada di halaman parkir rumah sakit, seperti ada yang menggerakkan dia untuk kembali menemui Andin. Dia terheran sejenak, merenungkan dirinya sendiri yang agak berubah setelah beberapa hari mengenal sosok Andin.
Ketika melewati lobi, Aldebaran tidak sengaja mendengar seseorang menyebut nama lengkap Andin. Langkahnya pun terhenti. Dia langsung menoleh ke meja resepsionis dan menatap dua orang yang tampak seperti suami-istri sedang mencemaskan sesuatu. Aldebaran membatin, siapa mereka? Kemudian, dia melanjutkan langkah, menghampiri dua orang tersebut.
"Maaf, Bapak dan Ibu ini kenal dengan Andin?" tanyanya dengan ramah.
Dua orang tersebut menoleh, memandang Aldebaran dengan tatapan heran. Mereka merasa tidak mengenal sosok pria berjas hitam yang berdiri di depan mereka. Namun, dari mana dia tahu tentang Andin?
"Ya, saya Surya, papanya Andin dan," Surya memperkenalkan wanita di sebelahnya, "ini istri saya, Sarah. Apa kamu tahu keberadaan Andin, putri saya?"
Aldebaran mengangguk. "Ya, saya tahu, Om. Mari, ikut saya! Saya akan tunjukkan ruangannya."
Surya dan Sarah saling bertukar pandang. Mereka tiba-tiba merasa ragu dengan ucapan Aldebaran karena tidak mengenal sosok Aldebaran sebelumnya. Bagaimana mereka bisa langsung memercayai ucapan orang asing? Bisa saja, kan, dia punya niat tidak baik dengan pura-pura mengenal seseorang yang sedang mereka cari, lalu menghipnotis mereka atau membawa mereka ke suatu tempat? Namun, melihat penampilan Aldebaran yang begitu rapi dengan balutan jas, mereka merasa Aldebaran tipe orang baik-baik. Akhirnya, mereka pun memilih mengikuti langkah Aldebaran yang sudah berdiri di depan lift.
Sudah beberapa tahun berbisnis dan bertemu banyak orang, Aldebaran tahu keraguan yang dirasakan oleh Surya dan Sarah karena tampak jelas di wajah suami-istri itu. Sembari menunggu pintu lift terbuka, Aldebaran berkata, "Om dan Tante pasti bingung siapa saya dan dari mana mengenal Andin."
Surya dan Sarah terdiam, seolah membenarkan ucapan Aldebaran meski tidak menjawabnya.
Aldebaran mengulurkan tangan dan langsung disambut hangat oleh Surya dan Sarah. "Perkenalkan, nama saya Aldebaran Alfahri. Saya tidak mengenal Andin. Dia mengalami kecelakaan di depan rumah saya dan saya yang membawa dia ke rumah sakit ini."
Surya tercengang, sementara Sarah menutup mulutnya yang ternganga.
"Jadi, Andin benar-benar kecelakaan?" tanya Surya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Tubuhnya mendadak limbung, cepat-cepat ditahan Sarah. "Bagaimana keadaannya sekarang?"
Aldebaran menghela napas pelan. "Andin amnesia, Om."
Air mata Surya tak terbendung lagi dan keluar membasahi pipinya. Beberapa hari sebelumnya, Andin pamit akan pergi mengajar. Namun, tidak pulang-pulang lagi ke rumah. Setelah mendapat kabar dari pihak kepolisian bahwa Andin mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit ini, mereka langsung ke sini. Namun, apa yang barusan mereka dengar seperti bom waktu yang meledak dan menghentikan semua saraf di tubuhnya.
"Om, Tante, kalau ketemu Andin nanti, tolong jangan ungkit masalah kecelakaan dulu, ya! Kesehatan dia belum begitu pulih. Satu lagi, tolong anggap saya sebagai suaminya Andin."
Surya spontan melayangkan tatapan tajam ke Aldebaran. "Apa maksud kamu?"
"Maaf sebelumnya, Om. Saat sadar dari koma usai dioperasi, Andin menanyakan siapa saya. Tidak mungkin saya mengatakan kejadian yang sebenarnya. Jadi, saya mengaku sebagai suaminya. Itu pun refleks keluar begitu saja, Om. Saya tidak bermaksud memanfaatkan keadaan Andin. Mohon pengertiannya, Om."
Surya memegang dadanya sebelah kiri yang terasa nyeri. Sarah jadi panik. "Kenapa, Pa?"
Helaan napas berulang-ulang keluar dari mulut Surya seraya menetralkan rasa nyeri di dadanya. "Papa enggak apa-apa, Ma. Papa cuma syok aja dengan keadaan Andin."
Ketika sampai di dalam ruangan Andin, Rosa berdiri menyambut kedatangan Surya dan Sarah meski dia tidak tahu siapa dua orang tersebut. Aldebaran terkesiap melihat Reyna yang tidur di pelukan Andin.
"Reyna yang minta dipeluk Andin, Al. Lihatlah, dia begitu nyenyak. Dia udah lama merindukan saat-saat seperti ini," ucap Rosa dengan nada lirih dan penuh iba, menjawab keterkejutan Aldebaran.
Aldebaran tahu Reyna yang sudah lama mendambakan kehangatan seorang ibu karena dia masih kecil sekali saat ditinggal ibunya pergi. Hatinya terenyuh melihat ketulusan Andin yang rela berbagi kasur dengan Reyna yang jelas bukan siapa-siapa. Bahkan, Reyna begitu nyaman berada di dekapan Andin. Mereka tampak seperti ibu dan anak.
"Maaf, Bapak dan Ibu ini keluarganya Andin?" tanya Rosa dengan senyum ramah.
"Iya, saya Surya dan ini istri saya, Sarah. Kami orang tuanya Andin," jawab Surya dan Sarah balas dengan tersenyum.
"Itu betul, Ma. Kami ketemu di lobi tadi dan aku langsung ngajak mereka ke sini," tambah Aldebaran.
Rosa mempersilakan Surya dan Sarah untuk duduk di sofa yang berada di ruangan tersebut. Aldebaran sengaja memesan kamar yang setara dengan kamar hotel berbintang agar siapa pun nyaman saat menunggu Andin.
"Tadi kamu pergi ke mana, Al?" tanya Rosa.
"Ke kantor polisi, Ma. Aku udah ketemu sama pelaku yang menyebabkan Andin kecelakaan."
Surya terbelalak. "Benarkah itu, Al? Siapa orangnya?"
"Elnino Prasetya."