Contents
Rasa Ini Masih Sama
BAB 5
Mereka ber enam masih diam ditempat, sedangkan mobil yang mengantar mereka tadi sudah pergi dari tempat itu. Mereka masih menatap ke sekelilingnya. Siswa-siswa lain melihat ke arah mereka dengan tatapan yang aneh. Alden mulai curiga kalau ada sesuatu hal tidak beres yang sedang terjadi disini. Tapi cepat-cepat dia hilangkan pikiran jelek itu dari kepalanya.
Mereka ber enam memasuki gedung sekolah. Mereka berjalan menuju ke kelas masing-masing. Anes dan Kia menuju gedung 2, Kavin dan Atha menuju gedung 1 sedangkan Alden dan Alexis menuju ke gedung 3.
Sepanjang jalan tatapan-tatapan siswa-siswa lain masih berlanjut. Bahkan sesekali mereka seperti berbisik-bisik satu sama lain. Agak risih memang, tapi mereka tidak memperdulikan itu.
Alexis dan Alden sampai dikelas masing-masing. Alexis di kelas XI-A dan Alden di kelas XI-D.
Alden berjalan menuju ke mejanya, dia menggantungkan tasnya di sandaran kursi. Setelah itu dia pun duduk di kursinya. Lagi-lagi dia merasa aneh, teman-teman satu genk nya tumben sekali tidak langsung menghampirinya. Mereka sibuk dengan ponsel dan earphone masing-masing.
"Sstt! Sstt!" panggil Alden pada teman-teman satu genk nya.
Tidak ada satu pun respon dari mereka. Alden merasa kesal, dia menghampiri salah satu dari mereka, "Woi, Raka!" Katanya sambil melepaskan earphone dari telinga temannya itu.
"Eh, Alden. Udah dateng lu." Jawabnya basa-basi.
"Kenapa sih lu, sariawan?" Tanya Alden dengan penasaran.
Raka memasang senyum lebar, "Hehehe, enggak kok." Jawabnya.
"Gue nggak bisa dibohongin ya, jangan coba-coba bohong sama gue." Kata Alden dengan tatapan tajam mengintimidasi. Alden yakin ada yang tidak beres disini.
Raka menghela nafas panjang, dia berfikir sejenak, "Lu ikut gue deh." Katanya sambil menyuruh Alden mengikutinya. Raka mengajak Alden keluar kelas dan membawanya ke taman yang ada disebelah kelasnya. Alden mengekor dibelakang Raka, kepalanya masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Ada apa sih hah? Gue heran deh semua orang itu aneh banget hari ini." Kata Alden.
Raka menghentikan langkahnya. Dia menarik nafas dalam, "Lu kok kayak nggak tau apa-apa gini sih? Lu emang nggak tau atau pura-pura nggak tau?" Tanya Raka.
Alden mengernyitkan dahinya, "Maksud lu?" Sahutnya kebingungan.
"Rumor tentang papa lu yang bangkrut udah kesebar diseluruh sekolah. Lu masa nggak tau sih?" Kata Raka.
Alden menggeleng tidak percaya. Papa dan mamanya tidak pernah mengatakan apapun tentang hal ini, "Enggak, semuanya baik-baik aja kok. Papa gue nggak pernah ngomong ini, pasti info itu salah."
"Gue juga nggak tau ini bener atau salah, yang jelas rumor yang beredar emang seperti itu. Mungkin aja bokap sama nyokap lu nutupin itu semua."
"Udah, gue balik dulu. Cuma itu info yang bisa gue kasih tau ke lu."
Setelah memberikan informasi itu, Raka pun kembali lagi ke kelas. Alden masih terdiam disana, kepalanya langsung dipenuhi banyak pertanyaan. Apa yang dikatakan Raka itu benar? Kalau memang benar, berarti keluarganya saat ini sedang dalam masalah besar. Karena bel masuk kelas sudah berbunyi, Alden pun bergegas kembali masuk ke kelasnya. Alden langsung duduk di tempat duduknya.
Tidak lama kemudian, Ansel masuk kedalam kelas juga. Ansel menatap Alden dengan wajah yang seolah mengejek. Ansel adalah trouble maker kedua disekolah ini setelah Alden. Statusnya sebagai anak penyokong dana terbesar di yayasan Parama membuatnya menjadi orang yang sombong dan sering kali berbuat semena-mena pada anak-anak lain. Hanya Alden yang bisa membungkam tingkah sombong dam semena-menanya itu. Tapi sepertinya hari ini jiwa kesombongan Ansel itu meningkat 100 kali lipat, itu terlihat dari wajah songongnya sekarang. Alden tahu kalau saat ini pasti Ansel sedang tertawa terbahak bahak dalam hatinya.
"Gue nggak nyangka ternyata hadiah ultah 17 tahun dari bokap gue itu rumah dan hal paling bikin gue terkejut itu sebenernya bukan tentang rumahnya sih, tapi mantan pemilik rumah itu. Ya, gue terkejut karena itu rumah ternyata dulunya rumah seorang Alden. By the way rumah lu gede juga ya bro. Hmm... Tapi masih gedean rumah gue sih. Hehehe." Kata Ansel dengan nada mengejek.
"Gue lihat tadi pagi lu sama adek-adek lu dateng bareng Kia sama Kavin."
"Hmm.... Atau jangan-jangan... Keluarga lu numpang ya dirumah mereka?" Lanjut Ansel dengan nada mengejek lagi.
Amarah Alden sudah diubun-ubun, tangannya sudah panas ingin mendaratkan tinjunya tepat di wajah Ansel. Belum Alden melakukan itu, pak Agus datang, "Selamat pagi anak-anak." Sapa pak Agus.
Ansel memberikan senyuman mengejek pada Alden dan kemudian segera bergegas menuju ke tempat duduknya.
Rasanya saat ini Alden ingin cepat-cepat pulang dan menanyakan semuanya pada mama dan papanya.
----
Sementara itu dikantor, Aldebaran dan Aditya masih berkutat dengan setumpuk berkas-berkas yang ada dihadapannya.
Randy dan Andra masuk ke dalam ruangan itu. Wajah keduanya terlihat sedikit panik.
"Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Aldebaran.
Randy dan Andra terlihat sedikit ragu untuk mengatakan sesuatu hal.
"Ngomong aja, apa ada masalah?" timpal Aditya.
"Hmm... I... Itu pak. Beberapa karyawan dan pekerja proyek melakukan demo dibawah." Jawab Andra dengan sedikit terbata-bata.
Mendengar itu, Aldebaran dan Aditya syok.
"Kenapa mereka bisa sampai demo?" Sahut Aldebaran tidak percaya, "Apa gaji mereka belum dibayarkan?" Tanya Aldebaran lagi.
"Bukannya itu menjadi tanggung jawab kontraktor yang sudah bekerjasama dengan kita?" Lanjut Aditya.
"Kontraktor yang bekerjasama dengan kita banyak yang mengundurkan diri pak. Kontraktor berdalih takut kita tidak bisa melunasi pembayaran pada mereka. Maka dari itu pekerja proyek itu berdemo menuntut agar perusahaan kita segera melunasi pembayaran pada kontraktor tempat mereka bekerja. Mereka khawatir pak, kita tidak bisa melunasi pembayaran itu dan akhirnya gaji mereka mandek." Jelas Randy.
'Brak!'
Aldebaran kesal, dia menggebrak meja kerjanya, "Sial! Siapa yang membocorkan semua ini? Semua investor kita panik sekarang." Katanya kesal.
"Kalau semuanya menuntut pembayaran sekarang, kita benar-benar bisa habis ini." Sahut Aditya.
"Ada satu lagi pak, beberapa client kita yang sudah membeli unit di nusa city juga melakukan pembatalan. Mereka lebih memilih untuk membayar dendanya pak." Kata Andra.
Mendengar itu seketika pikiran Aldebaran dan Aditya menjadi kalut, bayang-bayang kesuksesan yang didepan mata itu seketika runtuh.
Semuanya sudah habis, satu-satunya harapan yang mereka punya adalah perusahaan dan nusa city. Kalau seperti ini terus bisa-bisa mereka benar-benar bangkrut dan gulung tikar. Semua aset perusahaan akan disita oleh pengadilan niaga untuk membayarkan hutang-hutang perusahaan dan pembayaran lainnya.
"Bilang ke mereka kita akan menyelesaikan pembayaran ke kontraktor, mereka tidak perlu khawatir dengan gaji mereka." Kata Aldebaran pada Randy dan Andra.
"Baik pak." Jawab Randy dan Andra. Lalu Andra dan Randy pun langsung keluar dari ruang kerja Aldebaran.
Aditya dan Aldebaran duduk bersandar dikursi kerjanya, mereka berdua memijat-mijat pelipis mereka. Kepala keduanya hanya dipenuhi dengan perusahaan dan nasib keluarganya kedepannya. Semuanya yang sudah mereka bangun selama ini akan hancur dan runtuh dalam sekejap.
Bersambung....