Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

My Marriage Contract Partner 

BAB 1. Sebuah Wasiat

Sebuah wasiat dari kakeknya yang disampaikan oleh sang Ayah membuat Andin dan kakaknya menggeleng tidak percaya. Wasiat yang berisi tentang perjodohan itu membuat keduanya benar-benar kehabisan kata-kata, keduanya hanya bisa terdiam dan tidak tahu harus memberikan respon seperti apa.

Sofia, kakak dari Andin susah payah menelan ludahnya, dia menghela nafas panjang sebelum dirinya berdiri dari tempat duduknya sekarang. Sofia berjalan mondar-mandir --diremasnya kedua tangannya— dia merasa cemas.  Pikirnya ini benar-benar gila, jangan sampai Ayahnya yang menyuruhnya untuk melakukan wasiat tersebut, apalagi dia kan yang tertua. Tapi dia sudah memiliki kekasih dan statusnya pun telah bertunangan, mana mungkin Ayahnya tega menyuruhnya menerima perjodohan itu. 

''No! Ayah nggak mungkin melakukan itu," gumam Sofia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia segera mengusir pikiran jelek itu dari kepalanya. Masih belum mempercayai semuanya, Sofia bertanya lagi pada Ayahnya, “Yah … apa ini beneran harus dilakuin?” Tanyanya dengan wajah memelas. Berharap semua ini bisa dibatalkan.

Gunawan menundukkan kepalanya, dia tidak tahu harus memberikan penjelasan seperti apa pada kedua putrinya ini.

Andin yang sedang duduk disamping Ayahnya mengusap-usap bahu Ayahnya itu.

“Yah … beneran harus dilakuin ya?” Andin yang dari tadi hanya diam pun akhirnya bersuara.

Gunawan yang tadinya menunduk, mendongakkan kepalanya, memandang kedua wajah putrinya secara bergantian. “Ayah sangat menghormati kakek kalian, dari dulu Kakek nggak pernah minta apapun dari Ayah. Ayah baru saja tau surat wasiat ini dari Pak Danendra, Ayah nggak tau harus memberikan respon yang seperti apa. Sejujurnya Ayah kurang setuju dengan perjodohan, karena Ayah ingin anak-anak Ayah memilih pasangan hidupnya sendiri. Tapi Pak Danendra sepertinya juga sangat menginginkan perjodohan ini tetap berjalan. Dan kalian juga tau sendiri kan, bagamana Ayah sangat menghormati beliau?”

Mendengar jawaban dari Ayahnya, raut wajah Andin dan Sofia pun langsung berubah. Kalau sudah menyangkut Danendra itu artinya harus dilakukan. Ya, mereka sangat tahu kalau Ayahnya itu tidak akan pernah bisa menolak permintaan dari Danendra.

“Terus gimana Yah? Nggak mungkin aku kan? Aku udah punya pasangan. Dan kita sudah merencanakan pernikahan loh.” Sofia benar-benar cemas, dengan alasan apapun dia tidak mungkin menerima perjodohan itu. Sofia sangat mencintai kekasihnya itu, lagipula kekasihnya juga menjajikan akan melamarnya dalam waktu dekat.

Mendengar jawaban dari Sofia, Andin menjadi sedikit panik. Anak Ayahnya hanya ada dua, kalau bukan kakaknya itu artinya dirinyalah yang harus menerima perjodohan itu, “Oh… no, no, no aku juga nggak mau,” Andin menggeleng memberikan isyarat penolakan.  Andin bergeser dari tempat duduknya dan mengambil posisi duduk bersimpuh didepan Ayahnya. “Yah, aku masih harus melanjutkan kuliahku. Aku nggak mau… .” Andin menatap Ayahnya dengan wajah memohon.

Gunawan juga menatap dalam kedua mata Andin.

Melihat tatapan Ayahnya, sepertinya memang dirinyalah yang menjadi target di perjodohan ini. Seketika Andin pun menjadi kesal.

“Kakak kan yang paling tua, jadi kakak yang harus menerima perjodohan ini!”

Sofia pun langsung menoleh pada Andin. Dia tidak terima dengan pernyataan yang dilontarkan adiknya itu. “Gue tau gue emang yang paling tua, ta…tapi kan gue udah punya cowok! Dan bentar lagi kita mau lamaran.”

Andin mendengus kesal. Lamaran? Lamaran dari hongkong! Sudah beberapa tahun terakhir kakaknya itu selalu menggembar-gemborkan tentang lamaran, tapi nyatanya itu tidak pernah terjadi. “Eh, dari jaman presiden Jokowi jabat di periode  satu sampai sekarang periode dua mau habis, acara lamaran lu itu cuma wacana doang ya. Lu yang tua jadi lu yang harus nikah duluan lah, masa gue.”

“Enak aja, gue sama pacar gue kan cinta mati. Nggak mau! Lagian lu juga kan udah di usia siap nikah, nggak dibawah umur juga kan. Nggak ada masalah sih seharusnya.”

“Iya juga sih ya.” Entah kenapa dengan bodohnya Andin meng-iyakan kata-kata dari kakaknya itu. Tapi sedetik kemudian dia menyadari kebodohannya itu dan langsung menarik jawabannya, “Eh tapi tetep aja gue nggak mau, gue masih harus kuliah ya. Enak aja, lagian te…tempat kuliah gue kan juga nggak ngebolehin mahasiswanya nikah.”

Sofia mengernyitkan matanya, menatap tajam ke arah adiknya itu. Bola mata Adiknya itu berkeliling. Dapat dipastikan kalau adiknya saat ini sedang berbohong. “Bohong ya lu?” Ucap Sofia sambil menunjuk wajah Adiknya itu.

Andin melihat ke arah Sofia dengan wajah kesal. Sial! Kakaknya ini memang tidak bisa dibohongi. “Eng…enggak…” Andin tetap berusaha untuk membohongi kakaknya itu.

Sofia berjalan mendekat ke arah Adiknya, menatap kedua mata adiknya itu dengan dalam. “Nggak ada peraturan kayak gitu sayang... gue juga dulu pernah kuliah disana. Lu nggak bisa bohongin gue.”

Andin tetap berusaha mempertahankan pernyataannya. Dia benar-benar tidak mau menerima perjodohan itu. “Pe… peraturan baru….” 

Sofia terkekeh mendengar jawaban dari Andin. Sudah pasti Adiknya ini juga akan menolak dengan segala cara. Salah satunya dengan berbohong seperti ini. Tapi agaknya Sofia sedikit lebih tenang sekarang. Setelah melihat situasi dan jawaban-jawaban dari Ayahnya, sepertinya target untuk perjodohan ini memang bukan untuk dirinya, melainkan untuk Adiknya, Andin. Sofia tidak ingin membuang tenaganya untuk melanjutkan perdebatannya dengan Andin. Dia pun lebih memilih untuk duduk di samping Ayahnya.

Gunawan mengusap pundak Andin. Ditatapnya lagi kedua mata anaknya itu dengan dalam.

Andin yang melihat tatapan Ayahnya yang seperti itu pun perasaanya menjadi tidak enak. Oh tidak, tatapan macam apa itu? ekspresi semacam itu hanya akan dikeluarkan Ayahnya ketika dalam mode serius 100%.

“Andin …. kamu bisa melakukan ini untuk Ayah dan Kakek kan?” Kata-kata yang tidak ingin Andin dengar akhirnya meluncur dari mulut Gunawan.

Itu membuat mata Andin langsung berkaca-kaca. Lidahnya seketika kelu, dirinya tidak menyangka kalau Ayahnya akan tega  menempatkan dirinya diposisi seperti sekarang ini.

“Kenapa sih Yah? Kenapa?” Andin masih belum bisa mencerna ini semua. Tentang perjodohan, tentang Ayahnya yang selalu tidak bisa menolak permintaan Danendra, dan lain lain. 

“Harus ya Yah? Apa Ayah harus selalu meng-iyakan permintaan dari Pak Danendra? Apa harus seperti itu terus Yah? Hum?” Kata Andin dengan mata berkaca-kaca sambil menatap kedua mata Ayahnya.

Gunawan menundukkan pandangannya. Kalau dipikir-pikir selama ini memang Gunawan selalu menjalankan perintah dari Danendra. Statusnya sebagai asisten pribadi Danendra memang mengharuskannya seperti itu. Tapi kali ini  berbeda, ini bukan hanya tentang masalah loyalitas. Lebih dari itu Gunawan memikirkan masa depan Andin. Ketika menikah dengan keluarga Nirubi itu artinya kehidupan Andin akan terjamin kedepannya. Apalagi Gunawan juga sudah sangat mengenal cucu dari Danendra yang akan dijodohkan dengan Andin, dia adalah pria yang baik. Gunawan juga yakin pria itu akan bisa menjaga Andin nantinya.

“Dia adalah pria yang baik. Ayah sudah sangat memikirkan ini semua sayang…. Lagipula ini juga wasiat terakhir dari kakek kan?”

Seketika Andin pun lemas. Pikirannya melayang jauh pada Daegal. Ya, Daegal. Seniornya di SMA sekaligus cinta pertamanya itu. Pria yang berhasil membuat seluruh dunia Andin teralihkan. Bisa dikatakan apa yang dilakukan Andin sampai detik ini, termasuk keputusannya untuk mengambil jurusan kuliner saat kuliah adalah karena Daegal. Ya… meskipun sampai detik ini Andin juga tidak tahu apakah Daegal juga memiliki perasaan yang sama dengannya atau tidak.

“Kalo aku punya cowok yang aku sukai gimana? Apa Ayah tetep mau aku setuju dengan perjodohan ini?”

“Pria yang kamu sukai belum tentu baik sayang. Dan cucu Pak Danendra ini, Ayah sudah kenal sama dia. Dia pria yang baik,” Gunawan menghela nafas dalam. Lagi-lagi Gunawan menatap dalam kedua mata Andin. Gunawan sudah paham pria yang dimaksud Andin adalah Daegal. “Lagipula apa pria yang kamu sukai itu sudah menyatakan perasaanya sama kamu? Belum kan? Sudah lebih dari lima tahun kamu menaruh harapan untuk dia. Okey Ayah akuin, Daegal adalah pria yang baik, dia sopan dan sangat menghargai kamu sebagai wanita. Tapi apakah dia pernah memberikan kamu kepastian tentang status kalian? Nggak sayang, dia nggak pernah memberikan kejelasan itu.”

Terdengar menyedihkan memang. Tapi semua yang dikatakan Ayahnya itu memang benar. Itu semua kenyataan. Andin tidak bisa menampiknya, justru kata-kata dari Ayahnya menjadi tamparan keras untuknya. Terbesit di pikirannya, apakah ini memang saat baginya untuk melupakan semua tentang Daegal? Apakah ini memang waktu bagi dirinya untuk mengubur dalam-dalam keinginannya untuk bisa bersama dengan Daegal? Tapi… apa harus dengan cara yang seperti ini? 

Kepala Andin dipenuhi dengan banyak sekali pertanyaan-pernyataan. Dadanya juga mulai terasa sesak sekarang. Tidak terasa air matanya pun menetes membasahi pipinya. Cepat-cepat Andin mengusap air mata di pipinya. Sambil mengatur nafasnya, dia mencoba untuk menenangkan dirinya.

Andin berdiri dari posisinya, “Aku masuk ke kamar dulu Yah.”  kata Andin singkat, sebelum akhirnya dia beranjak pergi menuju ke kamarnya. Butuh waktu baginya untuk memikirkan tentang hal ini. Bagaimanpun ini adalah sebuah pernikahan, bukan sebuah hal yang sepele. Andin butuh waktu untuk menjawabnya.

Gunawan hanya bisa menatap kepergian Andin. Melihat anaknya yang seperti itu, kini dia benar-benar merasa menjadi orang teregois. Dadanya juga terasa sesak. Tidak, ini bukan hanya sesak tapi lebih dari sesak. Ada alasan besar yang tidak bisa dia ungkapkan pada anaknya. Alasan kenapa akhirnya dia harus menyerah dan menyetujui perjodohan itu. Cukup dirinya sendiri yang tahu alasan itu, anaknya tidak perlu untuk mengetahuinya. Anak-anaknya tidak boleh tahu kalau sebenarnya Ayahnya ini tidak sekuat yang mereka bayangkan. Mereka tidak boleh tahu kalau Ayahnya ini hanya sebatas pengecut yang tidak bisa terlepas dari belenggu keluarga Nirubi.

----

Sementara itu ditempat lain, Aldebaran Reswara Nirubi sedang berdiam diri di ruang kerjanya. Sambil mengetuk-ngetukkan bolpoin yang dipegangnya ke meja, Aldebaran benar-benar berfikir keras.

“Kakek bener-bener bikin gue nggak berkutik kali ini! Arrgh! Sial!” Katanya sambil melempar bolpoin yang dipegangnya ke sembarang tempat. 

Aldebaran memijat-mijat keningnya, mencoba untuk memikirkan cara lain. Posisinya saat ini sulit, kakeknya mengatakan kalau dirinya harus menerima perjodohan yang sudah direncakan atau dirinya tidak akan dijadikan sebagai pewaris. Sedangkan pewaris adalah posisi yang sudah diinginkan Aldebaran sejak lama, banyak hal yang sudah dia korbankan untuk mencapai titik ini. Tinggal satu langkah lagi, tapi sialnya kakeknya itu sepertinya tidak akan membuat jalannya mulus. Perjodohan sialan ini membuat semua rencana yang telah disusunya berantakan.

“Kalo gue nggak nerima perjodohan ini itu artinya gue bakalan dicoret jadi pewaris. Tapi kalo gue nerima perjodohan ini, gimana dengan Kirana?” Kirana Nareswari, wanita yang sudah menjadi kekasihnya sejak Aldebaran duduk di sekolah menengah atas. Kaalu dihitung-hitung mungkin sudah lebih dari 8 tahun Aldebaran dan Kirana berpacaran.

Aldebaran mengambil ponsel yang dari tadi tergeletak di atas mejanya tepat disamping beberapa tumpukan berkas yang ada disana.

“Andini Diyanti.” Gumamnya sambil mengetikkan nama wanita yang rencanya akan dijodohkan dengannya itu. Aldebaran mengetikkannya dikolom pencarian google.

Sebuah fakta mengejutkan dia temukan dari sana. Jujur setelah membaca sedikit informasi yang ada disana, dia sedikit terkekeh. “Are you kidding me kakek? Maksudnya apa coba?” Aldebaran menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil meng-scroll layar ponselnya, dia bergumam sendiri, “Nggak ada yang menarik dari wanita ini. Dia bukan seorang selebriti, anak pejabat atau bahkan anak konglomerat. Dia hanya wanita biasa. Come on kakek… Apa yang sedang kakek pikirin sih?”

Kali ini Aldebaran benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran dari kakeknya. Pasti kakeknya punya alasan tersendiri sampai ingin menjodohkannya dengan wanita dari kalangan biasa seperti itu.

Cukup lama Aldebaran berfikir, sampai matanya terasa berat dan akhirnya dia pun tertidur.

--- 

-Keesokan Harinya-

Sinar matahari masuk melalui celah korden jendela di ruang kerja Aldebaran. Sinar itu mengenainya dan membuatnya terbangun dari tidurnya. Aldebaran mengangkat kepalanya yang dia benamkan diatas meja. Posisinya tidurnya yang seperti itu membuat punggung dan lehernya terasa kaku sekarang. Dia pun memutar ke kiri dan ke kakan, memberikan sedikit peregangan disana.

Matanya masih belum membuka sempurna, setengah mengantuk, saat tiba-tiba sebuah ide gila terlintas dikepalanya. Seketika matanya pun langsung terbuka lebar.

“Pernikahan kontrak! Ya, pernikahan kontrak. Agak gila sih, tapi ini ide yang paling oke menurut gue. Gue cuma nikah sama cewek itu sampai pengumuman pewaris selesai dilakukan, setelah itu gue bisa bercerai sama dia.”

Aldebaran berpikir sejenak. Pernikahan kontrak memang ide yang bagus. Tapi apakah wanita yang akan dijodohkan dengannya juga akan setuju dengan ide ini? 

“Arrggh… pusing gue!” Aldebaran yang kesal mengacak-acak rambutnya.

 

Bersambung....