Contents
2YM Season Cincin Panah
50. Teka-teki Terapung
2 Yang Mulia 50. Teka-teki Terapung
2 Yang Mulia Season Cincin Panah.
Seusai salat duhur, di depan masjid istana, terparkir sebuah kereta kuda tanpa kusir.
“Kita tidak akan ke restoran yang biasanya. Aku akan mengajak kamu ke suatu tempat!” ujar Jenderal Sauqy.
“Ke mana, Jenderal?” Cendani penasaran.
“Naiklah ke kereta, yang telah aku siapkan ini! Kamu akan tahu setelah sampai!”
“Kusirnya?”
“Aku yang akan mengemudi! Aku hanya ingin berdua dengan istriku!” Jenderal Sauqy membuka pintu kereta.
Cendani tersenyum, menunduk sejenak, lalu naik ke kereta. Jenderal Sauqy naik ke kursi kemudi. Ia memacu kuda dengan kecepatan sedang.
***
Sampailah mereka di tempat tujuan. Jenderal Sauqy turun dari kemudi. Kemudian, ia membukakan pintu kereta. Cendani tersenyum dan turun.
“Hamba seperti mengenal tempat ini?” tanya Cendani. Jenderal Sauqy tidak menjawab, hanya menatap istrinya dengan senyuman.
“Ini ‘kan tempat pesta pernikahan kita!” seru Cendani dengan sangat senang.
“Mari ke sungai!” ajak Jenderal Sauqy.
Sampai di dekat sungai, tampak sebuah meja pendek, yang ditata seperti acara pesta mereka kala itu. Di atas meja telah terhidang banyak makanan dan dua gelas minuman dalam keadaan tertutup. Cendani sangat senang dan langsung memeluk suaminya.
“Terima kasih, Jenderal!”
“Kamu senang?”
“Sangat senang, Jenderal, rasanya seperti mau terbang!”
“Kalau begitu, kenapa hanya memberiku pelukan?”
Cendani menatap Jenderal Sauqy, lalu dengan perlahan mendekatkan wajahnya, mengecup sangat lembut dan lama. Jenderal Sauqy membalas dengan kecupan gemas.
“Ayo, kita makan!” ajak Jenderal Sauqy sambil melepaskan pelukan dan menarik tangan Cendani untuk duduk.
Mereka melepaskan sepatu masing-masing. Kemudian, mereka duduk melantai, di atas alas anyaman pandan. Selanjutnya membuka makanan dan saling bergantian menyuapi.
“Sudah cukup Yang Mulia, hamba sudah kenyang!” seru Cendani dengan gembira dengan rasa kenyangnya yang menyenangkan karena makan berduaan dengan suaminya, ditambah lagi disuapi suaminya.
“Baiklah, kalau begitu beri aku beberapa suap lagi!” perintah suaminya kemudian. Cendani menyuapi Jenderal Sauqy beberapa suap.
“Cukup, aku sudah kenyang! Sekarang minumlah!” Jenderal Sauqy membantu Cendani minum, lalu ia minum sendiri minumannya.
“Sekarang, pakai sepatu dan berdiri!” perintahnya kemudian. Cendani menurut untuk memakai sepatu dan berdiri. Jenderal Sauqy juga memakai sepatu. Kemudian, ia mengambil sebuah kotak dari dalam sakunya. Selanjutnya, ia berlutut di hadapan Cendani. Cendani terkejut.
“Kenapa begini, Jenderal?”
“Ku mohon, biarkan aku melakukannya!” pinta Jenderal Sauqy. “Aku belum pernah melamarmu secara pribadi. Selama ini juga, kamu terpaksa. Aku ingin memintamu secara baik – baik. Maukah kamu menjadi kekasihku seumur hidupku? Aku janji kamu adalah satu-satunya, Insya Allah!” ucapnya sangat serius sambil memberikan sebuah kotak.
“Jenderal, tentu hamba sangat bersedia, dan hamba juga tidak pernah terpaksa menikah dengan Anda, Jenderal! Waktu itu hanya ....” Cendani menunduk malu.
“Berarti kamu tulus menerimaku?”
“Tentu, Yang Mulia Jenderal Sauqy!” jawab Cendani bersungguh-sungguh, meskipun sangat merona.
“Jika begitu, terimalah kotak ini!”
“Baiklah, pasti cincin!” tebak Cendani.
“Tapi yang ini kamu akan suka! Bukalah!”
Cendani membuka.
“Cincin panah?!” Cendani sangat senang dan segera memakainya di ibu jarinya, kemudian memeluk hingga mencium gemas suaminya.
“Lalu apa yang akan kamu berikan untukku?” tanya Jenderal Sauqy sembari melepas pelukan dan menatap Cendani, dengan tatapan penuh kasih.
“Apa pun yang Yang Mulia inginkan, jika hamba bisa memberikannya, akan hamba berikan!”
Jenderal Sauqy memeluk Cendani dan menghirup aromanya.
“Yang Mulia, lihatlah! Apa itu?!” seru Cendani.
“Sayang, jangan buat alasan, aku belum apa-apa, baru juga memeluk!” protes suaminya.
“Hamba tidak bohong, Yang Mulia, lihatlah dahulu!” terang tegas Cendani dengan sangat sungguh-sungguh.
Jenderal Sauqy menurut dan melihat. Jenderal Sauqy terkejut.
“Yang Mulia kecewa kepada hamba?” tanya Cendani cemas membuat kesalahan kepada suaminya.
“Aku tidak kecewa, aku malah berterima kasih! Itu jasad, Sayang!” jawab Jenderal Sauqy dengan berseru terkejut. Napas Cendani terasa tertarik cepat.
“Ayo, kita mendekat!” ajak Jenderal Sauqy. Jenderal Sauqy dan Cendani mendekat.
“Anak kecil, Sayang!” kata Jenderal Sauqy saat dilihatnya anak laki-laki terapung di atas batang pohon besar. Jenderal Sauqy segera masuk ke sungai dan membawa anak itu. Jenderal Sauqy memeriksa “Masih bernapas, Sayang!” Jenderal memeriksa lagi. “Sepertinya bukan karena hanyut, tapi karena hantaman atau pukulan! Lihatlah, tubuhnya biru-biru! Ayo cepat, kita harus membawanya ke rumah sakit istana!”
Jenderal Sauqy memberikan anak laki-laki itu kepada Cendani. Cendani menggendongnya. Mereka berlari dan segera naik ke kereta. Jenderal Sauqy memacu kereta sangat cepat.
***
Sultan Singa melihat kereta sedang dikemudikan Jenderal Sauqy dengan sangat cepat. Sultan Singa mengikuti mereka.
“Ada apa?” tanya Sultan Singa dengan berjalan cepat mengikuti langkah Jenderal Sauqy dan Cendani.
“Kami menemukan anak laki-laki ini di sungai tempat pesta, Yang Mulia!” jawab Cendani panik, sambil berjalan sedikit berlari, dan menangis.
Sampai di kamar rumah sakit, Cendani membaringkannya di tempat tidur.
“Para medis, cepat, darurat!” teriak Jenderal Sauqy.
Para medis segera berdatangan dan menangani. Cendani, Jenderal Sauqy, dan Sultan Singa ke luar dari kamar tindakan. Cendani menangis terus. Sultan Singa memeluk dan berusaha menenangkan.
“Tenanglah, Ananda! Jika begini asma Ananda bisa kambuh, Sayang!” ucap Sultan Singa. “Lihat! Cincin apa di ibu jari Ananda ini?” Sultan Singa berusaha mengalihkan perhatian Cendani, saat melihat cincin baru di ibu jari kanan Cendani, agar Cendani tidak sedih. “Cincin panah?”
“Pemberian Jenderal Sauqy, Yang Mulia,” jawab Cendani sambil menangis.
“Lalu busurnya? Apa Jenderal Sauqy tidak memberikan khusus?” tanya Sultan Singa. Cendani menggeleng.
“Ikutlah denganku, aku punya busur khusus untuk Ananda!”
“Tapi?”
“Ikutlah dengan Yang Mulia, tidak baik menolak perintah Yang Mulia!” kata Jenderal Sauqy.
“Baiklah, Yang Mulia!” jawab Cendani dan ia berhenti menangis.
Sultan Singa dan Jenderal Sauqy saling pandang dan mengangguk. Sultan Singa menghapus air mata Cendani lalu menggandeng tangannya.
***
Sultan Singa mengajak Cendani ke kamar Sultan Singa. Sultan Singa menarik tangannya untuk duduk di kursi. Cendani menurut, sembari pikirannya tetap melayang ke anak laki-laki itu. Sultan mengambil sebuah busur, dan satu keranjang anak panah yang terletak di antara pedang-pedang.
“Ini untukmu, Ananda!” kata Sultan dengan semangat, sembari memberikan busur. “Berdirilah, Ananda!” Sultan lalu memakaikan keranjang berisi anak panah ke badan Cendani.
“Terima kasih, Yang Mulia!” Cendani berusaha menanggapi dengan semangat juga meskipun pikirannya sedang ke anak laki-laki itu.
“Mulai sekarang, ke mana pun Ananda pergi, semua ini tidak boleh ketinggalan!” tegas Sultan Singa.
“Baik, Yang Mulia!” ujar Cendani bersungguh-sungguh.
Sultan melihat pikiran Cendani masih melayang ke anak kecil itu. “Ananda tampak lelah. Ayo, ke mari!” menarik tangan Cendani ke tempat tidur. “Ananda harus tidur sebentar, apa lagi luka tembak di tubuh Ananda belum pulih benar! Buka dulu tas panahnya!” Sultan mau membukakan tas panahnya.
“Hamba tidak mau tidur, Yang Mulia!” tolak Cendani. “Hamba mau kembali ke rumah sakit!” Cendani menunduk sejenak dan hendak pergi.
Sultan Singa menarik tangan Cendani. “Baiklah, aku ikut!”
***
Rumah sakit istana.
“Aku harus menyisir melawan arus, baik di sisi kanan, maupun di sisi kiri sungai, sepanjang sungai itu. Diawali dari titik, aku dan Cendani, menemukan anak ini,” pikir Jenderal Sauqy.
Jenderal Sauqy hendak pergi, Cendani dan Sultan Singa datang.
“Jenderal, hendak ke mana?” tanya Cendani.
“Aku akan menyisir sungai!”
“Hamba ikut!”
“Ananda, bukannya Ananda tadi ingin melihat kondisi anak laki-laki itu?” kata Sultan Singa. Cendani diam. Jenderal Sauqy memeluk dan mengecup wajah Cendani.
“Assalamualaikum!” ucap Jenderal Sauqy.
“Waalaikumsalam!” jawab Sultan Singa dan Cendani serempak.
Cendani melihat kondisi anak laki-laki itu.
“Dia belum sadar, Yang Mulia,” keluh Cendani dengan mata berkaca-kaca.
“Sabar Ananda, serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa!”
***
Kantor pertahanan keamanan.
“Jenderal!” Jenderal Sauqy tiba-tiba datang dan langsung berteriak kencang.
Hal itu membuat semua Jenderal yang ada, ke luar dari ruang mereka masing-masing.
“Sekarang juga, aku butuh dua jenderal dan banyak prajurit, untuk menyisir sungai, di area pesta pernikahan kami kemarin!” kata Jenderal Sauqy.
“Izinkan hamba, Jenderal!” kata Jenderal Prana.
“Baik, silakan, Jenderal!”
“Hamba juga ikut!” kata Jenderal Kafi.
“Ayo, segera berangkat!” seru Jenderal Sauqy. Mereka bergegas pergi.
Jenderal Prana dan Jenderal Kafi segera memanggil prajurit mereka. Kemudian, bergegas mengikuti Jenderal Sauqy. Ketiga Jenderal berkuda di depan, sedangkan para prajurit berkuda di belakang mereka.
“Ada apa sebenarnya, Jenderal?” tanya Jenderal Kafi karena Jenderal Sauqy belum menerangkan masalah yang terjadi.
“Aku dan Cendani menemukan anak laki-laki mengapung di atas kayu di sungai itu! Saat aku periksa, ia masih hidup, dan ia celaka bukan karena tenggelam, tapi sepertinya ada yang memukulnya karena tubuhnya penuh luka memar! Anak laki-laki itu sedang di rumah sakit istana, masih belum sadar saat aku tinggalkan!” Jenderal Sauqy menerangkan dengan menggebu-gebu. Bukan karena menyenangkan, tapi karena sangat tidak menyenangkan.
***
Hutan, sungai.
“Biar hamba dan prajurit hamba menyisir sisi seberang!” kata Jenderal Prana.
Dengan kode mengangkat tangan, para prajurit Jenderal Prana langsung bergerak. Jenderal Prana juga ikut masuk ke air dan menyeberang. Jenderal Kafi dan para prajuritnya juga segera menyisir. Jenderal Sauqy ikut menyisir bersama Jenderal Kafi.
***
Rumah sakit istana.
Anak laki-laki itu mulai bergerak dan meracau.
“Ibu, ibu, ibu, jangan sakiti ibu!” ucap anak itu dengan tidak jelas, tapi menunjukkan penolakan.
“Yang Mulia, anak itu seperti mengatakan sesuatu!” kata Cendani.
“Dokter bisa jelaskan kepadaku bagaimana kondisinya?” tanya Sultan Singa.
“Badannya penuh luka pukulan yang sangat serius, bahkan hal terburuk bisa terjadi.”
“Hal terburuk apa maksud Anda, Dokter?” tanya Sultan Singa.
“Kematian, Yang Mulia!” terang dokter bersungguh-sungguh dan sangat khawatir. Cendani menjadi semakin khawatir. Sultan Singa juga khawatir.
“Siapakah yang tega memukul anak kecil hingga kondisinya seburuk ini?! Sultan Singa murka. “Tenanglah, Ananda!” Sultan Singa segera memeluk Cendani yang menjadi semakin khawatir.
“Ibu, ibu, jangan sakiti ibu!”
“Anak kecil itu memangil ibunya, Yang Mulia dan juga berkata jangan sakiti ibu!” terang Cendani.
“Itu artinya, sedang terjadi sesuatu pada ibunya!” tebak Sultan dengan sangat yakin. “Aku akan mengutus prajurit ke sungai itu, untuk menyampaikan hal ini pada Jenderal Sauqy!” Sultan Singa segera pergi.
Cendani menangis sendiri. Tidak lama Sultan Singa telah kembali. Mendapati Cendani menangis, Sultan Singa segera memeluknya.
“Tenanglah, Sayang! Kuatkan diri Ananda, jangan sampai asma Ananda kambuh lagi!” kata Sultan Singa.
Anak kecil membuka mata.
“Lihatlah, anak kecil itu membuka matanya!” seru Sultan Singa. Dokter memeriksa. Cendani dan Sultan Singa mendekat.
“Siapa namamu, Nak? Jangan takut, aku Sultan Singa. Putriku yang menemukanmu di sungai. Apa kamu bisa bercerita apa yang terjadi kepadamu, Nak?”
“Tolong ibu saya dari ayah tiri!” ucap anak itu penuh harap.
“Siapa yang memukulmu hingga seperti ini?”
“Ayah tiri.”
“Di mana tempat tinggalmu, Nak?”
“Di desa dekat hutan,” jawabnya sekuat tenaga. “Allah!” sebutnya kemudian sambil menghembuskan napas terakhir.
Dokter memeriksa. “Ampun, Yang Mulia, anak ini sudah tiada.” Napas Cendani tertarik begitu cepat. Sultan memperhatikan Cendani dan mempererat pelukannya.
“Inalillahi!” ucap Sultan Singa. “Sabar, Ananda, kendalikan diri Ananda!”
“Inalillahi, inalillahi!” ucap Cendani sambil mengendalikan dirinya.
Dokter menutupi jasadnya dengan selimut.
Sultan mengingat sesuatu. “Kalau tidak salah, di dekat hutan itu ada sebuah desa kecil. Tidak banyak penduduknya, hanya sekitar kurang lebih dua puluh rumah.”
“Ananda mohon, izinkan Ananda ke sana, Yang Mulia!”
“Baiklah, tapi aku akan ikut bersama Ananda dan Ananda harus bisa mengendalikan diri Ananda!” tegas Sultan Singa sambil menghapus air mata Cendani.
Cendani mengangguk. Kemudian mereka bergegas pergi. Mereka naik kereta menuju sungai iitu
***
“Kusir, tolong cepat!” perintah Sultan Singa. “Kalau tidak salah, posisi desa itu, jika dari area pesta, berada di seberang sungai Ananda,” terang Sultan Singa.
“Kalau begitu, apa kita menyeberang langsung lewat sungai saja, Yang Mulia, terlalu jauh kalau memutar!” Cendani tidak bisa sabar.
“Benar, kita menyeberang saja! Kamu tidak apa-apa basah?”
“Ananda tidak mengapa basah, tapi Ananda tidak bisa berenang, tapi tetap Ananda akan menyeberang!” tekad Cendani.
“Ananda bisa berpegang padaku nanti!” tegas Sultan Singa.
“Terima kasih, Yang Mulia!” tegas Cendani dengan perasaan menggebu untuk segera menangani kasus anak kecil itu.
***
Hutan, sungai.
Jenderal Prana menemukan cincin pernikahan milik pria dan terukir nama wanita Zulia. Prajurit yang diperintahkan Sultan Singa datang.
“Lapor Jenderal, menurut Yang Mulia Sultan Singa, ibu anak laki-laki itu sedang dalam bahaya!”
“Jika begitu kita harus segera menemukan petunjuk!” kata Jenderal Sauqy.
Jenderal Sauqy dan Jenderal Kafi menemukan sebuah pasmina.
Sultan Singa dan Cendani telah sampai dan turun dari kereta. Tampak satu dua prajurit di pinggir sungai.
“Di mana Jenderal Sauqy?” tanya Sultan Singa.
“Ikut menyisir bersama Jenderal Kafi ke sana, Yang Mulia! Selain itu, di seberang, Jenderal Prana juga menyisir, Yang Mulia!”
“Beritakan kepada Jenderal Sauqy untuk ke seberang, aku dan Cendani juga akan ke seberang! Kami akan menuju desa kecil di seberang!”
“Baik, Yang Mulia!” Prajurit menunduk sejenak lalu bergegas pergi menghampiri Jenderal Sauqy.
“Ayo Ananda, kita menyeberang!” ajak Sultan Singa.
Cendani berpegang pada Sultan Singa menyeberangi sungai. Akhirnya, mereka berhasil menyeberang.
“Mana Jenderal Prana?” tanya Sultan Singa kepada seorang prajurit Jenderal Prana.
“Menyisir ke sana, Yang Mulia!”
“Cepat panggilkan, dan langsung menuju ke desa kecil, yang tidak jauh dari sini!” perintah Sultan Singa. “ Kami akan ke sana dahulu!”
Prajurit menunduk sejenak lalu pergi. Sultan Singa dan Cendani melanjutkan perjalanan ke desa kecil.
“Tapi kita tidak tahu nama anak itu, Yang Mulia!” bingung Cendani.
“Desa itu kecil, Ananda, pasti ada warga yang tahu, keluarga dengan anak laki-laki yang memiliki ayah tiri yang kejam!” tegas Sultan Singa dengan nada murka terhadap ayah tiri itu.
“Yang Mulia, benar!” kata Cendani dengan berseru karena kondisi sedang sangat serius hingga memacu hati, gerak, dan tutur.
Kedua jenderal bersama prajurit bergegas pergi ke desa kecil yang ada di seberang sungai, menyusul Putri Cendani dan Sultan Singa.
Lalu ....
New beginning
Awal baru
2 Yang Mulia Season Cincin Panah
Bersambung
Terima kasih
Del BlushOn DelBlushOn Del Blush On delblushon #delblushon :)