Try new experience
with our app

INSTALL

Urban 

Urban 4. Niat Sastri

Urban 4. Niat Sastri


 

Beberapa langkah kemudian, Damar terpaku menatap kecewa saat sebuah sepeda motor melintas. Di sepeda motor itu nampak sepasang manusia berboncengan. Wanita di belakangnya adalah teman sekolah Damar, serta wanita yang Damar sukai.


 

Sastri melihat adiknya tidak kunjung melangkah. Sastri menatapnya penuh tanya. Ia berpikir, ia menduga, jika sepeda motor yang baru saja melintas yang membuat adiknya itu terdiam. Sastri ingat di sepeda motor itu nampak ada laki-laki dan perempuan berboncengan. Ia sepintas seperti pernah melihat wanita itu saat siang menjelang sore menjemput Damar di sekolahnya. Jelas di ingatan Sastri wanita itu tersenyum pada Damar. Sastri menduga jika ada kemungkinan ini masalah kisah romantis. Untuk memastikan Sastri bertanya pada Damar.


 

“Siapa, kenal?”


 

“Dia gebetan Damar, Mbak. Pria yang memboncengnya siapa ya, Mbak?”


 

“Cewek itu suka juga tidak sama kamu?”


 

“Dari penilaian Damar sih suka juga sama Damar. Soalnya setiap hari di sekolah maunya bareng sama Damar. Ada teman bilang dia suka sama aku.”


 

“Kalau memang begitu, jangan keburu berpikir negatif, siapa tahu yang memboncengnya keluarganya, sepupu, atau siapanya.”


 

“Mbak, benar.” Damar tersenyum dan kembali melangkah.


 

Akan tetapi mereka kembali melihat gadis itu bersama pria yang memboncengnya di sebuah pos kamling sedang dua-duaan romantis. Damar menghampiri dengan emosi.


 

“Siapa dia, Lin?” tanya Damar pada gadis bernama Lina teman sekelasnya.


 

“Sigit. Dia pacar aku. Lebih tepatnya calon aku. Dia anak kuliahan di kota. Ada masa depannya. Orang tua kami juga sudah saling setuju,” papar Lina. Deg, jantung Damar tertusuk.


 

“Kamu kan suka aku?” celetuk Damar.


 

“Aku suka kamu? Maksud kamu apa, Mar?” tanya Lina berpura-pura tidak paham.


 

“Kata Anang, kamu suka aku, Lin. Cinta. Kamu di sekolah juga selalu nempel ke aku terus.”


 

“Maksudmu aku suka kamu, cinta kamu, gitu? Tidak mungkin lah, Mar! Aku tuh sudah punya calon dan aku cintanya, ya sama calon aku.”


 

“Tapi kata Anang?”


 

“Anang kamu percaya! Lagian ya kamu ngaca! Punya masa depan tidak?” tegas Lina menantang ego pria. Deg, Damar semakin terluka dengan pertanyaan itu.


 

Sastri mengerti adiknya sekarang pasti sedang terluka sekali, selain patah, juga terhina. Sastri lekas menarik tangan Damar untuk lekas pergi dari hadapan sejoli itu. Damar mengikuti tarikan kakaknya.


 

Lina memang menyukai Damar. Akan tetapi dia jauh menyukai masa depan yang cerah. Sigit anak kuliahan sehingga baginya sudah pasti masa depannya lebih cerah. Menurut Lina, kuliah memberikan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada yang tidak kuliah. Oleh karena itu, ia memilih Sigit, meskipun ia tidak begitu menyukai Sigit.


 

Setelah kejadian itu sepanjang perjalanan, Damar menjadi tidak bergeming. Melihat adiknya seperti itu, Sastri ikut pula tidak bergeming. Ia menepuk bahu adiknya dan mencoba mengajak mengobrol hal-hal yang menyenangkan.


 

“Hei, kita tadi mendapatkan lowongan kerja secara langsung dari pemilik usaha!” seru Sastri antusias untuk membangkitkan suasana hati positif pada adiknya. “Siapa tahu kita bisa ke kota besar dan merubah nasib kita seperti keinginanmu sore tadi!” serunya lebih antusias. Adiknya hanya menoleh, menatapnya sesaat, lalu tetap dalam suasana hati galau, tidak bergeming hingga sampai di rumah.


 

***


 

Makan malam Damar tidak berminat. Ia di dalam kamarnya sejak pulang tadi. Ia merenung harus bisa memiliki masa depan yang cerah. Kuliah? Kasihan emak bapaknya banting tulang.


 

“Tidak lapar adikmu kok tidak ikut makan?” tanya Darmi.


 

“Putus cinta, Mak,” bisik Sastri.


 

“Lah, tadi kan berangkat jualan, bagaimana ceritanya bisa tiba-tiba pulang jadi patah hati?” heran Darmi.


 

“Di jalan ketemu cewek satu sekolah yang disukainya. Cewek itu sedang sama pacarnya.”


 

“Oh ....” Darmi Kasih menjadi cemas akan mental putranya, karena ia sangat tahu patah hati bisa merusak jiwa seseorang. Menurutnya putranya masih terlalu muda mengalami hal itu. Jiwa muda yang masih labil, rapuh, mudah terpengaruh. “Semoga putraku tidak terpuruk,” batinnya sembari makan yang kemudian menjadi enggan makan.


 

“Kok makannya kayak tidak nafsu begitu, Mak?” tanya Sastri.


 

“Kenyang,” bohong Darmi Kasih.


 

“Kenyang makan apa, Mak?” tanya Sastri.


 

“Tadi waktu menggoreng ada lebih, jadi ya Mak makan saja,” alasan Darmi.


 

Akan tetapi Sastri mendapatkan pemikiran jika ibunya tidak nafsu makan karena adiknya. Ia tahu adiknya adalah anak kesayangan ibunya. Ia pribadi menjadi ikut merasakan adiknya tidak makan karena sedang sedih. Merasakan itu, ia pun menjadi makan dengan malas.


 

***


 

Di dalam kamar, Damar meluapkan emosi dengan mimik wajah dan menghantamkan kepalan tangannya ke bantal yang ditumpuk.


 

“Lina!” sebutnya lirih, tapi sangat geram, benci, dendam.


 

Ia kembali meninju bantal-bantalnya berulang kali. Napasnya ikut tertarik-tarik mengikuti alur emosinya.


 

***


 

Sastri di kamarnya memikirkan tadi, kata-kata gadis teman sekolah Damar. Ia teringat jika gadis itu menerangkan jika calonnya seorang mahasiswa.


 

“Damar harus kuliah!” tekadnya dalam suai bibirnya.


 

Oleh sebab tekadnya itu Sastri menyetel alarm ponsel sederhananya pukul tiga dini hari.


 

Sastri tertidur.


 

Beberapa saat kemudian ....


 

Kringggg ... kringggg ...! Kringggg ... kringggg ...!


 

Kringggg ... kringggg ...! Kringggg ... kringggg ...!


 

Sastri mendengar, ia pun heran kok bunyi. Ia membiarkan saja.


 

Kringggg ... kringggg ...! Kringggg ... kringggg ...!


 

Kringggg ... kringggg ...! Kringggg ... kringggg ...!


 

“Apa sih ... kok bunyi segala?” Ia meraih dan melihat ponsel sederhana yang fungsi komunikasinya hanya bisa telepon dan SMS saja. Fitur hiburan ada radio dan tiga game sederhana. Sisanya extras semacam kakulator, alarm.


 

“Masih jam tiga ....” Sastri heran kok bunyi sembari berpikir. Kemudian alisnya terangkat saat teringat penyebab ia menyalakan alarm. Ia lekas bangkit untuk ke kamar mandi mengambil wudu, lekas kembali ke kamarnya menggelar sajadah, sholat, dan bermunajat.


 

Kemudian terbesit ingatan akan ketiga kartu nama yang ia terima. Ia mengambil dan membaca ketiga kartu itu dengan raut wajah serius. Sastri lalu tersenyum.


 

Allahuakbar Allahuakbar!


 

Suara adzan subuh. Sastri lekas menyimpan ketiga kartu nama itu di dompet ponsel jadulnya. Ia lantas kembali berdiri untuk shalat subuh.


 

***


 

Mentari mulai bersinar. Tidak seperti biasanya yang bangun pas-pasan saat agak terang atau sudah terang, kadang subuh kadang tidak, hari ini Sastri telah bangun awal, telah subuh dengan tepat, bahkan sholat malam.


 

“Pagi sudah rapi, mau ke mana? Sekolah lagi?” tanya Damar yang hendak ke kamar mandi. Sastri tersenyum mendapatkan pertanyaan itu, tanpa menjawabnya.


 

“Kamu tidak subuh?” tanya Sastri.


 

“Malas.” Damar lekas ke belakang dapur, letak di mana kamar mandi rumah itu.


 

“Sastri, memang subuhan?” tanya Darmi.


 

“Alhamdulillah, Mak, hari ini subuhannya masih gelap tidak pas terang.”


 

Mak tersenyum mendengarnya. “Alhamdulillah,” ucapnya untuk hal itu. “Mak ke pasar dulu, beli bahan. Ikut tidak?” tawarnya kemudian.


 

“Tidak, mau beresin rumah saja, biar saat Mak datang bisa ikut bantu, bukan bersih-bersih lagi.”


 

“Assalamualaikum!” seru Darmi.


 

“Waalaikumsalam!” jawab Sastri dengan senyuman.


 

Darmi pergi membawa anting anyaman dan dompet kain kecil.


 

***


 

“Mar, Mbak, mau ke kota besar. Mungkin bisa merubah nasib kita,” ungkap Sastri sembari bersih-bersih saat Damar Satria telah rapih dan tengah duduk di kursi ruang tamu memakai alas kaki.


 

“Mbak, serius?”


 

Sastri mengangguk pasti.


 

“Tiga kartu nama itu ya?”


 

Sastri mengangguk lagi.


 

“Untuk itu berarti harus punya biaya, Mbak.”


 

Sastri melupakan hal itu. Memahami hal itu, ia menjadi down. “Iya, ya.”


 

“Kita tidak jadi saja, menabung untuk sepeda bapak. Kita menabung untuk Mbak pergi ke kota besar,” ujar Damar Satria.


 

Sastri Ambar Warni mengedip-ngedipkan bulu matanya mendengar penuturan itu.

 

 

“Tapi ....”