Contents
Pijar & Langit
Berhenti tolol
“Itu semua bohong?” tanyaku pada Langit dengan wajah tak percaya. “Semuanya? Semua kabar yang kamu bilang setiap minggu itu… bohong?”
Langit mengangguk. Saat ini, di hadapanku, bulan Maret 2020. Ketika aku bertanya mengapa kami kini harus saling berhenti peduli satu sama lain. Aku terdiam beberapa saat, mengecek kondisi hatiku. Apakah sakit? Apakah marah? Apakah sedih? Semuanya tidak. Semua terasa biasa saja. Hatiku… sepertinya mati rasa.
“Akhirnya aku lega udah ngomong ini ke kamu, Jar.”
“Kenapa kamu bohong?”
“Karena aku ga pengen kita berantem, aku ga pengen kamu marah. Aku pengen kita terus baik-baik aja. Tapi di sisi lain aku juga ngerasa belum ada niatan buat ngomong ke orang tua soal keseriusan hubungan kita.”
Aku terdiam, berusaha tenang. Rasanya banyak awan hitam di kepalaku. “Kamu tahu? Setiap kabar yang kamu bilang, aku juga bilang ke orang tua aku. Aku ga masalah kamu bohongin aku Lang. Tapi yang kamu bohongin adalah orang tua aku. Kamu menyakiti aku ga masalah, Langit. Tapi ini kamu menyakiti orang tua aku. Orang tua yang sangat aku jaga!”
“Maafin aku. Aku ga bisa ga bohong. Dengan kamu, aku selalu ingin bohong. Aku selalu ga bisa jujur. Aku sangat bersalah sama kamu.”
“Boleh ga, aku nampar kamu?”
Langit terdiam. Ia melihat sekitar café yang sepi, lalu mengangguk sambil memajukan kepalanya ke dekatku. “Silakan.”
Aku menarik napas, lalu dengan cepat, aku menampar wajahnya hingga memerah. Tak keras tentu saja, bahkan ketika ia sudah menyakiti aku sedemikian rupa, aku tidak bisa balik menyakitinya. Lalu setelah itu, kami sama-sama diam. “Kamu mau putus?” tanyaku.
“Break aja bisa gak? Sebulan… mungkin?”
“Nggak perlu. Kita akhiri aja. Ini udah ga bisa dibenerin. Sepuluh tahun kemarin… bukan apa-apa sekarang.”
Aku beranjak dari tempatku. Langit mengejar dan meminta izin untuk mengantarku. Aku menggelengkan kepala. Aku tidak akan mengizinkan diriku jatuh lagi, berkali-kali, ke dalam lubang yang sama. Aku tidak akan mengizinkan dia berbuat baik padaku lalu aku luluh lagi. Aku tidak boleh lebih tolol daripada keledai. Tolonglah Pijar… tolong berhenti jadi manusia tolol.
Kini aku sendirian, menatap keluar kereta MRT yang bergerak cepat.
Aku tahu, selama ini aku bertahan karena sudah terbiasa terkena ombak, bahkan badai sekalipun. Aku tahu rasanya berdiri sendirian. Aku jelas tahu karena ini bukan kali pertamaku. Aku pernah coba ini lagi, berusaha membuat semuanya lebih baik, tapi aku harusnya lelah. Aku harusnya menyerah. Tidak seharusnya aku mengalami ini, apa yang aku lakukan sehingga aku layak mengalami ini? Tidak seharusnya aku menerima ini, terutama dari orang yang amat aku cintai.
Aku sadar, aku layak mendapatkan yang sesuai dengan usahaku. Dengan apa yang telah aku beri. Aku harus lebih mencintaiku diri sendiri. Aku tidak peduli setelah ini apakah Langit akan bahagia atau sedih tanpa aku, aku hanya harus bahagia dengan caraku sendiri.
Astaga, butuh waktu selama ini agar aku tersadar. Aku tidak ingin menjadi aku yang kemarin.
Langitku mungkin tidak benar-benar hilang. Dia hanya meredup. Meredup setelah terang begitu lama. Aku ingin dia berhenti silih berganti terang dan redup, redung dan terang. Aku ingin Langit terus redup, menjadi seperti malam yang tak terlihat lagi. Yang tak datang lagi.
Kami kini sudah selesai. Maka dengan kesadaran penuh aku mengatakan, “Aku melepaskanmu Langit.”
***