Try new experience
with our app

INSTALL

IBU SAMBUNG 

Part 1

Reyna berjalan lemas menuju parkiran. Dia menghampiri neneknya, Rosa, yang sedang berdiri di samping mobil, seperti biasanya. Senyuman ramah seakan tak pernah luntur di wajahnya yang masih terlihat muda meski usianya sudah memasuki lima puluhan.


 

“Hai, Cucu Oma yang cantik!” Rosa mencubit gemas pipi chubby Reyna. “Gimana sekolahnya hari ini? Nice?”


 

Reyna menggeleng. “Nggak, Oma.”


 

Menyadari ekspresi cucunya yang tidak seceria biasanya, Rosa bertanya lagi dengan ekspresi yang sama dengan Reyna, “Ada apa? Apa ada teman sekelasmu yang menjahilimu atau ibu guru memberikan banyak tugas?” Rosa yakin Reyna sedang mempunyai masalah sehingga wajah anak kecil itu merengut sedih.


 

“Aku mau pulang, Oma.”


 

Pertanyaan Rosa tak dijawab. Reyna langsung masuk ke bangku belakang setelah Riza—sopir pribadi Aldebaran—membukakan pintu untuk anak tunggal majikannya.


 

Rosa tercenung dengan sikap Reyna. Apa yang menyebabkan Reyna jadi sedih? pikirnya dalam hati.


 

Sepanjang perjalanan, Reyna hanya diam dengan tatapan lurus mengarah jalanan. Rosa yang duduk di sampingnya, berusaha mencairkan suasana agar Reyna mau menceritakan masalahnya.


 

“Reyna, kamu mau roti cokelat, nggak? Nanti Oma minta Om Riza untuk mampir ke AA Bakery.”


 

Reyna menggeleng. “Aku lagi nggak mau makan roti, Oma.”


 

Rosa menempelkan tangan ke dahi Reyna. Mungkin Reyna sedang tidak enak badan sehingga tampak lemas dan tidak bersemangat. Namun, tidak terasa hangat pada dahi Reyna. Itu berarti Reyna sedang tidak demam. Lalu, apa yang menyebabkan Reyna seperti ini?


 

Sesampai di rumah, Reyna dibantu Suster Mirna untuk mengganti pakaian di kamarnya, sementara Rosa duduk di ruang tamu sambil mengirim pesan ke Aldebaran untuk segera pulang karena khawatir dengan keadaan Reyna.


 

Aldebaran baru saja selesai rapat dengan klien dan staff, mengerutkan dahi saat membaca pesan dari ibunya. Turut khawatir seperti ibunya, Aldebaran beranjak dari ruangannya dan meminta Rendi—asisten pribadinya—untuk menangani rapat nanti sore dengan perusahaan Elnino Gemilang.


 

Dengan kecepatan tinggi, Aldebaran mengendarai mobilnya agar cepat sampai di rumah. Dia tak peduli seberapa banyak pekerjaan di kantor, pasti akan ditinggalkan atau diserahkan ke Rendi untuk diselesaikan. Sesampai di depan gerbang rumahnya, Uya—satpam—cepat-cepat membuka gerbang sebelum bosnya marah karena lambat membukakan gerbang.


 

Secepat kilat, Aldebaran keluar dari mobil dan berlari masuk ke rumah. Uya yang sudah menutup  gerbang, memandang heran melihat bosnya yang tergesa-gesa.


 

“Ada apa, ya? Apa ada masalah di dalam rumah? Ah, moga semuanya baik-baik aja.” Uya kembali ke pos satpam.


 

***


 

Aldebaran melihat ibunya sedang duduk menunggunya di ruang tamu. Dia langsung menghampiri. “Sebenarnya, ada apa, Ma? Di mana Reyna?”


 

“Reyna ada di kamarnya. Mama udah coba tanya ke dia, tapi dia tetap diam. Nggak mau jawab. Coba kamu yang tanya, mungkin dia mau cerita. Mama khawatir. Makin lama dia memendam sesuatu, dia akan sakit atau melakukan hal yang—”


 

Aldebaran langsung mengusap pundak ibunya. “Mama nggak usah mikirin hal yang macam-macam dulu, ya. Urusan Reyna, biar aku yang tangani.”


 

Rosa tersenyum, lalu mengangguk. “Oke, Al.”


 

“Aku pergi ke kamar Reyna. Mama istirahat, ya.” Aldebaran bergegas masuk tanpa mengetuk pintu. Di sana ada Reyna yang sedang main boneka dengan Mirna, pengasuhnya.


 

“Eh, Pak Bos.” Mirna menyingkir dari tepi ranjang, memberi ruang untuk Aldebaran mendekati putrinya. Merasa ayah dan anak itu perlu bicara, dia segera pamit keluar.


 

Setelah pintu tertutup, Aldebaran menatap putri semata wayangnya seraya mengusap lembut dagu Reyna. “Reyna udah makan?”


 

Reyna mengangguk. “Udah, Pa. Tadi disuapin Encus.”


 

“Tadi di sekolah belajar apa?” tanya Aldebaran, mencoba memancing reaksi Reyna.


 

“Belajar nari dan nyanyi, Pa, soalnya minggu depan ada acara ibu dan anak,” jawab Reyna yang tak bisa berbohong di depan Aldebaran. Sejak ditinggal pergi ibunya, dia sangat dekat dan terbuka dengan ayahnya.


 

“Oh, ya? Kalau begitu, Papa dan Oma mau datang lihat penampilan Reyna,” ucap Aldebaran tersenyum, menghibur hati Reyna.


 

Bukannya tersenyum, Reyna malah makin sedih sampai-sampai buliran bening keluar menetes di pipinya. 


 

Aldebaran jadi heran, apa dia ada salah bicara? Aldebaran menyeka air mata Reyna. “Lho, anak Papa kenapa nangis?”


 

Reyna sesegukan dengan tangisan yang begitu pilu didengar Aldebaran. “Aku kangen Mama, Pa. Aku mau ketemu Mama,” ungkapnya. Suaranya parau.


 

Aldebaran langsung meraih tubuh Reyna ke pelukannya. Dia dekap putrinya begitu erat. Kenangan bersama istrinya kembali terputar dalam memorinya. Tanpa dia sadari, dia ikut meneteskan air mata.


 

“Papa juga kangen Mama.”


 

Reyna melepas diri dari pelukan ayahnya, menatap ayahnya penuh harap. Matanya masih berlinang. “Aku mau ketemu Mama sekarang, Pa.”


 

Aldebaran menghela napas berat. Sudah empat tahun berpisah dengan istrinya, dia tidak yakin bisa kuat jika bertemu lagi. Namun, melihat kesedihan Reyna, dia tidak sanggup untuk menolak. Dia terpaksa memasang senyum di sela air matanya. “Baiklah, kita pergi ketemu Mama, tapi Reyna harus janji jangan nangis, ya. Nanti Mama ikutan sedih juga. Reyna nggak mau, kan?”


 

“Nggak, Pa. Aku nggak mau Mama ikutan sedih.” Reyna menautkan kelingkingnya ke kelingking ayahnya. “I’m promise.”


 

Aldebaran menghapus jejak air mata di pipi Reyna. “Sekarang Reyna ganti baju. Nanti Encus yang bantu gantiin. Papa tunggu di ruang tamu, ya.”


 

Ekspresi Reyna langsung berubah gembira. Senyumnya mengembang usai bersedih. “Hore, aku mau ketemu sama Mama!”


 

Hati Aldebaran begitu menghangat saat melihat putrinya kembali tersenyum. Dia melangkah ke luar kamar dan meminta Mirna untuk membantu Reyna bersiap-siap. Mirna bergegas masuk ke kamar Reyna.


 

Ketika Aldebaran hendak masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, Rosa berjalan menghampirinya. “Bagaimana keadaan Reyna sekarang, Al? Dia sudah membaik?”


 

Aldebaran menghela napas. Kepalanya sedikit tertunduk. “Dia rindu ibunya, Ma. Dia mau ketemu sekarang.”


 

“Wajar, Al. Dia masih kecil. Tentu dia merindukan sosok ibunya. Dia butuh kehangatan dari sosok wanita yang melahirkannya, nggak cuma ayahnya aja." Rosa menyentuh pundak Aldebaran. "Sudah empat tahun, Al. Sudah waktunya kamu mencari pendamping hidup lagi. Kamu butuh sosok istri yang bisa mendampingi sepanjang hidupmu, menyayangimu dan Reyna dengan penuh kasih sayang. Kamu harus move on, Al. Hidup terus berjalan, waktu pun tak pernah berhenti.”


 

“Sampai kapan pun, aku nggak mau menikah lagi, Ma. Aku cukup mencintai satu wanita dan menikah satu kali dalam hidupku. Bagiku, bisa meneruskan hidup bersama Reyna dan Mama, itu sudah cukup.”


 

Sudah berulang kali, Rosa membujuk putranya untuk menikah lagi. Kenyataannya, Aldebaran tetap kukuh dengan keputusannya seolah-olah tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk ibunya sendiri.


 

“Baiklah, Al.” Rosa menyerah. “Mama nggak akan maksa kamu lagi. Cuma satu pesan dari Mama, pikirkan kepentingan Reyna. Dia butuh seorang ibu.”


 

Setelah mengatakan itu, Rosa berbalik ke kamarnya, sementara Aldebaran masih terdiam mematung di depan pintu. Merenungkan ucapan ibunya.


 

***