Contents
Rasa Ini Masih Sama
BAB 3
"Mas.... Kamu nggak makan dulu?" Tanya Andin pada Aldebaran.
"Nanti aku makan di kantor aja. Aku pergi dulu yaa..." Kata Aldebaran sambil mengecup kening Andin. Andin tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia membiarkan Aldebaran pergi.
Aldebaran terlihat buru-buru, Andin sebenarnya merasa aneh dengan kelakuan suaminya ini. Sudah beberapa hari belakangan suaminya ini terlihat seperti orang yang sedang banyak pikiran. Tapi setiap Andin bertanya, Aldebaran selalu mengatakan kalau tidak terjadi apa-apa.
---
Sesampainya dikantor, Aldebaran segera bertemu dengan Aditya.
"Kacau, kacau Al! Semuanya kacau!" Kata Aditya panik.
"Ini bener-bener diluar kendali kita. Gue nggak nyangka Johan melakukan itu semua!" Lanjut Aditya.
"Johan, brengsek!" Kata Aldebaran sambil menggebrak meja.
"Gimana ini Al? Uang itu kan harusnya digunakan untuk pembayaran cicilan bulanan ke kreditur dan bank, terus untuk operational pembangunan Nusa City juga. Kalo gini ceritanya, kita dalam masalah besar ini Al." Sahut Aditya dengan kesal.
Tidak lama kemudian, Randy masuk ke dalam ruangan.
"Mohon maaf pak." Kata Randy dengan wajah sedikit panik.
"Iya ada apa?" Tanya Aldebaran.
"Saya baru mendapatkan informasi kalau pak Johan ternyata sudah meninggalkan Indonesia sekitar seminggu yang lalu pak." Jawab Randy.
"Kurang ajar!" Sahut Aldebaran dengan emosi.
Pikiran Aldebaran dan Aditya seketika kalut. Bagaimana tidak, manager keuangan dari PT. Nusa City Development, Johan. Telah menggelapkan uang perusahaan yang jumlahnya triliunan rupiah. Uang itu berasal dari hasil penjualan unit di Nusa City dan juga dari investor. Uang itu seharusnya untuk pembayaran cicilan ke kreditur, bank dan untuk operational pembangunan Nusa City. Ternyata sudah hampir beberapa bulan ini, laporan keuangan perusahaan sudah dimanipulasi oleh Johan. Sudah beberapa bulan juga cicilan ke kreditur dan bank tidak dibayarkan, sehingga bunganya menjadi menumpuk.
"Ini bener-bener gila Al! Kalau sudah seperti ini, kita harus berbuat apa?" Kata Aditya kebingungan.
Aldebaran tidak bisa menjawab apapun, dia tidak bisa berpikiran jernih sekarang.
"Saya juga mendapatkan informasi pak, kalau beberapa kereditur juga sudah melaporkan masalah ini ke pengadilan niaga." Kata Randy.
Aldebaran dan Aditya pun seketika syok mendengar itu dari Randy.
"Kenapa gitu? Harusnya mereka koordinasikan dulu dengan kita kan?" Tanya Aditya.
"Sepertinya mereka sudah mencurigai kalau keuangan kita kurang sehat pak beberapa bulan terkahir ini. Jadi mereka memutuskan untuk melaporkan ini ke pengadilan niaga." Jawab Randy.
"Itu artinya kalau pengadilan niaga menyetujui pelaporan mereka, kita benar-benar akan dalam masalah besar. Bisa-bisa aset-aset perusahaan akan disita untuk melunasi hutang-hutang itu." Sahut Aldebaran.
"Kita masih punya waktu 20 hari Al, sebelum pengadilan memberikan putusannya."
"Apa kita nggak coba aja untuk dialog dengan para kreditur itu?" Aditya memberikan sarannya pada Aldebaran.
"Seenggaknya kita bisa keep berita ini dari publik untuk memberikan rasa tenang pada investor-investor kita. Selain itu kita juga kan harus menjaga kepercayaan pelanggan-pelanggan kita, kita harus tetep memastikan kalau proyek ini akan tetap berjalan." Lanjut Aditya.
"Caranya gimana?" Tanya Aldebaran.
"Kita harus menjual aset-aset pribadi milik kita untuk membayarkan cicilan perusahaan pada kreditur. Sementara itu dulu yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan perusahaan." Jawab Aditya.
Aldebaran melihat kearah Aditya. Dia menggeleng tidak percaya dengan apa yang dikatakan Aditya sekarang.
"Kalau pengadilan niaga sampai menyatakan perusahaan kita pailit, itu akan lebih susah lagi Al. Mereka sendiri yang akan menyita aset-aset perusahaan."
"Kalau sudah seperti itu, perusahaan tidak akan berjalan, proyek akan mendek. Terus nasib karyawan-karyawan kita akan gimana? Karyawan kita nggak cuma puluhan Al, tapi ribuan. Hidup mereka bergantung pada nasib perusahaaan ini Al." Lanjut Aditya.
Aldebaran berpikir kalau apa yang dikatakan oleh Aditya itu memang benar.
"Ran, kamu urus penjualan beberapa unit rumah dan apartemen saya. Setelah itu, kamu tolong koordinasikan dengan kreditur-kreditur itu untuk memberikan kita kelonggaran waktu." Perintah Aldebaran pada Randy.
"Baik pak." Kata Randy yang kemudian keluarga dari ruangan itu.
"Gue nanti juga akan nyuruh Andra untuk mengurus aset-aset gue." Sahut Aditya.
Sebagai pemegang saham terbesar di PT. Nusa City Development, Aldebaran sebagai pimpinan di PT. Liandra Holding Company memiliki tanggung jawab yang besar di keduanya perusahaan ini. Kalau PT. Nusa City Development terkena masalah itu artinya PT. Liandra Holding Company selaku induk perusahaan juga akan terkena dampaknya.
---
-Malam Harinya-
Hari sudah sangat larut, tapi Aldebaran masih berada diruang kerjanya. Andin yang dari tadi menunggu Aldebaran dikamar juga sudah mulai kesal.
"Mas Al kenapa sih? Bingung aku tuh sama kamu mas, katanya nggak ada masalah, tapi sepulang dari kantor langsung ke ruang kerja terus nggak selesai-selesai sampai sekarang." Kata Andin mengomel-ngomel sendiri di kamar.
Akhirnya Andin pun memutuskan untuk menghampiri Aldebaran di ruang kerjanya.
Perlahan Andin membuka pintu ruang kerja Aldebaran. Dilihatnya Aldebaran yang sedang termenung dengan tatapan kosong. Lalu Andin pun mengahampiri Aldebaran. Andin merangkul pundak Aldebaran. Diberikannya usapan-usapan lembut disana.
"Mas... Kamu kenapa?" Tanya Andin.
"Enggak, aku nggak papa." Kata Aldebaran.
Andin meraih dan menggenggam tangan Aldebaran, lalu dia menatap kedua mata Aldebaran dengan dalam, "Kamu nggak bisa bohong sama aku mas. Kamu bisa aja bilang kalo nggak ada apa-apa, tapi mata kamu nggak bisa bohong mas."
Aldebaran menundukkan pandangannya.
"Aku istri kamu, cerita sama aku." Kata Andin.
Andin benar, Aldebaran memang tidak ahli kalau berbohong didepan Andin.
"Ada sedikit masalah." Kata Aldebaran dengan ragu-ragu.
"Masalah? Masalah apa mas?" Tanya Andin.
"Uang perusahaan dibawa kabur sama Johan. Manager keuangan Nusa City." Jawab Aldebaran.
Mata Andin membulat tidak percaya, dia syok mendengar hal itu.
"Perusahaan dan proyek harus tetep jalan Ndin. Maka dari itu akau sama Aditya berniat menggadaikan aset-aset pribadi kita terlebih dahulu untuk menutupi kekurangan keuangan perusahaan." Lanjut Aldebaran.
"Jumlahnya berapa mas?" Tanya Andin.
"Hampir 2 trilun Ndin. Ditambah dengan biaya operasional perusahaan yang akan datang kira-kira kita butuh dana total hampir 5 triliun." Jawab Aldebaran.
Mendengar nominal yang sebesar itu, kaki Andin langsung terasa lemas.
"Tabunganku dan Aditya, masih kurang untuk menutup itu semua."
"Maka dari itu kita berencana akan menjual aset-aset pribadi kita untuk menutup kekurangannya."
"Dan baru saja Randy mengkalkulasi aset pribadiku yang berupa rumah dan apartemen, itu jumlahnya kira-kira hanya 1,5 triliun Andin. Karena aset-aset pribadiku banyak yang berupa perusahaan dan aku nggak mungkin dengan mudah melepaskan perusahaan-perusahaan itu karena banyak orang yang menggantungkan hidupnya disana."
Aldebaran mencoba menceritakan semuanya pada Andin.
"Apa itu termasuk rumah ini mas?" Tanya Andin.
Aldebaran mengangguk, "Iya..." Katanya sedih.
Andin menhela nafas dalam, rumah yang sudah ditinggalinya bersama dengan Aldebaran ini cepat atau lambat pasti akan mereka tinggalkan. Sudah banyak kenangan yang tercipta di rumah ini.
"Aku takut Ndin.... Aku takut, gimana nasib keluarga kita nantinya? Anak-anak kita gimana?" Kata Aldebaran dengan mata berkaca-kaca.
"Aku cuma mau pertahanin perusahaan ini untuk masa depan anak-anak nanti. Aku mau berusaha sampai akhir Ndin." Lanjut Aldebaran.
Andin memeluk Aldebaran, "Mas aku tahu keputusan yang kamu ambil itu adalah keputusan yang terbaik. Nggak masalah kalau kita sementara nggak tinggal di rumah ini dulu, kita cari rumah yang agak kecil. Aku akan berusaha sebisa mungkin menghemat semua pengeluaran rumah tangga. Aku akan bantu kamu semaksimal mungkin mas, sampai kamu bisa melewati masa-masa sulit ini."
"Makasih ya Ndin, makasih.... " Kata Aldebaran sambil terisak dipelukan Andin.
---
-Dua Hari Kemudian-
"Beberapa investor yang rencananya akan bergabung dengan kita sepertinya sudah mendengar berita ini pak, mereka ada yang membatalkan kerjasamanya dengan kita." Kata Feni, sekretaris Aldebaran.
Aldebaran memijat-mijat kepalanya, hal seperti ini sudah berkali-kali didengarnya dua hari belakangan ini. Pikirnya kalau investor-investor itu tidak jadi bekerjasma dengan perusahaannya, maka kondisinya akan semakin sulit.
Tidak lama kemudian, Aditya masuk ke ruangan Aldebaran. Andra, sekretaris pribadi Aditya juga mengikuti dibelakang. Feni yang sudah selesai dengan laporannya segera keluar dari ruangan Aldebaran.
"Al sorry.... Aset-aset gue adanya cuma segini." Kata Aditya dengan lesu.
"Ada sekitar 2 triliun Al. Sisanya punya Jihan dan gue nggak bisa mengusik itu."
"Jadi total yang terkumpul sekarang ada sekitar 3,5 triliun. Kurang 1,5 triliun lagi. Yah...lumayan lah." Lanjut Aditya.
"Nusa City itu persentasenya lebih banyak milik gue. Harusnya gue yang paling banyak bertanggung jawab disini. Lu nggak perlu mengeluarkan sebanyak itu." Kata Aldebaran.
"Al, Nusa City itu ada karena gue sama lu. Itu mimpi kita. Gue merasa tanggung jawab gue disini juga sama besarnya sama seperti lu, nggak peduli persentase siapa yang terbesar di perusahaan ini. Jadi jangan pernah berkata seperti itu lagi." Sahut Aditya.
Aldebaran terharu dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu.
"Gue denger, Lu juga bakalan jual rumah yang lu tempatin sekarang?" Tanya Aditya.
"Ya, nanti rencanyanya gue sama keluarga akan tinggal di tempat yang agak kecilan dikit. Andin juga udah bilang nggak masalah kok." Jawab Aldebaran.
"Kenapa nggak tinggal di rumah gue aja?" Tanya Aditya.
Aldebaran agak terkejut dengan penawaran yang diberikan Aditya itu.
"Rumah yang di Pondok Mutiara itu asetnya Jihan, itu nggak termasuk yang kejual."
"Masalahnya satu, lu sama gue kan udah nggak ada duit nih sekarang. Lu emang masih sanggup buat beli rumah?" Kata Aditya sambil sedikit meledek. Nasib mereka berdua memang sedang apes sekarang, takdir seakan-akan sedang ingin bermain-main dengan mereka. Keduanya mencoba menghibur diri dengan keadaan itu.
"Huh, sial! Bener juga sih kata lu." Dengus Aldebaran kesal sambil menertawai nasibnya sekarang.
"Yaudah lah, lu sama keluarga lu tinggal aja di rumah gue. " Sahut Aditya.
"Rumah lu?" Tanya Aldebaran sambil menyipitkan matanya.
"Maksud gue rumah Jihan. Haha..." Jawab Aditya sambil tertawa.
"Udahlah lu tinggal aja dulu di rumah gue. Duitnya daripada lu buat beli rumah mending buat gaji karyawan bulan depan." Lanjut Aditya.
Aldebaran memikirkan saran dari Aditya, "Gue ngomong dulu ke Andin ya..." Kata Aldebaran.
"Oke... " Sahut Aditya.
Andra yang dari tadi disana hanya berdiri dan memeperhatikan kelakuan dua atasannya itu. Dia menggeleng tidak percaya, bisa-bisanya hal seperti ini masih dibuat bahan ledekan oleh keduanya atasannya itu.
---
Sesampainya dirumah, Aldebaran membicarakan hal itu dengan Andin, tentang penawaran Aditya yang menyarankan untuk sementara tinggal di rumah Aditya.
Andin dan Aldebaran sedang berselonjor diatas tempat tidur sambil bersandar di sandaran tempat tidur.
"Gimana mas? Udah dapet solusinya?" Tanya Andin.
"Alhamdulillah sedikit demi sedikit sudah." Jawab Aldebaran.
"Syukurlah kalau begitu mas." Sahut Andin.
Aldebaran sebenarnya masih sedikit ragu mengatakan hal itu. Tapi menurutnya solusi Aditya cukup bagus, "Oh iya Ndin, masalah tempat tinggal kita."
"Iya, kenapa?" Kata Andin sambil serius mendengarkan Aldebaran, matanya fokus menatap Aldebaran.
"Aditya menawarkan kita untuk tinggal dirumahnya." Kata Aldebaran.
"Menurut kamu gimana?" Tanya Aldebaran.
"Kamu nggak ada dana untuk beli rumah lagi ya mas?" Tanya Andin.
"Bukan nggak ada dana Ndin, tapi... rencananya dananya mau aku gunain untuk bayar gaji karyawan bulan depan. Sebenernya ada dana lagi, tapi jumlahnya sangat mepet. Mau aku buat jaga-jaga untuk bulan-bulan kedepannya." Jawab Aldebaran.
Andin menggenggam tangan suaminya, "Kalo memang seperti itu, aku nggak masalah kok mas. Aku nggak masalah kalo sementara ini harus tinggal dulu di tempat Aditya sama Jihan." Sahut Andin.
"Sekali lagi, terima kasih ya Ndin... Terima kasih karena sudah mau ngerti in aku." Kata Aldebaran sambil mengusap lembut pipi Andin.
"Iya mas, sama-sama... " Jawab Andin.
---
-Seminggu Kemudian-
"Ma, kenapa kita tinggal di rumahnya mami Jihan sih ma? Apa karena rumah mami Jihan itu kegedean ya kalo cuma buat tinggal berlima aja? Mangaknya mereka ngajak kita tinggal disana." Tanya Athala dengan wajah polosnya.
Andin yang sedang memasangkan kemeja Athala tersenyum mendengar pernyataan itu.
"Kayaknya sih gitu, mami Jihan kesepian katanya. Lagipula disana kan ada kebun bunga tuh, jadi Athala nggak perlu keluar jauh-jauh lagi buat beli in mama mawar. Athala bisa ambil di belakang rumah mami Jihan langsung. Seru kan???" Jawab Andin sambil tersenyum.
Athala mengangguk dengan antusias. Meskipun rumahnya sudah besar, tapi baginya rumah Jihan itu jauh-jauh lebih besar, karena disana ada taman bunga dan peternakan. Athala selalu berfikir kalau bisa tinggal disana pasti akan menyenangkan.
Andin dan Aldebaran sudah sepakat untuk tidak menceritakan masalah ini pada anak-anak mereka. Tapi mereka akan mencoba menceritakannya pelan-pelan.
Untuk si kembar? Tidak usah ditanya lagi. Mereka sangat-sangat antusias, apalagi mereka berdua akan tinggal satu rumah dengan Azkia. Sedangkan Anes, dia justru dengan senang hati menerima tawaran itu. Pikirinya dia akan bisa menghabiskan sepanjang waktunya untuk bersenang-senang dengan Azkia.
"Okey... Semuanya siap...??" Tanya Andin.
"Let's go!" Kata Andin.
Mereka semua pun bergegas untuk berangkat ke rumah Aditya dan Jihan.
Saat ada didepan rumah, Andin menatap ke arah rumahnya. Rumah yang sudah ditinggalinya selama 18 tahun ini. Dia harus rela melepaskannya.
Tidak terasa air mata Andin pun menetes. Alden melihat itu.
"Ma.... Mama kenapa?" Tanya Alden.
"Enggak, nggak papa kok." Jawab Andin.
"Udah ayo berangkat. Mami Jihan udah nungguin pasti." Lanjut Andin.
Kemudian Andin beegegas untuk segera masuk ke dalam mobil.
---
Setelah kurang lebih 45 menit perjalanan, akhirnya Aldebaran dan keluarganya sampai di depan gerbang komplek perumahan elit pondok mutiara. Mereka pun langsung menuju ke rumah Aditya dan Jihan yang ada di Cluster Amber.
Sebuah rumah bergaya modern minimalis terpampang jelas sesaat setelah mereka memasuki kawasan cluster Amber.
Ya, rumah terbesar yang ada si cluater ini. Rumah yang terlihat paling mencolok dari deretan rumah mewah lainnya. Rumah itu adalah milik keluarga Aditya dan Jihan.
Seketika mata anak-anak Aldebaran berbinar-binar, mereka benar-benar ingin cepat-cepat sampai disana.
Akhirnya keluarga Aldebaran pun sampai di depan rumah Aditya dan Jihan. Aditya dan Jihan juga sudah menunggu kedatangan mereka di depan rumah.
Aldebaran memarkir mobilnya, Andin, Anes dan Athala turun dari mobile itu. Sedangkan Rosalina dan si kembar turun dari mobil belakang.
"Halo mbak Andin.... " Sapa Jihan sambil memeluk Andin.
"Halo Jihan." Jawab Andin.
"Selamat siang ibu Rosa... " Lanjut Jihan.
"Selamat siang Jihan... " Jawab Rosalina.
Jihan melihat ke arah anak-anak Aldebaran dan Andin, "Halo anak-anak mami yang cantik dan ganteng...." Kata Jihan sambil melambaikan tangan.
"Halo mami Jihan, nice to meet you." Jawab Athala.
"Owwhh lucunya.... " Sahut Jihan sambil memeluk Athala.
Disana juga sudah ada Ayah Gunawan dan Ibu Fandita, orang tua angkat dari Jihan. Mereka sudah kembali dari London dan memutuskan untuk tinggal di Indonesia bersama dengan Jihan. Seluruh keluarga besar Aditya sangat antusias menyambut kedatangan keluarga Aldebaran. Mereka sangat senang saat mendengar kalau keluarga Aldebaran akan tinggal bersama mereka.
"Kalian semua tolong bawa koper-kopernya masuk ya.. " Perintah Jihan pada beberapa asisten rumah tangganya.
"Baik bu." Jawab asisten-asisten itu.
Lalu koper-koper milik keluarga Aldebaran pun dibawa masuk. Sebelumnya bebapa barang-barang lain milik keluarga Aldebaran juga sudah dibawa kesini.
"Dit, gue makasih banyak ya. Gue nggak tau harus bilang apalagi sama lu dan keluarga lu." Kata Aldebaran.
"Hei, kita kan keluarga. Gausah seperti itu lah. Oh iya anggep aja rumah sendiri ya, jangan sungkan-sungkan. Kalo lu sama keluarga lu bituh apa-apa, ngomong aja." Sahut Aditya.
Kemudian mereka berdua pun menyusul masuk kedalam rumah.
Bersambung......