Contents
IBU SAMBUNG
Part 3
Kehilangan seorang istri akibat kelalaiannya pada empat tahun yang lalu hanya menyisakan penyesalan terbesar dalam hidup Aldebaran. Kata maaf, rasa menyesal, dan air mata pun tidak akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Istrinya sudah terbenam dalam tanah bersama cinta mereka.
Aldebaran memang tidak bisa memutar waktu ke peristiwa empat tahun yang lalu atau menghidupkan istrinya lagi. Yang dia lakukan saat ini semata-mata ingin menggantikan rasa sesalnya dulu dengan menyelamatkan satu nyawa yang saat ini sedang berjuang hidup di ruang operasi.
Empat tahun yang lalu, Aldebaran yang sedang melakukan rapat dengan klien dan para staff-nya, sengaja tidak mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dia pikir itu hanya nomor yang tidak penting. Namun, si penelepon seakan tidak menyerah menelepon hingga entah yang ke sekian kalinya akhirnya dijawab juga. Aldebaran langsung terpaku dengan penuturan si penelepon yang mengabarkan bahwa sang istri mengalami kecelakaan dan sedang dibawa ke rumah sakit. Aldebaran bergegas meninggalkan ruang rapat dan pergi ke rumah sakit. Ketika tiba di sana, Aldebaran mencari sosok istrinya yang kata suster sedang ditangani dokter. Waktu seakan berhenti berputar setelah sang dokter memberi tahu bahwa sang istri telah meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit.
Sekilas kejadian itu masih Aldebaran ingat dengan jelas. Dia duduk dengan kondisi hati yang tidak tenang, mengusap wajahnya yang gusar. Sesekali, dia melirik pintu ruangan tersebut yang belum kunjung terbuka. Kedua telapak tangannya saling meremas. Menunggu sang dokter keluar membawa kabar bahwa si korban telah berhasil melewati masa kritis, misalnya—sebelum dia pulang.
Aldebaran menyandarkan kepala ke dinding. Kepalanya menengadah ke plafon putih yang terpasang lampu-lampu kecil sebagai penerangan. Dia merenung sejenak, terlintas dalam benaknya. Untuk apa dia harus cemas dan repot-repot menunggu seperti ini? Bisa saja, dia meminta salah satu suster merawat wanita itu dengan memberi segepok uang untuk biaya berobat, lalu dia bisa pulang dan istirahat di rumah. Lagi pula, wanita itu bukanlah siapa-siapa baginya. Hanya orang asing yang tidak diketahui identitasnya, tiba-tiba mengalami kecelakaan di depan rumahnya.
Aldebaran melirik arlojinya. Hari hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Selain wanita yang sedang berjuang hidup, ada sosok perempuan kecil yang memenuhi pikiran Aldebaran saat ini. Dia menelepon ibunya, menanyakan apakah Reyna sudah tidur sekaligus memberi tahu bahwa dia akan pulang agak malam. Setelah mendapat jawaban dari ibunya, hatinya sangat lega. Reyna sudah tidur sejak tadi meskipun bocah perempuan itu ingin menunggu ayahnya pulang.
Setelah selesai berbincang dengan Rosa di jalur telepon, Aldebaran kembali menelepon Rendi—asisten pribadinya. Dia meminta Rendi untuk meng-handle semua pekerjaannya besok karena Riza mengirim pesan bahwa polisi memintanya datang ke kantor besok untuk dimintai keterangan terkait kecelakaan yang terjadi di depan rumahnya.
***
Reyna melangkah pelan, menyusuri padang rumput yang luas. Tak ada siapa pun di sana. Merasa ketakutan yang luar biasa, dia berteriak memanggil ayahnya sambil menoleh ke kanan dan kiri. Buliran air mata mulai menetes di pipinya.
Langkahnya terhenti. Sia-sia terus berjalan, tetapi tidak menemukan jalan pulang. Dia menangis, meraung-raung menyebut ayahnya. Dari belakang, seseorang memeluknya. Begitu hangat, Reyna sangat mendambanya.
"Ini Mama, Nak. Tidak usah takut. Mama akan melindungimu."
Bisikan lembut di telinganya seketika menenangkan tangisan Reyna. Bocah perempuan itu mengusap air matanya dan berbalik menghadap orang itu. Benar, dia adalah ibunya. Tangisannya kembali terisak keras. Dia balas memeluk dengan erat. Melepas rindu yang teramat lama. "Aku kangen Mama. Mama jangan tinggalkan aku lagi."
Sang ibu mengusap lembut belakang rambutnya. "Mama tidak pernah meninggalkan Reyna. Selama ini, kita selalu dekat."
Reyna merenggangkan pelukan seraya menatap ibunya dengan raut penuh tanya. Ibunya tersenyum sambil menghapus jejak buliran bening yang masih tersisa di sudut mata. "Meskipun kita sudah beda dunia, Mama akan selalu ada di hati Reyna. Menjaga dan menyayangi Reyna."
"Mama ...," ujar Reyna lirih, tak henti. Matanya terpejam, tubuhnya menggeliat gelisah di tempat tidur.
Mirna yang kebetulan masuk ke kamar ingin membangunkan Reyna, cepat-cepat menghampiri dan menggoyangkan tubuh Reyna. "Gemoy, bangun, yuk! Nanti telat ke sekolah."
Reyna tersentak dari mimpinya. Dia menoleh ke sekitar dan baru tersadar bahwa dia ada di kamarnya. Mirna mengerutkan dahi melihat raut sedih di wajah Reyna. "Kamu mimpi buruk, ya?"
"Aku mimpi mama, Encus. Aku kangen mama."
Mirna menghela napas pelan. "Gemoy nggak boleh sedih. Kalau Gemoy kangen mama, Gemoy lagi sedih, Gemoy berdoa aja biar hati Gemoy tenang."
Reyna mengangguk. "Iya, Encus. Aku akan kirim doa untuk mama."
"Sekarang Gemoy mandi dulu, abis itu sarapan. Nanti telat pergi ke sekolah."
Reyna beranjak ke kamar mandi dibantu Mirna. Usai berpakaian seragam putih merah, mereka melangkah ke ruang makan. Di sana sudah ada Rosa yang sedang menata meja makan. Segelas susu dan beberapa potongan roti sudah tersaji di atas meja makan.
"Oma," panggil Reyna dengan nada cerianya.
Rosa menoleh dan menyambut Reyna dengan senyuman pula. "Pagi, Cucu Oma yang cantik! Ayo, duduk! Kita sarapan bareng." Rosa menarik kursi untuk Reyna.
Reyna duduk di kursi tersebut. Kepalanya menoleh ke sekitar. Tidak mendapati sosok ayahnya yang biasa sudah duduk di sana, dia bertanya, "Papa mana, Oma? Papa nggak ikut sarapan dengan kita? Apa Papa masih tidur?"
"Papa udah pergi pagi-pagi tadi, Sayang. Papa pergi ke rumah sakit. Mau jenguk korban kecelakaan semalam," jawab Rosa seraya mengoleskan roti dengan selai cokelat dan memberikannya ke piring Reyna.
"Kira-kira, korbannya selamat, nggak, Oma?"
"Oma belum sempat nanya. Semalam Papa pulang sangat larut, Oma udah tidur. Terus tadi pagi Papa buru-buru pergi."
"Gimana aku pergi ke sekolah hari ini, Oma?"
"Kamu tenang aja. Ada Om Riza yang nganterin. Oma juga ikut nemenin Reyna ke sekolah. Sekarang Reyna abisin rotinya. Nanti telat."
Reyna menyantap satu per satu roti yang sudah dipotong Rosa, sedangkan Mirna menyiapkan bekal dan memasukkan kotak bekal ke dalam tas Reyna.
***
Aldebaran baru bisa menghela napas lega setelah kedua urusan selesai. Dia tidak langsung pulang ke rumah, tetapi singgah ke sekolahan Reyna—menunggu sang putri pulang.
Reyna yang sudah berjalan ke arah parkiran, begitu semangat langkahnya ketika melihat sang ayah yang datang menjemput. "Papa!" pekiknya riang.
Aldebaran menyambut kedatangan putrinya dengan tersenyum lebar.
"Aku senang Papa yang jemput aku hari ini."
Aldebaran sedikit berjongkok, menyamakan tinggi dengan Reyna. "Iya, urusan Papa selesai lebih cepat. Jadi, Papa langsung datang ke sini jemput Reyna. Kebetulan, letak rumah sakit dan sekolah Reyna nggak terlalu jauh."
"Korbannya selamat, nggak, Pa?"
"Syukurlah, keadaan korban sudah agak membaik. Masih harus banyak istirahat kata dokter."
"Aku mau jenguk, Pa. Boleh, nggak?"
Aldebaran mengembangkan senyum mendengar kepedulian Reyna terhadap orang lain. Benar-benar mewarisi kebaikan hati mendiang istrinya. Semasa hidup, istrinya dulu juga begitu. "Tentu saja boleh."
Aldebaran menuntun Reyna masuk ke mobil. Setelahnya, dia menyusul duduk di balik setir kemudi. Mobil pun melaju ke arah rumah sakit. Tak membutuhkan waktu lama, mereka tiba di sana. Ayah dan anak itu berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan antara satu ruangan dengan ruangan yang lainnya. Langkah mereka berhenti di depan dinding kaca ruangan ICU.
Berhubung baru selesai operasi dan sedang dalam masa pemulihan, tidak sembarang orang bisa masuk. Jadi, Aldebaran dan Reyna hanya melihat pasien dari dinding kaca yang transparan itu.
Reyna yang tidak bisa melihat dengan jelas meski sudah berjinjit, akhirnya digendong Aldebaran. Setelah melihat wanita itu tak berdaya di atas brankar, hati kecil Reyna terenyuh. Padahal, wanita itu bukan keluarga atau kerabat.
"Reyna udah jenguk, kan? Sekarang kita pulang, ya. Tante itu mau istirahat," bujuk Aldebaran.
"Iya, Pa. Kalau tante itu udah sembuh, aku boleh datang lagi, nggak?"
"Iya, boleh. Nanti Papa temenin."
Aldebaran menurunkan Reyna, lalu kembali menyusuri koridor yang tadi. Ada secuil rasa tidak rela berpisah dengan si korban itu dalam benak Reyna. Dia merasa masih ingin berada di dekatnya meski terhalang dinding kaca. Namun, dia tahan rasa itu sampai keadaan wanita itu membaik.