Contents
Rasa Ini Masih Sama
BAB 6
Andin dan Jihan baru saja sampai didepan lobby utama kantor Aldebaran. Mereka memang berniat untuk mengantarkan makan siang untuk suami mereka. Saat sampai didepan lobby itu terlihat banyak sekali kerumunan orang.
"Bu, sepertinya kondisinya tidak baik bu. Ada demo karyawan didepan." Kata Purnomo, sopir pribadi Jihan.
"Nggak papa pak, berhenti disini saja. Kita turun disini." Sahut Jihan.
Purnomo pun menghentikan mobilnya. Beberapa pendemo melihat ke arah mobil yang ditumpangi Jihan dan Andin. Melihat mobil mewah seperti itu mereka semua langsung berfikir kalau itu pasti mobil salah satu petinggi perusahaan. Seketika riuh gunuruh teriakan langsung ditujukan pada Andin dan Jihan.
"Bayarkan gaji kami!"
"Nasib kita gimana? Jangan phk tanpa pesangon!" Teriak beberapa pendemo.
Ternyata selain pekerja proyek, beberapa pendemo juga ada yang merupakan karyawan PT. Nusa City dan PT. Aldebaran Sejahtera.
Melihat dan mendengar itu semua, awalnya Jihan dan Andin merasa takut untuk keluar dari mobil. Tapi mereka tetap memberanikan diri untuk keluar dari mobil, mereka berfikir pasti saat ini suami mereka dalam posisi yang sulit. Support dari keduanya sangat dibutuhkan oleh suami mereka. Akhirnya setelah memantapkan hati, Jihan menyuruh Purnomo untuk membuka mobilnya.
"Pak Pur, buka pintunya." Kata Jihan dengan yakin.
"Baik bu." Jawab Purnomo. Kemudian Purnomo keluar dari kemudinya, dia langsung menuju pintu mobil dan membukakannya untuk Jihan.
Jihan dan Andin pun keluar dari mobil itu. Beberapa pendemo pun langsung menghampiri mereka berdua. Teriakan-teriakan pun langsung dilontarkan pada mereka berdua. Namun dengan sigap petugas keamanan kantor langsung melindungi Jihan Dan Andin. Mereka mengantarkan Jihan dan Andin langsung masuk kedalam kantor.
"Jihan, sepertinya situasinya semakin memburuk. Ini gimana?" Tanya Andin cemas.
"Kita ke ruang kerja Al sama mas Adit dulu aja mbak. Kita tanya kejelasan apa yang terjadi sampai bisa seperti ini." Jawab Jihan.
Andin dan Jihan pun langsung bergegas menuju ke ruang kerja Aldebaran dan Aditya.
'Ceklek'
Pintu ruang kerja terbuka. Pandangan Aldebaran dan Aditya pun langsung tertuju ke arah pintu. Pandangan mata mereka tertuju pada istri masing-masing. Kalut dan bingung, itu yang terlihat jelas dimata keduanya. Melihat kondisi suaminya yang seperti itu, Andin dan Jihan langsung menghambur kepelukan suami masing-masing.
"Kita benar-benar hancur sayang.... " Kata Aldebaran lirih. Mendengar ucapan itu Andin semakin mengeratkan pelukannya pada Aldebaran.
"Sudah nggak ada yang tersisa lagi, kita udah tamat. Nusa city, proyek-proyek lain.... Semuanya sudah tamat." Kata Aditya dengan lirih dan tatapan penuh keputusasaan.
"No! kalian nggak boleh ngomong gitu. Ini belum berakhir." Sahut Jihan.
"Sekarang coba ceritain kenapa bisa sampai seperti ini." Kata Andin.
Lalu Aldebaran dan Aditya pun menceritakan semua permasalahan yang sedang mereka hadapi pada And in Dan Jihan.
"Astaga mas... Itu masalahnya serius banget loh. Bisa-bisanya kalian cuma ceritain setengah bagian aja ke aku sama Jihan." Sahut Andin.
"Awalnya kita kira nggak akan sebesar ini masalahnya. Tapi ternyata sekarang semakin diluar kendali kita Ndin." Jawab Aldebaran.
Andin Dan Jihan hanya bisa menarik nafas panjang mendengar penjelasan itu.
Lalu Jihan melihat tumpukan berkas diatas meja, "Ini apa? Laporan keuangan?" Tanya Jihan.
"Iya itu laporan keuangan dan ada beberapa berkas lain." Jawab Aditya.
Jihan mengambil beberapa berkas itu dan mulai membacanya. Setelah cukup lama membaca dan mengamati berkas-berkas itu, Jihan hanya bisa menggeleng tidak percaya.
"Investor-investor kalian benar-benar tidak mau membantu dalam hal ini?" Tanya Jihan lagi.
Aldebaran dan Aditya menggeleng.
"Enggak, mereka memilih untuk lepas tangan. Mereka berfikir kalau perusahaan ini udah nggak ada harapan lagi. Daripada membantu kita, mereka justru menunggu kita melepaskan perusahaan ini. Sudah dipastikan mereka siap untuk mengambil alih perusahaan ini lewat lelang yang dilakukan pengadilan niaga nantinya." Jawab Aditya.
"Bahkan client-client kita pun lebih memilih untuk membayar denda pembatalan kesepakatan pembelian dengan kita." Lanjut Aldebaran.
Jihan dan Andin syok mendengar itu.
"Terus kalian mau bayar tunggakan ini pakai apa?" Sahut Jihan.
"Aset pribadi aku sama Adit udah habis, yang tersisa hanya aset yang ada di perusahaan. Mungkin memang sudah waktunya kami melepaskan perusahaan ini." Jawab Aldebaran dengan mata berkaca-kaca.
"Itu artinya perusahaan akan tutup. Terus karyawan gimana? Bagaimanapun mem-phk mereka juga harus ada pesangon kan?" Sahut Jihan.
"Iya itu memang harus." Timpal Aldebaran.
"Ada dananya?" Tanya Jihan lagi.
"Ya itu tadi kita jual aset perusahaan, terus kita selesaikan kewajiban-kewajiban kita." Jawab Aldebaran.
"Memangnya kalau semua aset perusahaan dijual bisa menutupi semuanya? Bisa bayar tunggakan, hutang, pesangon dll?"
"Apa itu cukup?"
Seketika perkataan Jihan itu seperti menampar Aldebaran dan Aditya.
Aditya dan Aldebaran menggeleng.
Kenyataannya memang benar kalaupun mereka menjual aset perusahaan hutang perusahaan bisa saja lunas, tapi setengah karyawan tidak akan mendapat pesangon.
Aditya dan Aldebaran memang berada di posisi sulit saat ini. Opsi apapun sepertinya akan membuat mereka diposisi terburuk.
"Yang kita pikirkan itu anak-anak. Gimana jadinya kalau mereka tau papa-papanya ada di kondisi seperti ini." Kata Aldebaran dengan sedih.
"Bagaimanapun mereka harus tau dan siap menerima ini semua mas." Sahut Andin.
"Mbak Andin bener, anak-anak harus tau ini." Kata Jihan.
Jihan kembali membolak balikkan berkas itu dan membacanya. Beberapa saat kemudian dia menatap Aditya, Aldebaran dan Andin bergantian. Dikepalanya sepertinya sudah terpikirkan sesuatu.
"Aset-aset ku masih ada, itu bisa kita jual dan digunain untuk nutupin kekurangan ini dan sisanya nanti bisa kita gunain untuk mendirikan perusahaan kecil-kecilan dan usaha lain." Kata Jihan dengan yakin.
"Jangan!" Jawab Aditya dan Aldebaran bersamaan.
"Kenapa emang?" Sahut Jihan.
"Ini masalah ku sama Al, kamu nggak boleh terlibat disini. Biarin kita yang nyelesai in ini." Kata Aditya.
"Mau pakai cara apalagi? Kalian aja udah mentok nggak ada ide lagi."
"Ini jalan satu-satunya. Masalah kalian akan langsung clear. Masalah pesangon dan beberapa hutang kalian itu akan langsung selesai. Ya meskipun nggak 100% akan terlunasi sih, tapi seenggaknya akan lebih ringan lagi untuk mencicilnya."
Aldebaran dan Aditya menggeleng, mereka berdua tetap tidak setuju dengan keputusan Jihan.
"Mas Adit liat aku." Kata Jihan sambil menyuruh Aditya menatapnya. Tapi Aditya tidak mau, dia menghindari kontak mata dengan Jihan. Karena itu adalah salah satu kelemahannya.
Jihan menghela nafas panjang, "Aku ini istri kamu apa bukan sih?" Tanya Jihan.
"Ya kamu istri aku." Jawab Aditya.
"Yaudah berarti masalah kamu itu ya masalah aku. Aku juga punya tanggung jawab buat nyelesaikan masalah kamu." Sahut Jihan.
"Tapi semua aset itu kan warisan dari orang tua kamu Jihan, harus kamu jaga. Kamu nggak bisa ngelepasin itu semua begitu aja." Kata Aditya.
"Mau gimana lagi mas, ini satu-satunya jalan buat keluar dari masalah ini. Ini jalan yang paling cepat dan mudah."
"Sekarang gini, coba kamu mikir. Rumah warisan orang tua aku itu kan banyak ya, nggak cuma di Indonesia diluar negeri juga ada. Itu biaya perawatan tiap bulannya butuh banyak banget mas, sekarang kondisi kita lagi kayak gini. Mau ngurusin pakai duit apa? Jadi lebih baik dijual aja kan?"
"Terus maheswari, semenjak perang dingin antara kamu dan kak Damas memang aku udah lepas tangan, nggak ngurus maheswari lagi. Tapi aku masih punya beberapa saham di sana. Aku masih bisa jual itu mas, nilainya cukup besar saat ini."
Jihan mencoba menjelaskan panjang lebar pada Aditya. Dia berusaha meyakinkan suaminya itu.
"Gimana dengan kenangannya? Apa kamu bisa menggadaikan itu semua?" Sahut Aditya. Aditya jarang sekali menangis, tapi kali ini dia tidak bisa membendungnya. Matanya sudah terlihat mulai berkaca-kaca sekarang.
Jihan menangkupkan kedua tangannya di pipi Aditya, "Nggak ada satupun kenangan masa kecilku disana mas, kamu tau itu kan. Sejak kecil aku udah hidup tanpa papa dan mama, aku nggak mau jadi orang yang naif. Ditempat itu nggak ada satupun kenangan. Selama ini aku kesana juga cuma ngebayangin aja, ngebayangin kalau aku, papa dan mamaku hidup bersama. Tapi kenyataannya itu sama sekali nggak pernah terjadi. Jadi nggak akan ada bedanya kalau pun tempat itu masih ada atau enggak."
"Setiap kali aku ke tempat-tempat itu, hanya sakit dan luka yang aku rasain. Bukankah sesuatu hal yang membuat kita terluka itu harus dijauhi?"
Aditya menggeleng, seperti belum menerima penjelasan dari Jihan.
"Mas... Ini satu-satunya cara, aku nggak mau masalah ini semakin panjang, berlarut dan nantinya akan mengganggu psikis anak-anak kita."
"Semakin masalah ini berlarut, semakin banyak juga media yang akan meng up berita ini. Bayangin perasaan anak-anak akan gimana nantinya. Jadi kita harus selesaikan masalah ini secepatnya." Jelas Jihan.
Aditya masih belum bisa menjawab.
"Okey make it simple. Aku nggak ngelakuin ini buat kalian berdua, anggap aku ngelakuin ini untuk anak-anak. Kalau untuk anak-anak kamu nggak boleh nolak." Kata Jihan sambil menatap dalam kedua mata suaminya.
"Please.... Setuju ya dengan keputusan ini?" Kata Jihan meyakinkan Aditya lagi.
Tidak terasa air mata pun jatuh dari mata Aditya, "Aku nggak tau lagi harus ngomong apa. Satu yang pasti, anak-anak harus tau kalau mereka punya ibu yang luar biasa seperti kamu."
Jihan menyeka air mata itu dari pipi Aditya, "Tapi mereka nggak boleh tau kalau mereka punya papa yang cengeng seperti ini." Kata Jihan sambil mencoba mencairkan suasana.
Aditya pun tersenyum lebar, "Dasar." Katanya sambil mengusap Puncak kepala Jihan.
"Aku tetep nggak setuju, saham perusahaan ini lebih banyak punyaku. Aku yang punya tanggung jawab paling besar disini, kalian nggak perlu melakukan hal sejauh itu." Sahut Aldebaran.
"Sejak mas Adit memutuskan untuk lepas dari Dendratara dan bergabung sama kamu, itu artinya kamu dan mas Adit punya tanggung jawab yang sama besarnya di perusahaan ini."
"Lagian aku kan udah bilang tadi, aku ngelakuin ini bukan untuk kalian. Tapi untuk anak-anak, jadi please jangan ditolak." Jelas Jihan.
Aldebaran tersenyum tidak percaya, "Lagi dan lagi, masalah terbesar dihidup seorang Aldebaran diselesaikan dengan kegilaan seorang Jihan." Kata Aldebaran sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Makasih ya Jihan, makasih banyak." Kata Andin.
"Mangkanya kalian harus manggil gue Jihan my guardian angel. Hehehe." Sahut Jihan.
Aldebaran dan Andin terkekeh mendengar apa yang dikatakan Jihan.
"Eh tunggu bentar, kalau kamu mau menjual aset-aset kamu berarti rumah yang kamu tinggali sekarang juga termasuk salah satunya kan?" Tanya Andin.
"He'em. Tentu. Pengeluaran bulanan rumah itu untuk maintenance, keamanan dll itu hampir ratusan juta mbak. Jadi akan lebih baik kalau dijual." Jawab Jihan.
"Berarti nanti kita beli rumah lagi atau gimana sayang?" Tanya Aditya.
"Enggak. Keuangan kita menipis, aku nggak mau menghamburkan uangku untuk hal itu." Jawab Jihan sambil menggeleng.
"Terus?" Tanya Aditya lagi.
"Aku punya planning yang lebih oke." Kata Jihan sambil tersenyum dan menaik turunkan alisnya.
Aditya, Aldebaran dan Andin melirik satu sama lain. Mereka yakin saat ini Jihan sedang memikirkan hal-hal gila lagi dikepalanya.
-Seminggu Kemudian-
Bersambung....