Try new experience
with our app

INSTALL

Urban 

Urban 2. Pembeli

Urban 2. Pembeli


 

“Mbak, Mas, sini!” seru seorang pria paruh baya. Mereka menoleh dan lekas menghampiri.


 

“Mau beli gorengan, Pak? Enak dimakan hujan begini ditemani kopi atau teh,” tawar Sastri sembari memberi saran.


 

Ayo masuk!” Dengan senang hati pria itu mengajak kedua saudara itu masuk ke rumahnya. Pria itu membeli lima macam gorengan dengan satu macamnya dua buah. Ada pisang goreng, ubi yang dibungkus kulit molen, pisang molen, ubi goreng tepung biasa, dan rondo royal. Perbijinya seharga seribu Rupiah.


 

Setelah itu Sastri dan Damar kembali berkeliling.


 

“Alhamdulillah!” seru mereka berdua bersamaan dan saling pandang tersenyum saat telah jauh dari rumah pembeli pertama mereka.


 

Akan tetapi setelah lama berjalan lagi, keliling lagi, belum lagi ada pelanggan. Damar menatap dengan perasaan tidak nyaman ke Sastri yang terpatri di mimik wajah. Sastri paham apa yang dirasakan adiknya itu.


 

“Sabar,” lirih Sastri.


 

“Coba tidak hujan. Kalau berpencar, biasanya kan, dagangan kita sekarang sudah mau habis, bahkan sudah habis,” keluh Damar.


 

“Sabar.” Hanya kata itu lagi yang bisa dikatakan Sastri.


 

“Kalau tidak habis bagaimana?” khawatir Damar. Sastri juga tidak tahu.


 

“Damar, sama seperti cuaca kadang terang, mendung, gerimis, hujan, hujan besar, hujan badai, hujan es, panas, panas terik, ya memang jalan hidup dalam hal apa pun juga begitu, termasuk dagang. Kita hanya bisa terus bersabar, terus berusaha untuk berpikir positif, terus melakukan hal positif, pokoknya terus berusaha ke arah positif.”


 

"Weji, mendoan, sukun, tahu berontak, menjes, molen ubi, molen pisang, pisang goreng, ubi goreng, Rondo royal! Tahu berontaknya ada dua macam! Ada yang tidak pedas isi wortel! Ada yang pedas isi jamur!" pekik Sastri.


 

"Silakan gorengannya, buat teman ngopi ngeteh!" seru Damar.


 

“Bapak hanya tukang, kita hanya bisa dagang begini, apa kita tidak bisa berubah lebih baik, Mbak? Damar jadi ingat kata-kata emak tadi. Kita tidak pernah bisa ikut urun materi kalau ada sanak saudara atau tetangga yang punya hajat. Malu kan, Mbak, begitu terus?” keluh Damar di sela-sela berteriak jualan.


 

“Kita kan sudah urun tenaga, jadi tidak apa-apa.”


 

“Damar pernah dengar kok, orang-orang ngomongin keluarga kita karena hal itu.”


 

“Biar saja, toh kita belum pernah ada acara hajatan dan mendapatkan bantuan mereka.”


 

“Iya juga sih, Mbak. Em ... Mbak, Damar sedang menabung buat bapak beli sepeda pancal baru. Damar ingin sebelum bapak pulang sudah terkumpul dan sudah bisa beli sepedanya. Mbak mau ikutan tidak?”


 

“Hm ... itu ide bagus, Mbak ikut, mbak juga akan menabung!” Sastri antusias dengan ide menarik itu, mengingat sepeda bapaknya sudah usang dan sudah pernah beberapa kali patah.


 

Bapak mereka sedang ada di luar kota yang tidak jauh dari desa mereka, namun tetap perlu banyak waktu tempuh. Bapak mereka ikut proyek-proyek bangunan di kota kecil itu. Ia tidak pulang untuk hemat dan agar dekat dengan pekerjaan. Aryo Wira adalah nama bapak mereka. Aryo Wira di kota kecil itu kadang dapat proyek kadang juga tidak. Bapak mereka itu akan pulang ke rumah sebulan sekali. Sepeda pancal adalah alat transportasi yang selalu digunakan Aryo untuk perjalanan dari desa ke kota kecil, dari kota kecil ke desa, dan setiap pulang pergi mengunjungi proyek-proyek bangunan yang ia dapatkan.


 

“Hujan-hujan begini memang enaknya makan gorengan sih, Damar aja jadi pengen, tapi kok belum ada lagi sih yang mau gorengan?” heran Damar yang merasakan dirinya pribadi hujan begitu juga ingin gorengan.


 

“Bagaimana kalau kita beli sendiri dua buah?” ide Sastri.


 

“Buat apa beli, tinggal ambil?” heran Damar.


 

“Iya tidak apa-apa.”


 

Damar berpikir. "Ya udah deh, yuk kita beli sendiri!” seru Damar yang akhirnya tertarik dengan ide itu.


 

“Cari tempat berteduh dulu!” seru Sastri.


 

“Tuh, di sana!”


 

Sastri dan Damar duduk di sebuah balai-balai sederhana. Sastri membuka kotaknya dan mempersilakan Damar mengambil. Damar ambil tahu berontak yang tidak pedas. Sastri mengambil tahu berontak yang pedas yang isinya berupa jamur. Mereka makan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka.


 

Beberapa saat kemudian ....


 

Saat mereka berada di sebuah balai-balai menikmati gorengan, di seberang balai-balai itu, mereka melihat dua anak kecil di balik kaca rumah sederhana. Satu anak gigit jari, satu anak bibir dan lidahnya celam-celem.


 

“Mereka ingin,” lirih Sastri.


 

“Biar emak mereka beli kalau mau, Mbak.”


 

“Bisa jadi maknya gak punya, Mar,” lirih Sastri menduga. Kemudian ia terbesit sesuatu. “Kita beli sendiri dua lagi yuk, buat mereka!”


 

“Yah, masak kita beli sendiri lagi sih, Mbak?”


 

“Itung-itung beramal, meskipun hanya dua potong gorengan.”


 

“Iya deh.” Damar setuju dengan berat hati.


 

Sastri lekas membungkus dua buah molen pisang. “Kamu tunggu sini!” serunya sembari membawa payung.


 

"Dek, ini ada molen gratis buat kalian!" seru Sastri antusias. Kedua anak itu ke luar sedikit dari rumahnya dan menerima bungkusan dari Sastri.


 

Salah satu dari mereka membuka bungkusannya. Kedua anak itu bersama-sama melihat isinya. Mereka berbinar ternganga. Mereka lantas tersenyum lebar sangat senang.


 

"Molen!" celetuk mereka hampir bersamaan.


 

"Iya, molen pisang. Suka?"


 

"Suka, Kak!"


 

"Ini kesukaan kami, Kak!"


 

"Terima kasih, Kak!"


 

"Makasih, Kak!"


 

Sastri tersenyum mengangguk. Ia ikut senang dan bisa mengerti perasaan mereka, karena ia pernah mengalaminya. Ingin, tapi tidak bisa mendapatkan, lalu Allah SWT mengirimkan orang baik untuk membelikan keinginannya.


 

Setelah itu Sastri dan Damar kembali keliling menjajakan gorengan-gorengan itu.


 

***


 

"Gorengan ... gorengan! Enak hujan-hujan ditemani secangkir teh atau kopi!" seru Sastri.


 

"Gorengan ... gorengan! Jemblem, weji, menjes, molen pisang, molen ubi, pisang goreng, ubi goreng, rondo royal, mendoan, sukun!" seru Damar.


 

Di sebuah rumah yang cukup luas berlantai keramik putih, di sisi kiri terasnya yang juga luas terparkir sebuah mobil berplat B, dan di dalam rumah itu tampak ramai canda tawa kumpul keluarga, salah seorang pemudanya dari kaca jendela yang lebar, melihat keberadaan mereka.


 

“Wah, hujan-hujanan enaknya makan gorengan nih,” lirih pemuda itu. “Ma, aku mau gorengan itu dong!” serunya.


 

“Panggillah, Tan!” tegas ibunya.


 

“Mas, Mbak Gorengan, beli! Mas, Mbak Gorengan! Beli gorengannya dong, Mas, Mbak Gorengan!” panggil pemuda itu dengan sapaan gorengan.


 

Damar dan Sastri saling pandang berbinar. Mereka lekas melihat ke arah pembeli.