Contents
Urban
Urban 7. Menginjakkan Kaki di Kota Besar
Urban 7. Menginjakkan Kaki di Kota Besar
“Bismillahirrahmanirrahim!” Sastri lekas bangkit dan bersemangat untuk berangkat. Kini ia lanjut naik angkutan umum yang menuju ke stasiun kereta api.
Tidak ada hambatan dalam perjalanannya sampai di stasiun. Ia pun datang lebih awal dari jadwal keberangkatan kereta. Ia menunggu dan ia merasakan lapar. Ia mengeluarkan bekal nasi yang dibungkus daun pisang, buatan Darmi Kasih. Ia duduk melantai di lantai stasiun untuk memakan bekalnya itu dengan sendok bebek plastik.
***
Cukup lama menunggu, akhirnya datang, kereta yang akan Sastri tumpangi. Ia lekas masuk ke dalam kereta itu. Ia mendapatkan kursi di dekat jendela. Dua di depannya, duduk sepasang orang tua sepantaran orang tuanya. Satu di depannya, duduk seorang wanita dewasa perokok yang sedang menggendong anak kecil laki-laki. Dua di sisinya, duduk wanita sepuh dan gadis kecil yang satu keluarga dengan sepasang suami istri yang ada di depannya.
Selama perjalanan, semua orang yang ada bersama Sastri, menaruh curiga kepada wanita yang merokok sembari menggendong balita. Selain itu, sama seperti Sastri, mereka tidak nyaman dengan asap rokoknya.
“Permisi, Bu, kalau mau merokok jangan di sini, di sana saja.” Seorang petugas kereta menegur sekaligus memberi unjuk tempat merokok, yaitu di depan kamar mandi. Wanita itu memilih mematikan rokoknya. Akhirnya bisa bernapas, setelah sekian jam tersiksa asapnya.
Melewati malam sampailah di kota besar.
Sastri sudah sampai di kota besar. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di kota besar itu. Ini juga pertama kalinya ia pergi jauh. Jangankan ke kota besar, ke kota kecil di daerahnya saja ia tidak pernah. Paling jauh, ia berpergian hanya sampai di pusat kabupatennya. Kini ia bingung harus ke mana. Beberapa saat kemudian, ia ingat tujuannya, yaitu ketiga alamat yang dimilikinya.
“Ke mana dahulu ya, ibu Anandari, pak Herman, atau pak Juna? Em ... butik, iya, ke ibu Anandari.” Sastri mengeluarkan dompet ponselnya. Ia mengeluarkan kartu nama Anandari. Ia membaca alamatnya dan menyimpannya dalam ingatannya. Setelah ia ingat, ia menyimpan kembali kartu nama Anandari ke dalam dompet ponselnya. Lalu ia kembali menyimpan dompet ponsel itu ke dalam saku dalam jaketnya.
“Aku tidak tahu mana-mana di kota ini.” Sastri bermonolog dengan suai bibir. Ia terpikir untuk bertanya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar halaman depan stasiun kereta. Netranya mencari-cari seseorang yang kira-kira bisa ia tanyai dan bisa memberikan jawaban yang ia harapkan.
“Kalau tanya orang di sini, orang-orangnya pasti kebanyakan orang daerah. Mungkin tahu, mungkin sama seperti aku. Kalaupun orang daerah, aku harus bertanya ke orang daerah yang lama di sini. Aku mau tanya, tapi aku tidak bisa percaya siapa pun,” batin Sastri bingung.
“Polisi. Aku akan tanya dia saja,” ujarnya dalam hati menemukan solusi. Ia lantas melihat ke sekelilingnya lagi, mencari di mana ia bisa menemukan polisi. Ada sih, nampak, tapi ia merasa tidak yakin. Ia lalu teringat lalu lintas, di mana kemungkinan ada polisi lalu lintas, apalagi kota besar. Ia melangkah pergi dari stasiun kereta itu.
Sampailah Sastri Ambar Warni di jalan raya. Matanya melebar melihat jalan raya yang begitu luas dan begitu ramai. Jelas berbeda dengan kota kecil, apalagi desa, dan desanya. Saat mengedarkan pandangannya ke jalan raya untuk melihat sibuknya lalu lintas, ia melihat polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Ia tersenyum karena menemukan yang dicarinya. Ia segera mendekat ke polisi itu. Sedikit takut-takut ia menyebrang karena banyaknya kendaraan dan luasnya jalan. Pelan-pelan dan berhati-hati akhirnya ia sampai di polisi itu. Ia menanyakan alamat itu dan ia mendapatkan jawaban yang sesuai keberadaan alamat itu.
Pergilah Sastri menuju alamat Anandari mengikuti petunjuk polisi itu. Ia berjalan menuju jembatan, di mana ada stasiun kendaraan bus besar yang bisa membawanya ke tujuannya. Sembari melangkah, ia merasa ia perlu mengeluarkan uang lagi. Sembari jalan, sembari sedikit-sedikit berhenti untuk mengambil dompet ponselnya, yang ia simpan di saku jaket bagian dalam. Ia membuka dompet kecil itu. Ia ambil dua lembar merah. Kemudian uang pecahan berupa dua lembar hijau, lima lembar ungu, dan lima lembar cokelat. Ia taruh yang ia ambil itu di saku depan jaketnya.
Seseorang yang sedari tadi berdiri bersandar di dinding kolong jembatan itu, memperhatikan Sastri sejak Sastri menuju jembatan itu. Saat Sastri telah berada di sisi jembatan itu, pria itu tertarik dengan dompet ponsel itu, yang tampak banyak uang di dalamnya. Sastri yang sibuk dengan dompet ponselnya, tidak menyadari keberadaan orang itu. Sesaat setelah Sastri meresleting dompet itu, saat hendak meletakkannya kembali ke dalam saku jaket bagian dalam, seketika itu, pria itu merebut dompet itu. Napas Sastri seketika tertarik cepat.
“Maling!” serunya membuat warga yang ada di sekitar menoleh ke arah suara, namun tidak ada satu pun yang tertarik mengejar. Sastri mengejar sendiri pria yang mengambil dompetnya itu. Pria itu menyebrang jalan yang begitu ramai dengan berlari. Sementara Sastri tidak bisa menyebrang dengan cara demikian.
“Maling! Maling!” serunya terus menerus sembari menyebrang.
Orang-orang di sebrang mendengar teriakannya. Mereka pun melihat pria yang berlari itu. Mereka semua lantas mengejar pria itu. Pria itu semakin cepat larinya saat mendapati warga mengejarnya.
Pria itu lari masuk ke gang kecil. Gang sempit kampung padat penduduk. Rumahnya kecil-kecil berdempet-dempetan. Jalanannya hanya bisa dilalui motor. Akan tetapi ada sedikit yang lebar, yang masih bisa dilalui mobil.
“Maling! Maling!” warga yang mengejar meneriaki pria itu. Hal itu membuat warga kampung itu melihat juga ke pria yang berlari itu. Warga kampung itu ikut bertindak. Akhirnya maling itu tertangkap. Dompet ponsel Sastri menjadi terjatuh dari tangan pria itu. Salah seorang warga lekas mengambilnya.
Sastri yang berlari paling belakang, karena berhati-hati menyebarang, akhirnya sampai juga di depan gang kecil itu. Ia masuk ke gang kecil itu dan mencari-cari. Kemudian ia melihat ada sekumpulan warga sedang merubungi seorang pria.
“Itu sepertinya mbaknya yang tadi!” seru seorang warga yang ikut meringkus maling itu, sembari menunjuk ke Sastri.
Mendengar itu, Sastri mendekat ke kerumunan warga itu. Ia melihat dompet ponselnya ada di tangan salah satu warga.
“Ini punya lo?” tanya warga yang memegang dompet ponsel Sastri.
“Iya,” jawab Sastri.
“Nih, lain kali hati-hati!” kata warga itu sembari memberikan dompet Sastri.
“Iya, terima kasih,” ucap Sastri merasa lega dompetnya sudah kembali. Kemudian dalam hatinya ia berkata, “Padahal aku sudah hati-hati, tapi masih saja. Sepertinya di kota besar ini harus ekstra hati-hati. Tidak boleh mengeluarkan uang, ponsel, atau barang berharga di tempat umum. Lain kali aku harus mencari tempat sepi sebelum mengeluarkan uang seperlunya.”
Setelah selesai urusan itu Sastri melangkah pergi. Akan tetapi kampung super padat penduduk itu menghentikan langkahnya. Ia memperhatikan kampung itu. Ia membandingkan dengan rumahnya yang sangat sederhana berlantai tanah berdinding bata tanpa lapisan. Ia melihat rumah di situ tampak berlantai keramik, berdinding sempurna, tapi kecil sekali dan nampak bopeng-bopeng dindingnya. Ada juga yang bagusan. Ada juga yang lebih buruk dari itu.
Saat itu ada seorang ibu, yang nampak usianya tidak muda, tapi jauh lebih muda dari ibunya, menyapanya.
“Mbak, Mbak yang tadi dicopet?” tanya ibu itu.
“Iya, tapi bukan dicopet, orang itu merampas lalu lari,” terang Sastri.
“Dari daerah ya?”
“Iya, Bu.”
“Baru sampai atau udah lama di sini?”
“Baru sampai hari ini.”
“Sudah sering ke sini?”
“Ini baru pertama kali.”
“Lain kali hati-hati.”
“Iya, terima kasih, Bu.”
“Rencana mau ke mana? Saudara?”
“Saya tidak punya saudara di sini. Saya mau melamar kerja ke ibu Anandari yang satu kampung dengan saya.”
“Oh, mau cari kerja di sini.”
“Iya.”
“Udah ada tempat tinggal belum di sini? Kalau belum saya ada kos-kosan. Murah kok, lima ratus saja perbulan.” Ibu itu rupanya memiliki tujuan menawarkan kos-kosannya.
Cling!
Benak Sastri menjadi terpikir untuk itu. Akan tetapi ia menimang dahulu karena uang yang dimilikinya terbatas. Ia berpikir mungkin ada yang lebih murah dari itu. Ia harus mencoba mencari dahulu yang lebih murah dari itu.
“Iya saya memang sedang mencari. Boleh saya lihat-lihat dahulu kos-kosannya, Bu?”
“Boleh, mari ikut! Noh, di sana noh, kos-kosan saya!” tunjuk ibu itu. Lalu ibu itu melangkah ke rumah yang ditunjukkannya itu. Sastri mengikuti langkah ibu itu.
Sastri melihat kos-kosan itu terpisah satu sama lain. Seperti rumah sendiri-sendiri. Akan tetapi kamar mandi menjadi satu. Ukurannya kecil sekali, sedikit lebih luas kamar Sastri di kampung.
“Kalau mau yang luas yang ono, tapi harganya laen.” Ibu itu menunjukkan rumahnya yang lebih luas sedikit.
“Ini seukuran kamarku,” batin Sastri saat melihat yang lebih besar.
“Nama Ibu siapa?”
“Panggil saja saya Ipah.”
“Saya pikir-pikir dulu ya, Bu Ipah. Insya Allah, kalau cocok saya akan kembali ke sini.”
“Boleh-boleh, Neng!” seru Ipah tidak masalah.
Sastri pergi, tapi ia masih jalan-jalan di gang sempit itu. Ia mencoba mencari tempat tinggal yang lebih murah. Ia menemukan yang harganya di atasnya dan yang di bawahnya hanya sedikit miring lima puluh. Setelah ia menemukan harganya sama saja, ia terpikir untuk mencari di kampung yang lainnya. Ia keluar dari kampung itu. Ia menyusuri tepi jalan raya. Setiap menemukan kampung ia masuki untuk mencari tempat tinggal sementara yang murah.
Sampai akhirnya ia menemukan tempat itu. Tempatnya berupa bangunan bersusun banyak. Kamarnya sangat banyak. Ukuran setiap kamarnya jauh lebih kecil dari sebelum-sebelumnya yang ia temukan. Ada kasur tipis di setiap kamarnya. Kamar mandinya sama saja, jadi satu dengan yang lainnya di setiap lantai, tetapi ukurannya jauh lebih kecil, hanya satu kali dua meter saja. Kamar mandi itu toiletnya duduk, ada kran shower, sebuah gayung, dan kaleng ember kecil berbahan plastik sebagai penampung airnya. Tidak apa-apa kecil, yang penting ia bisa menghemat. Akhirnya ia deal kamar berukuran dua kali dua meter di lantai tiga, tiga ratus lima puluh. Ia membayar untuk sampai dua bulan ke depan.
Sastri memutuskan esok hari saja mencari alamat Anandari. Kini ia membersihkan diri di kamar mandi mungil itu. Ia sudah menyiapkan alat mandinya saat di desa, jadi ia tidak perlu mencari lagi. Setelah itu ia beribadah dan beristirahat di kamar kecil yang telah disewanya.
Sore saat santai di kamar itu, ia memeriksa ponselnya. Ia melihat ponselnya mati. Ia cemas karena ia pikir rusak. Kemudian ia teringat jika ia terakhir mengisi baterai saat subuh di kereta. Ia mencoba mengisi baterainya. Setelah penuh ia memeriksa lagi ponsel itu. Iya, ponsel itu bisa menyala. Akan tetapi seketika itu juga, lagi-lagi ia dibuat panik, karena ponsel itu hanya menyala, tapi tidak ada data. Ia menjadi berpikir lagi jika ponsel itu rusak. Ia melepaskan baterainya. Kemudian ia memasang lagi baterainya. Kemudian ia mencoba menghidupkan lagi. Hasilnya tetap sama, jawaban ponselnya tidak ada kartu.