Contents
Rasa Ini Masih Sama
BAB 7
"Semuanya udah diberesin kan? Yakin nggak ada yang ketinggalan?" Teriak Andin pada anak-anak.
"Udah beres semua kok ma." Jawab Anes sambil mendorong sebuah koper.
"Okey, kalo gitu masukin semuanya ke bagasi. Kalo udah masuk semua barangnya, kalian langsung masuk mobil." Sahut Andin.
"Iya... " Jawab anak-anak kompak.
Al-Andin dan Aditya-Jihan merasa sedikit lega, setidaknya anak-anak bisa menerima keadaan saat ini. Beruntung tidak ada protes dan perlawanan dari anak-anak, justru mereka yang menguatkan orang tuanya saat ini.
Awalnya Al-Andin dan Aditya-Jihan bingung memberikan penjelasan yang seperti apa. Mereka berempat takut kalau-kalau anak-anaknya tidak bisa menerima kondisi keluarganya yang saat ini. Tapi mereka bersyukur pikiran buruk itu tidak terjadi, anak-anak ternyata sangat pengertian dengan kondisi mereka.
.
.
Flash back on
-Seminggu yang lalu-
Bel pulang sekolah pun berbunyi, anak-anak segera keluar dari kelas masing-masing. Mereka bergegas untuk segera keluar dari gedung sekolah. Mobil jemputan mereka sudah menunggu didepan gedung sekolah.
Satu persatu dari mereka langsung masuk kedalam mobil. Entah mengapa wajah mereka semua terlihat murung. Alden fokus melihat ponselnya, dia berusaha mencari-cari informasi perihal kebenaran kebangkrutan papanya itu. Jujur dia masih tidak percaya dengan bualan yang dilontarkan Ansel saat dikelas tadi. Tapi sepertinya itu tidak membuahkan hasil, tidak satupun berita yang bisa dia temukan.
Lalu Alden melihat kesekelilingnya, Alden merasa heran kenapa yang lain terlihat murung. Alden yakin memang ada yang tidak beres disini.
"Hei, kalian semu kenapa sih? Kok kelihatan bete gitu? Ada masalah?" Tanya Alden pada semuanya.
"Nggak kenapa-napa sih, cuma kesel aja kak. Masa temen-temen sekelas tadi ngeliatin kita sinis gitu. Kan kesel ya." Jawab Kia.
"Nah iya bener banget, padahal perasaan kita nggak buat salah apa-apa gitu loh." Sahut Anes.
"Ternyata nggak cuma anak-anak di kelas gue." batin Alden.
"Lu juga, temen-temen lu kayak gitu?" Tanya Alden pada Alexis.
"He'em." Jawab Alexis.
"Kalian berdua juga?" Tanya Alden pada Kavin dan Atha.
Kavin dan Atha mengangguk menjawab pertanyaan dari Alden.
"Masa Dea bilang papanya ngasih hadiah sweet seventeen kakaknya itu rumah dan rumahnya itu rumah kita." Kata Atha dengan kesal.
Dea adalah adik perempuan dari Ansel. Dia sekelas dengan Atha. Sifatnya sebelas dua belas dengan kakaknya.
"Bahkan Erick juga bilang kalo keluarganya baru aja beli super market yang ada di jalan anggrek. Kan super market yang dijalan anggrek itu cuma new season market, apa dia beli super market punya papaku? Papa aja nggak bilang apa-apa soal itu sama aku." Sahut Kavin.
Kecurigaan Alden pun semakin besar. Dia benar-benar penasaran dengan hal ini.
"Apa yang dikatakan Ansel itu bener ya?" Kata Alden.
Sontak Alexis, Anes, Kia, Kavin dan Atha pun langsung menoleh pada Alden.
"Ansel ngomong apa emang?" Tanya Alexis.
"Dia bilang kalo orang perusahaan orang tua kita itu udah bangkrut. Mangkanya aset-aset orang tua kita banyak yang dijual." Jawab Alden.
Semuanya terkejut mendengar jawaban dari Alden.
"Tapi papa sama mama nggak cerita apa-apa. Mereka keliahatn kayak nggak ada masalah apapun." Sahut Anes.
"Ya jelas orang tua kita nggak akan cerita ke kita lah, mereka pasti nggak mau kita kepikiran tentang masalah ini." Kata Alden.
"Terus kita harus tanya kemana tentang kebenaran masalah ini?" Tanya Kia.
"Aku tahu kita harus nanya ke siapa." Jawab Alden.
Kemudian Alden mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
"Halo pak, kita bisa ketemuan sekarang?"
"Okey, kita ketemuan di taman flaminggo ya. Sekarang, aku tunggu."
Alden mematikan panggilannya dan segera menyuruh sopir untuk menuju ke taman flaminggo.
Sesampainya di taman flaminggo mereka ber enam bergegas untuk menemui orang yang sudah janjian dengan Alden.
"Pak Randy." Sapa Alden.
Randy yang sudah menunggu disebuah bangku taman pun langsung menoleh ke arah Alden. Randy agak sedikit terkejut karena ternyata bukan cuma Alden yang menemuinya tapi semua anak Aldebaran dan Aditya juga ada dihadapannya sekarang. Lalu Randy pun berdiri dari duduknya.
"Mas Alden." Jawab Randy.
"Mohon maaf mas, kalau boleh tau ada apa ya mas? Kenapa mas Alden sampai menyuruh saya kesini?" Tanya Randy.
"Ada yang ingin kami tanyakan ke pak Randy." Jawab Alden.
Seketika perasaan Randy menjadi tidak enak. Randy curiga kalau Alden ingin menanyakan tentang kondisi perusahaan kepadanya.
"Tanya tentang apa ya mas." Kata Randy sedikit gugup.
"Apa bener saat ini kondisi perusahaan papa sedang tidak baik-baik saja? Apa telah terjadi sesuatu?" Tanya Alden tanpa basa-basi.
"Tuh kan bener mas Alden bakalan nanya ini ke gue." Gumam Randy dalam hati. Jujur, Randy sangat bingung sekarang. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Hmm... Itu mas.. " Kata Randy ragu.
Melihat ekspresi Randy yang seperti sekarang ini kecurigaan Alden semakin kuat, bahwa memang benar perusahaan papanya sedang dalam masalah.
"Ngomong aja pak nggak papa." Sahut Alexis.
"Mohon maaf mas, sepertinya untuk masalah ini akan lebih baik kalau kalian langsung bertanya saja ke orang tua masing-masing. Karena saya tidak memiliki hak untuk menjelaskan ke kalian." Kata Randy.
"Papa nggak mungkin mau jawab kalo kita yang nanya. Maka dari itu kita nanyanya ke pak Randy." Sahut Alden.
"Bapak ngomong aja, kita udah siap denger apapun kok. Bahkan kemungkinan terburuk pun kami udah siap denger." Timpal Alexis.
Posisi Randy sudah terpojok sekarang, anak-anak dari atasannya ini sudah membuatnya tidak bisa berkutik lagi sekarang.
"Memang di perusahaan sedang ada masalah dan masalah itu cukup besar." Jawab Randy.
"Jadi bener kalau perusahaan akan bangkrut?" Tanya Anes.
"Bener mbak." Jawab Randy.
Deg.
Hal terburuk itu memang benar-benar terjadi. Mereka ber enam mencoba menguatkan diri.
"Berarti bener dong rumah kita udah dijual? Dan yang beli itu keluarganya Dea." Tanya Athala dengan polos.
"Bener, mas Atha." Jawab Randy.
"Bukannya papa bilang mami Jihan yang nyuruh kita tinggal dirumahnya karena pingin rumahnya rame ya. Lagian kata papa rumah kita juga lagi direnovasi kan? Itu kan yang papa bilang? Bener kan kak?" Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari Athala.
Alden, Alexis dan Anes hanya terdiam mendengar pertanyaan dari adiknya itu. Athala masih terlalu kecil untuk memahami ini semua.
"Kavin ajak Atha ke mobil dulu ya. Kakak-kakak mau ngomong dulu sama pak Randy. Boleh kan?" Pinta Alden pada Kavin.
"Okey, ayo Atha kita ke mobil dulu." Ajak Kavin pada Athala.
Athala mengangguk. Lalu dia dan Kavin pun menuju ke mobil. Setelah memastikan Kavin dan Athala sudah kembali ke mobil, Alden melanjutkan obrolannya dengan Randy.
"Bisa pak Randy jelasin kenapa bisa sampai seperti ini?" Tanya Alden.
Lalu Randy pun menjelaskan semuanya pada Alden, Alexis, Anes dan Kia.
"...jadi seperi itu mas, mbak ceritanya." Jelas Randy.
Alden, Alexis, Aneska dan Kia tertegun mendengar penjelasan itu dari Randy.
"Kenapa nggak ada yang cerita ke kita sih." Kata Kia sambil menghela nafas panjang.
"Mungkin orang tua kalian nggak mau kalian kepikaran tentang masalah ini. Mangkanya mereka nggak cerita dulu ke kalian dulu." Jelas Randy.
"Sebanyak itu ya pak tagihan perusahaan." Sahut Anes.
"Iya mbak, memang sebanyak itu. Apalagi sekarang hampir semua investor mengundurkan diri." Jawab Randy.
Alden dan Alexis memijat-mijat kening setelah tau nominal yang harus dilunasi oleh orang tuanya itu. 40 Triliun, ya jumlah itu yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Jumlah itu termasuk hutang perusahaan, pembayaran untuk kontraktor dan pembayaran pesangon untuk karyawan yang akan di phk nantinya.
Setelah mendengar penjelasan dari Randy, mereka berempat pun kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang mereka semua hanya terdiam memikirkan nasib keluarga mereka akan seperti apa nantinya.
Tiba-tiba Kavin menyodorkan sebuah buku tabungan dihadapan Kia, "Apa ini bisa membantu papa?" Katanya dengan wajah polos.
Alden, Alexis, Anes dan Kia langsung tersadar dari lamunannya. Mereka berempat menatap ke arah Kavin.
"Sorry tadi aku sama Atha nguping pembicaraan kalian." Kata Kavin sambil menunduk. Athala juga menunduk.
Kia mengusap puncak kepala Kavin dan Athala, "Kalian jangan sedih ya, keluarga kita pasti bisa lewatin ini semua." Kata Kia sambil tersenyum. Melihat Kavin dan Atha yang seperti ini sebenanya mata Kia sudah mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan itu.
Kia mengambil buku tabungan Kavin, "Papa sama mami pasti bangga punya anak seperti Kavin."
"Kita nggak boleh kalah dong dengan Kavin. Gimana kalo kita juga ngelakuin hal yang sama?" Kata Kia pada yang lainnya.
"Itu ide yang bagus Kia. Meskipun jumlah tabungan kita nggak seberapa, tapi itu pasti akan sedikit membantu papa." Sahut Anes.
Akhirnya semuanya setuju untuk mengumpulkan tabungan mereka dan malam ini mereka berniat akan menyerahkannya pada orang tua mereka.
-Malam Harinya-
Bersambung....