Contents
Urban
Urban 6. Berangkat
Urban 6. Berangkat
“Berhenti! Serahkan barang berharga kalian!” seru salah seorang dari mereka dengan nada kasar. Perintah lantang yang cukup untuk menggetarkan Aryo Wira dan Sastri.
“Kalian tidak lihat, penampilan kami bukan orang berada? Sepeda kami buntut, apa yang kami punya?” tanya Aryo Wira berusaha dengan tenang.
“Kalau begitu, serahkan saja sepeda ini!” seru pria itu lagi.
“Wanita itu juga!” seru rekannya.
Deg, Aryo Wira dan Sastri ketakutan sangat mendengar salah satu di antara mereka meminta Sastri.
Aryo Wira lekas turun dari sepeda pancal. “Lari, Sastri, pakai sepedanya, biar Bapak hadapi mereka!” titah Aryo Wira sembari memberikan sepeda itu kepada Sastri.
“Tidak mungkin Sastri meninggalkan Bapak, Pak!” tegas Sastri sembari turun dari sepeda pancal.
“Kalau kamu tetap di sini, kita akan celaka berdua! Kalau kamu lari, kamu bisa mencari pertolongan!” teriak Aryo Wira. Mendengar itu, Sastri lekas menyincing lagi dressnya dan naik ke sepeda. Para penjahat hendak mencegah Sastri, tapi Aryo Wira dengan sigap mencegah mereka semua, sehingga Sastri bisa pergi dari tempat itu.
Beberapa detik bertarung, salah satu penjahat berhasil lolos dan mengejar Sastri. Penjahat itu berlari sangat kencang sekali, tidak mau kehilangan buruannya.
Sastri mengayuh sepeda dengan kencang. Kurang awas karena panik, hampir membuatnya masuk ke parit. Beruntung, ia lekas melihat dan mengerem, sehingga tidak sampai jatuh ke parit itu. Hal itu membuat jaraknya dengan penjahat yang sedang mengejarnya menjadi lebih dekat.
Sastri terbelalak, saat melihat keberadaan penjahat yang mengejarnya. Ia baru menyadari, jika ada salah satu penjahat, yang bisa lolos dari bapaknya. Ia lekas mengatur arah sepeda dan kembali mengayuh kencang.
Lagi-lagi laju sepeda Sastri harus terhenti. Kali ini sebuah lubang membuat sepedanya oleng dan ia hampir jatuh. Beruntung keseimbangannya bagus, sehingga ia lekas memijakkan kakinya ke tanah untuk menahan. Akan tetapi kejadian itu semakin mengurangi jaraknya dengan penjahat.
Sebuah batu besar yang terinjak ban sepeda, membuat Sastri benar-benar terjatuh dari sepedanya. Ia lekas bangkit dan mengayuh lagi. Rasa sakit dan lukanya, tidak ia hiraukan. Saat itu penjahat sudah persis berada di belakang sepedanya.
“Tolong ...!” pekiknya sembari mengayuh sepeda, karena panik mengetahui penjahat itu, sudah ada, persis di belakangnya.
Saat itu, bertepatan ada beberapa warga yang mau ke masjid untuk sholat subuh. Mereka mendengar teriakan Sastri. Mereka lekas melindungi Sastri dan meringkus penjahat itu.
“Terima kasih, tapi saya mohon tolong juga bapak saya. Bapak saya di sana melawan empat penjahat lainnya,” terang Sastri dengan sangat cemas akan keselamatan bapaknya.
“Ayo, kita ke sana!”
“Ayo! Ayo!”
Sebagian warga berbondong-bondong ke tempat Aryo Wira melawan penjahat. Sebagian lagi mengamankan penjahat yang sudah diringkus. Sastri mengayuh sepeda memandu, memberikan petunjuk kepada para warga itu.
Sampai di lokasi, ia melihat bapaknya sedang meringkuk, dipukuli, ditendang, oleh keempat penjahat itu.
“Bapak!” seru Sastri sangat terkejut.
“Woi, berhenti!” seru seorang warga. Semua warga segera menghampiri dan melawan para penjahat itu. Akhirnya keempat penjahat dapat diamankan warga.
“Bapak ....” Sastri menangis melihat keadaan bapaknya.
“Bapak tidak apa-apa. Kamu jangan menangis seperti itu, Nduk.”
Lantaran sudah mau subuh, warga sementara waktu membawa Aryo Wira dan Sastri ke musala. Setelah selesai sholat subuh, baru mereka mengantarkan bapak dan putrinya itu ke rumah sakit. Mereka membayarkan pula biaya rumah sakit dengan patungan, karena Pak Aryo dan Sastri tidak memiliki asuransi kesehatan baik swasta maupun pemerintah. Setelah itu mereka pamit pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah Sastri dan bapaknya di rumah sakit.
“Lukamu tidak apa-apa, Nduk?” tanya Aryo pada putrinya yang duduk di bangku kayu tanpa sandaran.
“Cuma babras jatuh dari sepeda, Pak.”
“Alhamdulillah, ada banyak warga yang menolong kita.”
“Pak, sepertinya Sastri tidak jadi ke kota besarnya,” lirih Sastri kepada Aryo Wira, yang terbaring di kasur rumah sakit.
“Jangan tidak jadi, Nduk, jangan sia-siakan usaha Bapakmu ini, yang mengumpulkan uang demi kamu bisa berangkat dan mengubah nasib kita. Bapak sangat berharap, kamu bisa merubah nasib kita, Nduk.”
“Tapi bapak sakit. Bagaimana Sastri bisa pergi, Pak?”
“Bapak baik-baik saja. Hanya saja bapak sekarang tidak bisa mengantarkan kamu ke kota. Kota sebenarnya sudah dekat dari sini. Kamu naik angkutan umum saja ya, Nduk?”
Sastri terdiam berpikir lalu mengeluarkan dompet uang, mengeluarkan setengah dari uang yang dibekalkan Aryo Wira. “Bapak kondisinya kayak begini. Bapak tidak bisa bekerja cukup lama. Sastri cukup kok bawa setengah.” Sastri memberikannya kepada Aryo Wira. Setengahnya ia simpan di saku jaket bagian dalam.
“Jangan, Nduk, kamu akan sangat butuh ini di kota besar!”
“Sastri juga diberi Damar ada satu lebih. Uang Sastri sendiri dua lebih. Insya Allah, sampai sana, Sastri juga akan langsung kerja. Bapak tenang saja,” kata Sastri dengan lembut menenangkan Aryo Wira.
Aryo Wira ragu menerima kembalian uang itu, tapi ia lalu mengangguk. Sastri tersenyum.
“Berangkatlah sekarang, ke kota, jangan sampai terlambat naik kereta!” perintah Aryo Wira.
“Sastri berangkat.” Sastri mengecup pipi bapaknya lalu mencium punggung tangan bapaknya. “Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam! Hati-hati, Nduk!”
Sastri pergi.
Saat sudah ke luar dari kamar rawat bapaknya, Sastri berkaca-kaca. Beberapa langkah melangkah, ia menitihkan air mata. Ia merasakan sedih meninggalkan bapaknya dalam kondisi seperti itu. Ia pun merasakan berat untuk jauh dari semua orang yang ia sayangi yang menyayangi dirinya. Akan tetapi ia harus semangat. Ke kota besar mengadu nasib, kini bukan keinginannya seorang, karena ada harap juga dari ketiga orang itu.
***
Sastri sudah naik ke angkutan umum. Sastri tidak menyadari seorang copet sedang beraksi ke tas punggungnya. Dompet yang tadi ia keluarkan saat di rumah sakit diambil copet itu. Sampailah Sastri di kota kecil. Saat ia akan membayar angkutan umum itu, ia tidak menemukan dompetnya itu.
“Oh, tidak, dompetku!” serunya panik sembari mencari-cari. “Ya Allah!” sebutnya merasa tidak berdaya karena di dalamnya ada uang lima juta.
“Ada uangnya berapa?” tanya sopir angkutan umum.
“Lima juta, Pak.”
“Mangkannya hati-hati! Ya sudah, tidak usah bayar!”
“Terima kasih,” lirih Sastri sambil perlahan pergi dari angkutan umum itu dengan psikis masih shock.
Sastri termenung duduk di tepi trotoar. Beberapa detik kemudian ia terbelalak teringat lalu bernapas lega. Ia teringat jika uangnya sudah dikembalikan setengahnya ke bapaknya. Ia teringat jika sisanya ia taruh di dalam saku jaketnya. Ia lekas meraba jaketnya. Ia lega lalu tersenyum. Ia teringat dompet ponselnya dan kembali panik. Ia lekas membuka tas punggungnya. Ia mencari-cari dan ada.
“Alhamdulillah,” ucapnya dengan suai bibir saja sembari mengusap dadanya yang baru saja berdebar-debar hebat. Ia juga menghempaskan napas besar-besar untuk sekaligus menghempas rasa paniknya.
“Bisa jadi banyak copet, perampok, pencuri, atau penipu yang lainnya. Aku harus berhati-hati dari sekarang. Tidak boleh percaya kepada siapa pun. Apalagi di kota besar nanti,” pikirnya. Ia lekas memindahkan dompet ponselnya ke dalam saku jaketnya juga. Ia kemudian membuka lagi sembari menghitung kira-kira akan butuh berapa uang. Ia lalu mengeluarkan uang receh dari tabungan Damar seratus ribu lebih, karena menurut perhitungannya, itu akan cukup. Setelah itu, ia kembali menyimpan rapi selebihnya, di dalam saku dalam jaketnya.
“Ya Allah, sesungguhnya yang bisa melindungi hanya Engkau. Aku tidak boleh berhenti berdzikir dan berdoa. Kalau bisa sholat, sholat, bahkan jangan tinggalkan sholat,” batinnya kemudian.
“Bismillahirrahmanirrahim!” Sastri lekas bangkit dan bersemangat untuk berangkat. Kini ia lanjut naik angkutan umum yang menuju ke stasiun kereta api.