Contents
Different
Part 3
Pagi ini Al dan Andin sudah duduk di meja makan untuk sarapan, kali ini Andin hanya membuatkan roti selai untuk suaminya karena ia ada jadwal mengajar pagi.
“Mau pake selai apa? Tanya Andin pada suaminya yang terlihat masih mengantuk.
“Coklat aja.” Andin membuat pola love dengan selai di atas roti untuk suaminya, berharap dapat mengesankan suaminya.
Aldebaran seperti tidak sadar bahwa ada pola yang terlukis di sana, dengan ekspresi biasa aja ia langsung menyantap rotinya. Andin menarik nafas melihat itu.
“Saya berangkat ya.” Al langsung berdiri setelah rotinya habis.
Andin menyusul Al berdiri dan segera meraih tangan Al untuk diciumnya.
“Aku boleh bareng ga, mas?” tanya Andin sambal masih menggenggam tangan suaminya.
“Supir kamu kemana?” Al bertanya balik kepada Andin dengan kening berkerut. Al sudah memberikan istrinya itu supir semenjak 4 bulan belakangan ini ia sangat sibuk, sehingga tidak bisa mengantar jemput Andin.
“Ya ada, tapi aku kan mau bareng sama suami aku aja.” Andin tersenyum berharap mendapat izin dari suaminya.
“Lain kali ya, Andin. Kamu tau kan sebentar lagi udah jamnya macet, kalau saya anter kamu dulu arahnya beda, nanti yang ada saya kejebak macet di jalan dan terlambat sampai kantor. Saya ada meeting di luar sama agency untuk pemasaran Maharatu.” Al menarik tangannya perlahan dari genggaman Andin.
“Iya, gapapa. Lain kali masih bisa kok.” Jawab Andin dengan senyumnya, senyum yang belakangan tidak disadari oleh Al menyimpan banyak luka.
“Ya udah, saya berangkat ya.” Al langsung beranjak meninggalkan Andin, tanpa kecupan yang dulu tidak pernah lupa ia berikan pada istrinya.
Andin berusaha menahan air matanya, ia tetap tersenyum dan memanggil Kiki untuk membereskan meja makan, setelah itu berangkat ke kampusnya.
Proyek triliunan rupiah PT Aldebaran Sejahtera berhasil mengubah Aldebaran menjadi Aldebaran beberapa tahun lalu, sebelum mengenal Andin. Aldebaran yang menghabiskan waktunya di kantor, dan jarang pulang.
Setelah papa nya meninggal 3 tahun lalu, Al memang menjadi seorang workaholic. Ia merasa tanggung jawabnya semakin besar untuk keluarganya, untuk mama dan adiknya. Al tidak mau waktunya terbuang sia-sia jika ia bisa menjadikan waktunya sebagai sesuatu yang berharga. Sampai mamanya kini ikut tinggal dengan adiknya yang sedang kuliah di luar negeri. Al hanya terus mengirimi uang dan sesekali menanyakan kabar lewat telepon untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
Sampai ia jatuh cinta pada Andin, wanita yang membuatnya rela memberikan banyak waktunya, pada waktu itu. Wanita yang berhasil menyentuh hatinya dengan kelembutan dan ketulusan, hingga berhasil membuat Al yakin untuk menikahinya.
Tapi kali ini, ia kembali menjadi dirinya yang lama. Kerja, kerja, dan kerja. Memang proyek ini sangat berharga dan besar, nilainya triliunan, sedikit saja ada kesalahan dan keteledoran, kerugian besar menanti di depan mata. Al tidak akan membiarkan itu terjadi, ia juga berusaha agar semua proyeknya cepat selesai agar bisa sedikit lebih lega, tidak dipungkiri Al pun lelah bekerja seperti ini.
Bukannya Al sengaja juga membiarkan istrinya, tapi Al tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan cukup menyakiti Andin. Di kepalanya hanya ada proyek besar PT Aldebaran Sejahtera. Jadi ia tidak terlalu sadar bahwa ada istrinya juga yang perlu dipikirkan.
Hasil penelitian psikologi mengatakan: berbeda dengan perempuan yang bisa memikirkan banyak hal dalam satu waktu yang sama, pria justru hanya bisa fokus pada satu hal dalam satu waktu. Jika isi kepala pria diibaratkan dengan box, ketika satu box terbuka, maka box lain akan tertutup.
..
Sepulang mengajar, Andin mampir ke sebuah cafe yang ia lewati jika akan pulang ke rumah. Tanpa di duga ia bertemu dengan mantan kekasihnya yang terakhir, sebelum ia bersama Aldebaran.
“Andin.” Sapa Nino berhenti berjalan ketika tidak sengaja melewati meja Andin.
“Mas Nino?” Andin menengok pada seseorang yang baru saja memanggil namanya.
“Boleh aku duduk di sini, Ndin?” tanya Nino kepada Andin ketika melihat kursi di depan Andin kosong.
Andin mempersilahkan, karena ia sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi pada Nino jadi Andin santai saja. Berbeda dengan Nino yang sesekali mencuri pandang pada mantan kekasihnya yang semakin cantik itu, ia juga terlihat canggung berbicara dengan Andin.
“Kamu sendirian?” tanya Nino basa basi busuk.
“Seperti yang kamu liat, aku sama siapa?” Jawab Andin dengan senyum yang tidak pernah memudar dari wajahnya.
“Suami kamu mana?” Nino mulai mencoba menyelidik, mencari celah jika ada untuknya masuk kembali ke hati Andin.
“Kerja, ini kan masih jam kerja. Kok kamu di sini sih, mas? Masih jam kerja gini, kayak ga punya kerjaan deh.” Andin maksudnya bercanda tapi malah membuat Nino kikuk.
“Aku kan pemilik perusahaan, Ndin, jadi aku bebas mau kerja atau ngga.” Untuk menutupi kikuknya Nino dengan percaya diri bermaksud menyombongkan diri dengan membanggakan bahwa ia adalah pemilik perusahaan konstruksi, tapi di mata Andin justru cara bicaranya seperti orang yang tidak bertanggung jawab.
Andin sedikit bersyukur karena suaminya sangat bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Meskipun dirinya yang harus berkorban diabaikan oleh suaminya. Andin yang mulai tidak nyaman dengan keberadaan Nino pun merogoh tasnya mengambil uang untuk membayar minuman yang ia pesan. Ketika Andin berdiri, Nino langsung bertanya.
“Mau kemana kamu?”
“Aku mau pulang, istirahat.” Jawab Andin sambal menaruh uang seratus ribu di bawah cangkirnya.
“Mau aku antar?”
“Ngga usah, aku ada supir nungguin. Aku duluan.” Andin langsung meninggalkan Nino sendirian.
..
Malam ini Andin sudah berada di kamarnya, ia tau pasti hari ini Al akan kembali pulang malam seperti biasa dan seperti biasa juga Andin akan menunggu suaminya sampai ketiduran.
Tapi kali ini Al pulang jam 9 malam, Andin memasang wajah sumringah ketika suaminya memasuki kamar.
“Kamu udah pulang” Seru Andin tersenyum lebar sambil berdiri menghampiri Al, ia mengambil alih jas yang dipegang oleh Al.
“Kamu tadi dari mana?” tanya Al to the poin dengan nada dingin.
“Dari mana?” Andin mengulang pertanyaan suaminya sambil mengerutkan kening bingung.
“Tadi kamu dari mana?” kali ini Al menaikan nada bicaranya membuat Andin tersentak kaget.
“Aku dari kampus, kamu tau kan.” Andin menjawab dengan yakin karena memang benar itu kenyataannya.
“Habis itu kemana lagi?” tanya Al lagi dengan nada yang sudah kembali datar.
Andin berpikir sebentar mengingat kemana dia tadi.
“Ke Stanford Café, minum kopi sebentar.” Andin semakin bingung dengan arah pembicaraan Al, tapi ia memutuskan untuk mendengarkan suaminya dulu agar mengerti ke mana arah pembicaraan dengan sendirinya tanpa bertanya.
“Kamu ga bilang dulu sama saya?” Andin tersenyum tipis, suaminya ternyata masih perduli padanya, pikir Andin.
“Karena cuma mampir sebentar mas, tumben kamu nanyain aku?” Andin masih tersenyum, ia senang suaminya menanyainya.
“Bukan karena kamu pergi sama mantan pacar kamu?” Andin terkejut, senyumnya seketika hilang berganti menjadi ekspresi bingung bagaimana suaminya bisa berpikir seperti itu, bagaimana suaminya bisa tau tadi ia bertemu dengan Nino, dan takut suaminya menjadi salah paham.
To be continue..