Try new experience
with our app

INSTALL

Urban 

Urban 5. Biaya ke Kota Besar

Urban 5. Biaya ke Kota Besar


 

“Tapi ....”


 

“Sepeda bapak bisa nambung setelahnya. Damar akan nabung lagi dan Mbak kalau mau ikutan, juga bisa kan? Tinggal kirim uangnya saat Mbak dapat gaji nanti.”


 

Sastri tersenyum mengangguk, tapi tidak lama kembali berekspresi tidak mungkin.


 

“Apa akan bisa cukup dari jualan seperti ini? Apa akan bisa terkumpul? Butuh biaya berapa? Berapa lama mengumpulkannya?”


 

Damar berpikir. “Kita bisa usaha lebih keras sedikit. Misalnya dagang lebih banyak.”


 

Sastri masih ragu akan bisa terwujud.


 

“Tenang saja, ada kemauan, ada jalan!” tegas Damar meyakinkan sembari memakai tasnya di punggung. “Damar ke sekolah dulu! Assalamualaikum!” pamitnya.


 

“Waalaikumsalam.” Sastri menjawab lirih karena masih ragu apa niatnya akan kesampaian.


 

***


 

Sesampainya di sekolah Damar bersikap dingin terhadap Lina. Tidak peduli apa pun lagi tentang Lina.


 

“Memanya wanita hanya dia saja?” benak Damar Satria.


 

Lina yang ingin mendekat menjadi tidak berani.


 

“Suka sih, tapi kan kamu tidak punya masa depan seperti Sigit,” batin Lina.


 

***


 

Setiap pagi, Darmi Kasih membuat aneka lauk pauk untuk dijual. Andalannya adalah aneka bakwan. Bakwan daun singkong, bakwan singkong, bakwan jagung, dan bakwan sayuran. Selain itu, Darmi juga membuat aneka pepes dan botok. Pepesnya ada pepes tahu, pepes pindang, pepes tongkol, pepes udang, dan pepes kerang. Kalau botoknya, ada botok teri, botok tempe tahu toro, botok pelo ati, dan botok luntas. Hal itu membuat Darmi dan Sastri menjadi sangat sibuk setiap pagi.


 

Pukul sepuluh kurang, Sastri telah pergi untuk menjual semua itu. Keliling dengan membawa dua buah box plastik. Hari cukup cerah saat ia berangkat. Tidak sampai duhur dagangan Sastri sudah habis.


 

“Alhamdulillah, habis,” batin Sastri sembari melangkah pulang. “Kalau dagang lebih banyak, itu artinya harus keliling lebih pagi, dan masaknya pagi buta, dan belanjanya dini hari. Terus siang jualan gorengannya juga diperbanyak. Apa bisa begitu? Apa habis? Kalau gak habis, apa gak malah rugi banyak? Tenaga apa kuat? Kasihan emak, bisa sakit kalau diforsir,” pikirnya kemudian. “Gimana caranya, biar bisa mendapat penghasilan lebih? Butuh berapa sih untuk bisa sampai ke kota besar?” tanyanya bermonolog dalam benaknya.


 

***


 

Waktu berlalu hingga datang saatnya Damar dan Sastri kembali bertemu, dan bertemu saat untuk menjajakan gorengan. Tidak hujan membuat keduanya kembali berpisah untuk berpencar dengan harapan dagangan habis. Bersyukur sesuai harapan, mereka telah menjual semuanya dan kembali ke rumah sebelum magrib. Mereka kembali bertemu di jalan ke arah rumah mereka.


 

“Habis, Mar?”


 

“Habis, Mbak.”


 

“Alhamdullillah.”


 

“Bagaimana, rencana Mbak ke kota besar, jadi?”


 

“Dananya,” lirih Sastri. “Tidak mungkin dagang lebih banyak. Khawatir kalau tidak habis bisa rugi banyak dan jadi tidak punya modal. Tenaga juga butuh ekstra. Kasihan emak,” terangnya kemudian sembari jalan menunduk, tanda tidak ada harapan.


 

“Mungkin bisa dagang yang lain, yang tidak terlalu butuh tenaga ekstra. Kulak.”


 

Mendengar hal itu Sastri mengangkat wajahnya. “Kulak apa? Jualnya bagaimana dan waktunya?” tanyanya beruntun.


 

“Pokonya apa yang kira-kira bisa laku dan bisa dijual bersamaan dagangan pagi dan sore,” jawab Damar.


 

“Iya, kita bisa coba begitu. Kulak apa ya?” Sastri kini memikirkan hal itu. Oleh karena itu ia masih penuh harap niatnya bisa terwujud.


 

***


 

Malam hari menjelang tidur, di dalam kamarnya, di dalam benak Damar terbesit sebuah pemikiran. “Ah, aku akan cari kerja saja, jadi buruh atau apa. Akan aku kumpulkan uang yang banyak supaya cita-cita mbak Sastri terwujud.”


 

***


 

Pagi hari tiba. Damar memang memakai seragam. Akan tetapi ia jalan bukan ke arah sekolahnya. Saat telah jauh dari rumahnya, di sudut tempat sepi, ia mengganti kemeja seragamnya dengan sebuah kaos yang ia bawa dari rumah. Kemudian ia pergi berjalan kaki dengan cepat untuk bisa mencapai wilayah yang memungkinkan untuknya mencari pekerjaan. Ia tanya-tanya sana sini. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan menjadi kuli hasil bumi seperti tebu. Tidak banyak, bahkan sangat sedikit penghasilannya, tapi setidaknya ia mendapatkan uang.


 

Sementara itu, Sastri sudah memutuskan untuk mencoba kulak kerupuk. Ia pikir itu yang bisa ia jual bersama dagangan makanannya yang lain, baik pagi mau pun sore. Kerupuk itu berhasil selalu terjual habis. Akan tetapi ia tidak berani kulak lebih.


 

***


 

Belum sepekan berlalu demikian, datang teman-teman dan salah satu guru dari sekolah menengah atas desa itu ke rumah ibu Darmi Kasih. Mereka mencari Damar lantaran Damar sudah empat hari tidak masuk ke sekolah. Gara-gara itu Damar ketahuan. Ia mengutarakan jujur kalau ia bekerja. Namun Damar tidak mengungkapkan tujuannya bekerja.


 

“Mar, kita untuk mengubah nasib harus sekolah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ya meskipun bisa saja tanpa sekolah. Akan tetapi peluangnya kemungkinan lebih besar kalau kita berpendidikan. Apalagi kalau kita bisa berpendidikan tinggi. Yang kamu lakukan bisa jadi malah merubah nasib menjadi lebih parah. Kalau sampai pendidikanmu ini sampai di sini saja, peluang kerjanya apa? Untuk meraih peluang kerja yang baik akan semakin sulit,” pendapat Sastri.


 

“Iya, Mbak, Damar akan sekolah dengan baik,” ujar Damar. Lalu ia kembali bingung dalam pikirannya sendiri. “Lalu bagaimana cara mengumpulkan uang untuk mbak Sastri,” benaknya.


 

***


 

Satu purnama berlalu, akhirnya bapak mereka pulang. Tepat saat siang menjelang sore, saat Darmi Kasih, Sastri Ambar Warni, dan Damar Satria ada di rumah untuk bersiap jualan gorengan.


 

“Bapak!” seru gembira Sastri dan Damar.


 

Akan tetapi Sastri dan Damar tidak bisa berlama-lama melepas rindu mereka dengan Aryo Wira. Dua bersaudara itu harus lekas menjajakan gorengan dalam dua box plastik beranting.


 

***


 

Malam hari mereka sekeluarga baru bertemu lagi. Mereka bercengkrama akrab hangat. Saling bertanya saling bercerita. Pada kesempatan itu Damar menceritakan keinginan kakaknya dan tiga kartu nama pengusaha di kota besar. Pak Aryo Wira menyanggupi bulan depan akan bisa memberangkatkan putrinya itu ke kota besar, karena tiga hari lagi ia akan mendapatkan proyek besar yang akan dikerjakan sampai satu bulan dan bisa lebih. Itu sungguh angin segar untuk Sastri dan Damar.


 

“Terus bagaimana dengan dagangan kita kalau Sastri pergi ke kota besar?” tanya Sastri.


 

“Damar sanggup kok jualan gorengan dua box!” seru antusias Damar meyakinkan.


 

“Lalu yang pagi?” tanya Sastri lagi.


 

“Emak yang akan jualan,” ujar Darmi Kasih.


 

“Emak nanti capek dong, sudah masak, pakai jalan keliling,” kata Sastri.


 

“Sebelum ada kalian berdua, emak udah biasa masak sekaligus yang keliling jualan,” terang Darmi.


 

“Itu Emak saat muda, lah sekarang uda umur, Mak,” cemas Sastri.


 

“Sudah Sastri, kamu harus berangkat! Jika tidak begitu hidup kita ya begini-begini saja!” tegas Darmi Kasih.


 

“Iya, Nduk, yang penting kamu jaga diri, jadi orang yang baik, dan kerja keras di sana!” tegas Aryo Wira. Sastri menghela napas dengan perasaan campur aduk. Ada rasa senang harapannya akan bisa terwujud. Ada rasa enggan karena harus meninggalkan mereka dan membiarkan mereka mencari uang sendiri meskipun dirinya pergi ke kota besar, tujuannya juga untuk mencari uang buat mereka juga.


 

***


 

Hari itu tiba, Aryo Wira sudah mendapatkan uang cukup dan juga sudah membelikan tiket kereta api. Meskipun demikian, Damar tetap memberikan uang hasil kerjanya yang empat hari dan tabungannya yang sebelumnya bertujuan untuk membelikan sepeda pancal baru untuk bapaknya.


 

Damar masuk ke kamar Sastri. Saat itu Sastri sedang berkemas.


 

“Ini Mbak, bawalah!” seru Damar dengan senang hati.


 

“Apa ini? Uang? Mbak kan sudah diberi bapak lima juta. Uang Mbak sendiri juga ada dua juta lebih.”


 

“Di kota besar mungkin Mbak akan butuh lebih.”


 

“Buat kamu saja, Mar, atau sepeda seperti yang kamu rencanakan.”


 

“Pokoknya, Mbak wajib menerimanya!” paksa Damar sembari memasukkan uang itu ke dompet hp Sastri. Dompet itu, selain hp juga terisi kartu identitas Sastri, uang Sastri, dan tiga kartu nama tiga pengusaha itu. Sedangkan dompet uang, hanya terisi uang lima juta pemberian dari Aryo Wira.


 

“Iya deh, terima kasih, Adik Manis!” ucap Sastri gemas sembari mencubit gemas pipi Damar.


 

“Auh, Mbak!” protes Damar sembari mengusap pipinya yang terasa sedikit sakit akibat cubitan Sastri.


 

“Besok-besok aku tidak mencubitmu karena tidak ada di sini. Jaga emak, jaga bapak ya? Sekolah yang bener. Kalau keajaiban Mbak bisa seperti tuan Herman, kalau kamu sekolahnya bener, siapa tahu bisa bakal bantu kamu sekolah lebih tinggi. Iya, kan?”


 

“Aamiin. Mbak tenang saja, Di sini Damar, emak, bapak, akan baik-baik saja!” tegas Damar meyakinkan. Sastri mengangguk-angguk tersenyum percaya.


 

“Ini Hp, bawalah!” seru Sastri memberikan sebuah hp ke Damar. Damar menerima sembari berpikir.


 

“Mbak, justru Mbak lebih butuh ini.” Damar mengembalikan hp sederhana itu. “Mbak, kehidupan urban tidak bisa lepas dari hp. Malah hpnya canggih, yang smartphone,” imbuhnya. Sastri menerimanya kembali dengan bingung.


 

“Terus komunikasi kita bagaimana?” bingung Sastri.


 

“Tenang saja, Damar kan hafal nomornya. Damar punya teman yang punya hp. Damar bisa pinjam untuk menghubungi Mbak,” ide Damar. Sastri mengangguk-angguk tersenyum, ia sudah tidak risau lagi soal hal itu.


 

***


 

Setelah semuanya beres, salim salam berpamitan, berangkatlah Sastri ke kota kecil untuk menuju ke kota besar. Ia ke kota kecil bersama Aryo Wira dengan dibonceng sepeda pancal. Mereka berangkat dini hari untuk bisa menyesuaikan jadwal keberangkatan kereta api. Sastri pergi dengan mengenakan celana panjang, dress panjang lengan panjang, sepatu sport, dan jaket pria yang memiliki saku di luar dan di dalam. Sastri menyincing dress panjangnya saat naik di boncengan sepeda pancal. Dini hari, masih gelap, Aryo Wira membonceng Sastri menuju ke kota kecil. Sepi mamring, hanya satu dua manusia yang nampak melintas.


 

Saat waktu mendekati subuh, mereka sudah dekat wilayah kabupaten, yang dekat dengan kota kecil. Saat itu beberapa orang pria muncul dan menghadang mereka. Aryo Wira terpaksa berhenti mengayuh sepedanya. Sastri menghitung ada lima orang yang menghadang.


 

“Berhenti! Serahkan barang berharga kalian!” seru salah seorang dari mereka dengan nada kasar. Perintah lantang yang cukup untuk menggetarkan Aryo Wira dan Sastri.