Contents
IBU SAMBUNG
Part 2
Empat tahun sudah berlalu. Kenyataannya begitu sulit Aldebaran menerima kepergian istrinya. Hari-hari yang dia lewati tak lagi sama seperti saat mendiang istrinya masih hidup. Meski sudah ada Reyna, buah hati mereka, tetap saja dia merasa kesepian. Separuh hatinya seakan hilang bersama kepergian sang istri.
Menepati janjinya, kini Aldebaran dan Reyna sedang berada di TPU Teratai Indah. Berdua menyusuri jalan setapak di antara gundukan tanah yang berjejer rapi. Langkah keduanya berhenti tepat di depan nisan yang bertulis Nindy Olivia. Mereka sedikit berjongkok di samping makam tersebut.
Aldebaran mengusap pelan nisan istrinya. Matanya yang mulai berair, mengaburkan pandangannya di balik kacamata hitam yang sengaja dia pakai agar Reyna tak melihat air matanya.
Nin, ini aku Al, suamimu. Bagaimana kabarmu di sana? Pasti kamu baik-baik saja, kan? Hari ini aku datang berdua dengan Reyna. Kami sangat merindukanmu, Nin. Lihatlah, anak kita sangat menggemaskan, bukan? Aldebaran meratapi nisan istrinya sambil bicara dalam hati, sementara Reyna hanya diam menatap ayahnya dan makam di depannya.
Reyna bisa merasakan kerinduan yang teramat dalam diri ayahnya kepada mendiang ibunya. Saat ibunya meninggal, Reyna masih berusia tiga tahun. Dia memang belum mengerti apa-apa, tetapi dia masih ingat pelukan hangat ibunya, suara merdu ibunya saat menyanyikan lagu pengantar tidur, usapan lembut di pipinya saat membangunkannya. Semua itu kini tinggal kenangan yang tak 'kan bisa terulang lagi.
"Reyna senang bisa ketemu mama?"
"Senang, Pa. Coba aja mama ada di sini, ya, Pa."
Aldebaran bisa melihat sorot kerinduan dari mata Reyna. "Biarpun mama nggak ada di sini, mama bisa lihat kita dari atas sana."
Reyna mengikuti arah telunjuk Aldebaran yang mengarah ke langit. "Pa, kita sama-sama doain mama, yuk!"
Aldebaran tersenyum. "Reyna yang pimpin doanya, ya."
Usai berdoa, Aldebaran dan Reyna menaburkan bunga yang sebelumnya mereka beli di dekat TPU. Setelah itu, mereka kembali ke rumah.
Ketika malam tiba, Reyna menggeliat gelisah. Lampu kamar sudah padam. Namun, dia masih saja tidak bisa tidur. Sekilas dia teringat akan kebiasaan ibunya yang selalu menyanyikan lagu agar dia bisa tertidur.
Reyna beranjak dari tempat tidurnya, melangkah ke jendela. Dia membuka tirai dan melihat jutaan bintang yang berkelip indah di langit. Dia memandang mereka begitu lekat.
"Bintang, apa kalian punya banyak mama? Kalau boleh, aku minta satu, ya, biar ada yang nemenin aku tidur dan papa nggak sedih lagi."
Merasa sia-sia bicara dengan bintang, Reyna merengut sedih dan menutup kembali tirai jendela. Detik itu juga, terdengar dentuman keras dari arah jalan. Ekspresinya berubah terkejut. "Suara apa itu?"
Reyna cepat-cepat membuka tirai dan melihat ke bawah. Kebetulan jendela kamarnya mengarah ke jalan raya sehingga dia bisa melihat kerumunan orang-orang di depan gerbang rumahnya.
"Ada apa itu? Kok, ramai banget?"
Reyna bergegas ke luar kamar untuk memberitahukan kejadian di depan rumahnya. Saat dia melewati ruang makan, Kiki, dan Mirna tergesa-gesa menuju pintu utama. Tak lama kemudian, Aldebaran menyusul.
Reyna ingin menceritakan tentang apa yang dia lihat tadi. Akan tetapi, Aldebaran sudah keluar. Rosa yang terkejut dengan suara tadi pun ikut ke luar kamar. Dia menghampiri Reyna yang mematung di dekat ruang tamu.
"Reyna, kamu belum tidur?"
"Belum, Oma. Aku kaget dengar suara tadi. Pas aku lihat di jendela, di depan rumah kita banyak orang. Ramai banget. Aku juga mau keluar, Oma."
Rosa menggeleng. "Nggak, kita di sini aja, ya. Kan, ada Papa, Miss Kiki, dan Encus Mirna yang keluar. Mending sekarang, Reyna tidur, ya. Ini udah malam. Besok, kan, Reyna mau sekolah. Oma yang temenin."
Reyna terpaksa menuruti kata-kata Rosa meski penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, dia kembali ke kamarnya bersama Rosa.
Sementara itu, keadaan di luar rumah mendadak macet. Uya dan Riza sedang berdiri di antara kerumunan para pengguna jalan yang berhenti. Kiki dan Mirna ikut menyelip dan menanyakan kejadian yang sebenarnya kepada Uya. Aldebaran pun mendekati mereka.
"Ada apa ini, Uya?" Aldebaran menatap seorang wanita tergeletak di pinggir gerbang dengan kondisi bersimbah darah dan tidak sadar. Di dekatnya ada sebuah mobil pick up yang kemungkinan sudah menabrak wanita itu.
"Kecelakaan, Pak Bos." Di sela Uya menjelaskan kronologinya, kecelakaan tragis yang merenggut nyawa sang istri empat tahun yang lalu kembali terbayang-bayang dalam ingatan Aldebaran. Saat itu, dia masih berada di kantor dan mendapat telepon dari rumah sakit bahwa istrinya mengalami kecelakaan. Kondisinya sangat kritis. Aldebaran yang panik, langsung meninggalkan kantor dan pergi ke rumah sakit. Saat ini, ada seorang wanita yang mungkin akan bernasib sama seperti mendiang istrinya jika tidak segera dibawa ke rumah sakit. Tak ingin hal itu terjadi pada orang lain, Aldebaran memerintah Uya dan Riza untuk membopong wanita itu ke dalam mobilnya.
“Saya udah telepon ambulans, Pak,” ujar Riza.
“Mana ambulans-nya? Kalau tidak segera ditolong, kondisi wanita ini akan makin parah. Emangnya, kamu mau seperti itu?”
Riza menunduk. “Nggak, Pak.”
“Kalau ambulans-nya nanti datang, kalian bilang saja sudah dibawa ke rumah sakit.” Aldebaran duduk di balik setir kemudi, lalu menoleh ke Kiki dan Mirna. “Bilang ke mama kalau saya mau mengantar korban ini ke rumah sakit. Kalian jaga Reyna.”
“Baik, Pak Bos,” sahut Mirna.
“Iya, Mas Al,” sahut Kiki juga.
Mobil Aldebaran melaju meninggalkan rumah, melewati kerumunan orang-orang. Kiki, Mirna, Uya, dan Riza memandang heran dengan sikap Aldebaran yang tampak peduli dengan wanita yang tak dikenalnya. Mereka juga tidak menampik bahwa Aldebaran memang tipe orang yang baik sehingga sikapnya tadi dinilai wajar sebagai manusia yang menolong orang lain.