Try new experience
with our app

INSTALL

IBU SAMBUNG 

Part 6

Andin duduk bersandar pada tumpukan bantal di punggungnya. Tatapannya ke arah kaca jendela, menerawang ke gedung-gedung bertingkat yang berada tak jauh dari rumah sakit, tempat dia dirawat.

Dua hari pasca dia sadar, Aldebaran tidak pernah menampakkan diri lagi ke hadapannya. Ke mana pria itu pergi? Apakah dia sudah bosan menunggu dan mencari wanita lain?

Helaan napas berat keluar dari mulut Andin. Sudah dua malam, tidurnya tidak begitu nyenyak. Selain berbagai spekulasi tentang Aldebaran yang sering kali mengganggu pikirannya, sosok pria misterius yang muncul di dalam mimpinya juga pemicunya.

Bila dikaitkan dengan mimpinya, sosok pria itu berbeda sekali dengan Aldebaran. Pria itu tampak kejam, bersikap kasar, dan membentaknya. Sementara, Aldebaran sosok yang ramah, lembut saat berbicara, dan baik. Begitulah yang Andin nilai dari penglihatannya saat Aldebaran mengenalkan diri sebagai suaminya. Lantas, siapa pria yang selalu menghantui mimpinya? Tidak mungkin suaminya karena Aldebaran yang menempati posisi tersebut.

Andin benar-benar bingung. Terlebih lagi, dia hanya sendirian di ruangan itu tanpa seorang pun yang datang menjenguknya. Apakah dia tidak punya saudara atau keluarga lain selain Aldebaran? Apakah dia punya anak dari pernikahannya dengan Aldebaran?

Ketika banyak pertanyaan yang melintasi pikirannya, suara gagang pintu yang terbuka mengalihkan atensi Andin. Sosok suami yang dia tunggu, akhirnya datang juga. Senyumnya mengembang kala Aldebaran membawa sebuket mawar merah berukuran besar.

"Untuk kamu," kata Aldebaran sembari menyerahkan buket itu.

"Makasih." Andin menghidu dalam-dalam aroma segar yang menguar dari kelopak mawar.

"Hai, Andin!" Rosa menyapa dengan tersenyum ramah, berdiri di samping Aldebaran.

Karena terfokus dengan kedatangan Aldebaran, Andin sampai tidak menyadari ada dua orang yang datang bersama Aldebaran.

"Ibu ini siapa?" Pandangan Andin beralih ke gadis kecil yang menatapnya berbinar. "Siapa si cantik ini?"

"Saya Rosa, ibunya Aldebaran, dan anak kecil ini adalah anaknya Aldebaran. Reyna namanya," jelas Rosa.

"Aldebaran? Siapa?" Andin menatap ketiga orang itu bergantian.

"Maaf, aku belum mengenalkan diri. Namaku Aldebaran Alfahri," jawab Aldebaran, cepat.

Andin sama sekali tidak bereaksi apa pun saat Aldebaran menyebut namanya, beda saat Aldebaran menyebut nama lengkapnya dua hari yang lalu. Andin mengalihkan topik. "Jadi, Reyna ini anakku dengan Aldebaran?" simpulnya.

Pertanyaan Andin seketika membuat Rosa dan Aldebaran bertukar tatap, sama-sama bingung mau menjawab apa. Ini semua bermula dari pengakuannya sebagai suami Andin secara spontan sampai-sampai harus menyeret ibunya ke dalam kebohongan ini. Untung saja, dia sudah menceritakan kebohongannya kepada Rosa sehingga Rosa tidak terkejut dengan pertanyaan Andin.

Rosa menatap Aldebaran sebelum menjawab, "Iya, Reyna anak kalian."

Reyna yang tidak tahu apa-apa dengan situasi yang terjadi di antara mereka, hanya bengong dan diam saja. Dia menarik tangan Rosa agar mendekatkan telinga ke mulutnya. "Apa maksud Oma tadi? Tante ini, kan, bukan mama aku, Oma." Meski masih kecil, dia cukup pandai memahami keadaan Andin yang masih sakit. Jadi, dia berbisik agar tidak menyinggung perasaan Andin.

Rosa memberi kode lewat kedipan matanya, memberi isyarat kita bicara di luar, ya dan Reyna mengangguk seolah mengerti apa maksud kode Rosa.

"Andin, Al, Mama dan Reyna pergi ke kantin dulu, ya. Mama baru ingat tadi belum sempat makan siang," ujar Rosa sembari menarik tangan Reyna. "Kalian ngobrol aja."

Reyna melambaikan tangan seraya melempar senyum ke Aldebaran dan Andin.

Setelah Rosa dan Reyna keluar dan pintu tertutup, Aldebaran menarik kursi yang berada di samping brankar dan bertanya kepada Andin, "Bagaimana keadaan kamu, Ndin?"

"Udah lebih baik dari sebelumnya." Andin menatap Aldebaran lekat-lekat. "Kamu kenapa baru datang sekarang? Dua hari ini kamu ke mana aja?"

"Maaf, ya. Aku enggak sempat datang ke sini karena pekerjaan aku banyak di kantor. Yang penting, sekarang aku datang, kan?"

"Aku enggak bisa tidur, kepikiran kamu terus." Andin mengerucutkan bibir, seperti anak kecil yang merengut kesal. Meski begitu, dia bicara apa adanya sesuai fakta bahwa bayangan Aldebaran muncul saat dia hendak memejamkan mata.

Hati Aldebaran terenyuh mendengarnya. Bayangan masa lalunya terlintas kembali. Saat itu, Aldebaran terlambat pulang kerja lantaran ban mobilnya bocor di tengah jalan, sementara istrinya menunggu Aldebaran pulang hingga tidak bisa tidur nyenyak di kamar. Istrinya juga berkata demikian, sama persis seperti yang dikatakan Andin.

Kenapa sikap dan kata-kata Andin selalu mengingatkan aku padanya yang sudah tiada? Apa aku terlalu mencintainya hingga belum bisa mengikhlaskan kepergiannya? ucap Aldebaran dalam hati. 

"Sebelumnya, aku manggil kamu apa?"

Aldebaran terdiam. Lagi-lagi, dia harus berbohong.

Menyadari perubahan sikap Aldebaran, Andin merasa tidak enak hati. "Maaf, aku tidak ingat apa pun tentang kita karena kecelakaan ini."

"Mas Al, kamu biasa memanggil aku seperti itu," jawab Aldebaran. Dia memaksa senyum meski hatinya kembali bergejolak. Itu panggilan khas dari mendiang istrinya.

 "Apa kamu tahu tentang kronologi kecelakaan yang aku alami ini, Mas? Aku benar-benar penasaran."

Suara dering ponsel tiba-tiba menjeda percakapan mereka. Setelah melihat nama si penelepon, Aldebaran segera menjawabnya. Mimik wajahnya langsung berubah tegang. "Baik, Pak. Saya segera ke sana."

Andin mengerutkan dahi. "Ada apa, Mas?"

"Aku harus pergi ke suatu tempat. Kamu istirahat, ya. Aku akan meminta mama untuk menemani kamu di sini." Aldebaran mendial nomor ibunya dan meneleponnya untuk segera kembali ke ruangan Andin. Kemudian, dia bergegas pergi meninggalkan Andin.

Andin hanya diam memandangi sosok Aldebaran yang baru datang, sekarang sudah pergi lagi. Ada apa sebenarnya? Apa yang membuat Aldebaran pergi buru-buru begitu? Apa dia ditelepon bosnya? Seketika, Andin merasa bersalah dan sudah membebani Aldebaran lantaran dia yang masih berada di rumah sakit hingga membuat Aldebaran meninggalkan semua pekerjaan demi datang menjenguknya ke rumah sakit.

Tak lama kemudian, Rosa dan Reyna masuk dengan menenteng sebuah paper bag cokelat berisi roti dan tiga kotak nasi ayam.

"Ingat yang Oma katakan tadi, ya." Rosa memperingatkan, takut Reyna keceplosan mengatakan yang sebenarnya kepada Andin perihal kebohongan Aldebaran.

Saat berada di kantin, Rosa meminta Reyna untuk memanggil Andin dengan sebutan mama agar Andin tidak curiga. Reyna yang semula menolak karena ibu kandungnya sudah meninggal, kemudian setuju setelah dibujuk Rosa demi kesembuhan Andin. Reyna pun mengiyakan dan berjanji akan merahasiakan hal ini dari Andin.

Ketika berhadapan dengan Andin sekarang, Reyna merasa gugup karena tidak pernah berbohong. Kaki kecilnya menghampiri Andin. "Mama mau makan siang bersama aku dan Oma?"

Andin menaikkan kedua alis mendengar Reyna menyebut Mama. Ada semburat hangat menyelimuti hatinya. Perlahan, ujung-ujung bibirnya mengulas senyum. "Mama udah makan tadi. Reyna dan Oma aja, ya."

Reyna sedikit cemberut. "Padahal, aku pengin makan siang bareng Mama."

Rosa mengeluarkan tiga kotak nasi ke atas meja kecil dekat nakas. "Iya, Ndin. Kita makan bareng, yuk!" sambungnya.

Andin jadi tidak enak hati menolak. "Iya, deh. Mama mau."

Rona wajah Reyna berbinar. Momen yang sudah lama dia rindukan, akhirnya dia rasakan lagi. Walau bukan dengan orang yang sama, Reyna sangat bahagia.