Contents
Urban
Urban 3. Persaudaraan yang Asyik
Urban 3. Persaudaraan yang Asyik
Damar dan Sastri saling pandang berbinar. Mereka lekas melihat ke arah pembeli.
Mereka lantas lekas mendekat. Saat sampai di teras rumah itu Sastri dan Damar mengenali mobil beserta plat mobil itu. Sastri dan Damar saling pandang. Keduanya sama-sama ingat dengan mobil itu. Mobil yang melaju kencang sembari melindas genangan air, yang membuat baju Sastri dan Damar kotor terkena cipratan air ledok. Pemuda kota itu memanggil keduanya dengan lambaian tangan. Sastri dan Damar lekas semakin mendekat persis di hadapan pemuda itu.
“Mas, Mbak Gorengan, beli gorengannya!”
“Kami bukan gorengan!” kesal Damar karena dipanggil gorengan. Ia pun kembali merasa jika orang kota itu sombong.
“Lah kan jualnya gorengan, masak iya saya panggil kang bakso?” balas pemuda itu santai. “Ayo masuk, hujan!” ajaknya kemudian.
Damar menahan emosinya. Mereka berdua lalu masuk ke rumah besar dengan tampilan mewah yang sederhana. Mewah karena lantainya keramik dan dindingnya berlapis putih. Berbeda dengan rumah mereka yang berlantai tanah dan berdinding berupa batu bata tanpa lapisan.
“Ada apa saja gorengannya?” tanya pemuda itu.
“Ada banyak macam. Pisang goreng, pisang molen, ubi goreng, ubi molen, tape goreng, jemblem, weji, menjes, kacang hijau, tahu berontak isi bihun wortel tidak pedas, tahu berontak isi jamur pedas, tempe mendoan, dan sukun,” terang Sastri.
“Mau semuanya,” ujar pemuda itu santai.
“Satu macam satu begitu?” tanya Sastri memastikan.
“Semuanya dua kotak ini,” jawab pemuda itu.
“Semuanya gorengan yang kami bawa maksudnya?” tanya Damar memastikan.
“Iya, semuanya,” jawab pemuda itu.
“Ada banyak orang di sini, lagi kumpul keluarga,” kata ibu pemuda itu menimpali sembari mendekat.
“Sedang kumpul semua anak dan cucu Uti dari kota jauh, kota besar. Ini belum datang semua, baru satu keluarga anak saya yang paling bontot,” terang seorang nenek ikut mendekat. Bibir Sastri dan Damar membentuk huruf O tanpa ada cicit kata sembari menatap ke nenek itu.
“Bentar lagi juga pada datang,” kata ibu pemuda itu.
Kemudian Sastri dibantu Damar membungkus semuanya sembari menghitung. Setelah pasti dan dimasukkan ke kantong plastik semua Sastri memberikan gorengannya kepada pemuda itu. Ibu pemuda itu lantas membayarnya.
“Terima kasih,” ucap Sastri lembut setelah menerima uangnya dan mereka hendak pergi.
“Tuh kan datang! Baru juga diomongin!” seru gembira ibu itu.
“Alhamdulillah sudah datang semua!” seru sang nenek lebih gembira. Sastri dan Damar ikut tersenyum merasakan kebahagiaan nenek dan keluarganya itu.
Pada saat itu satu mobil hitam datang parkir di teras yang cukup luas itu. Ada enam orang turun dari mobil itu. Mereka menghambur ke nenek yang bercerita tadi sembari berseru mengucap kata uti Jingga bersahutan serta salam yang penuh semangat. Mereka salim dan memeluk nenek itu.
Tidak berselang datang lagi mobil, juga berwarna hitam, hanya berbeda bentuk dan mereknya. Kali ini ada tujuh orang yang turun dari mobil itu. Mereka juga bertingkah dan memperlakukan nenek itu sama seperti sebelumnya.
“Eh, ini siapa?” tanya wanita yang turun dari mobil hitam pertama, istri putra pertama nenek Jingga.
“Pedagang gorengan. Itu si Cathan tadi yang panggil, Bu De,” terang Nachelle kakak perempuan dari Einar Cathan.
“Wah, mau dong gorengannya!” seru Garrick Herman.
“Tenang, udah Tante borong, semua kebagian!” seru Anandari semangat sembari menunjukkan beberapa kantong berisi gorengan. Semua yang datang melihatnya. Beberapa berbinar bahkan ternganga. Beberapa ingin, tapi bersikap santai. Akan tetapi semuanya lekas menghampiri gorengan itu dan menyantapnya.
“Sekali lagi terima kasih, kami permisi,” pamit Sastri dengan ada senyuman tipis yang manis dari bibirnya.
“Eh, tunggu! Nama kamu siapa?” cegah Anandari.
“Saya Sastri.”
“Umur berapa?”
“Dua puluh menginjak dua puluh satu.”
“Sekolah, kuliah?”
“Sudah lulus sampai menengah atas saja.
“Kalau kamu?”
“Saya Damar, tujuh belas tahun, kelas tiga SMA.”
“Kalau lulus mau kuliah apa kerja?”
“Saya tidak ada dana, sepertinya ya kerja saja.”
“Kalian saudara?”
“Iya,” jawab Sastri dan Damar hampir serempak.
“Kalian tidak mengadu nasib ke kota besar? Nih, kartu nama saya kalau kalian ke kota besar!” Wanita itu memberikan kartu namanya dengan antusias tulus untuk kehidupan kedua anak itu lebih baik.
Kedua pria paruh baya yang baru datang yang sepertinya pemilik kedua mobil itu juga memberikan kartu namanya.
“Siapa tahu kalian ke kota besar. Saya Herman,” kata salah satu paruh baya yang memberikan kartu nama. Pria ini adalah ayahanda dari Garrick Herman. “Saya ada bisnis cuci mobil, jual beli mobil, bengkel, dan banyak lagi lainnya,” terangnya kemudian.
“Saya Juna Aditya, saya dan istri punya bisnis restoran, kos-kosan, dan banyak lagi yang lainnya di kota besar.”
“Anak-anak Uti merantau semua. Alhamdulillah bisa sukses semua. Dulu rumah Uti tidak sebesar ini. Berkat putra Uti yang pertama ini, Herman. Dia juga lulus SMA saja, tapi ia nekat ke kota besar. Ia kerja buat membiayai adiknya dua, Juna Aditya dan Anandari. Alhamdulillah dua adiknya ikut merantau dan sukses. Mereka bertiga memang saling mendukung. Rumah Uti jadi diperbesar dengan beli rumah dan lahan tetangga yang ada di kanan dan dua di kiri. Jadilah rumah ini sekarang seperti ini,” cerita Jingga. “Kalian juga harus saling mendukung,” pesannya kemudian. Sastri dan Damar mengangguk-angguk.
“Kalau aku butik, mungkin Sastri berminat jadi SPG di butikku,” kata Anandari.
Sastri dan Damar mengangguk-angguk tersenyum. Keduanya saling pandang tersenyum.
Setelah itu mereka kembali berterima kasih dan pamit.
***
Hari masih dua puluh lima menit dari waktu mahgrib. Hari masih hujan, tapi tidak seintens sebelumnya. Mereka berjalan dengan lega gorengan mereka habis tidak tersisa.
“Akhirnya ya, Mbak,” lirih Damar.
“Ternyata yang mobil tadi yang membeli bahkan memborong.”
“Tapi mereka sombong. Siapa tadi nama pemuda itu? Einar Cathan. Dari namanya saja kelihatan nama orang-orang sombong.”
“Menurutmu sombong? Menurutku tidak.”
“Habis mereka membuat baju Mbak basah kotor, terus memanggil kita gorengan.”
“Yang pertama kan karena jalanannya begitu, jadinya ada genangan air, dan nyiprat kalau ada kendaraan yang melintas. Yang kedua, kitakan memang pedagang gorengan. Biasanya orang akan memanggil orang berdasarkan profesinya. Itu wajar.”
Damar tersenyum. “Bersama Mbak, apa-apa selalu menjadi positif.”
“Emak dan bapak yang ngajarin seperti itu kan?” Saat itu Sastri melihat sebuah musala. Ia pun terbesit keinginan ke tempat itu. “Mar, kita sudah dapat rezeki, Mbak jadi ingin sholat. Itu ada musala. Ayo ke sana asaran!” ajaknya.
“Sebentar lagi udah magrib. Lagian Mbak tidak membawa mukena.”
“Kita lihat dulu aja, ada tidak mukena di situ. Kalau ada asaran lanjut magriban.”
Damar tersenyum mengangguk sepakat.
Sastri menemukan mukena. Sesuai keinginan Sastri mereka berada di musala itu hingga selesai sholat magrib.
Setelah itu mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Hujan tinggal rintik-rintik saat itu.
Kwok kwok!
Kwok kwok!
Krog krog!
Krog krog!
Kwebek kwebek kwebek!
Kwok kwok!
Kwebek kwebek kwebek!
Krog krog!
Krog krog!
Kwok kwok!
Kwok kwok!
Krog krog!
Krog krog!
Kwebek kwebek kwebek!
Kwok kwok!
Kwebek kwebek kwebek!
Krog krog!
Krog krog!
Terdengarlah suara katak-katak bernyanyi saat mereka melintasi sawah-sawah.
“Ih, berisik, tapi lucu!” celetuk Sastri gemas sembari terasa keri di telinganya.
“Mau Damar tangkepin katak tidak?” tawar Damar.
“Boleh,” jawab Sastri.
Damar menangkap seekor dan menunjukkan ke Sastri. “Nih, Mbak!”
Sastri tersenyum melihatnya. “Sudah lepaskan, kasihan!” titah Sastri. Damar segera melepaskan.
“Tidak buruk juga jalan sama mbak, asyik kok. Benar kata nenek tadi saling mendukung,” batin Damar.
Beberapa langkah kemudian, Damar terpaku menatap kecewa saat sebuah sepeda motor melintas. Di sepeda motor itu nampak sepasang manusia berboncengan. Wanita di belakangnya adalah teman sekolah Damar, serta wanita yang Damar sukai.