Contents
Master of Masters E 11-42
MM 17. Bebas dari Belenggu Kalung
"Tentu saja aku sendiri, Pak Andhika!" jawab Sadam Pamungkas.
"Bagus, selain mencuri kau hebat dalam hal positif ini, Master Sadam!" puji Andhika Ardan.
"Cih!" desis Sadam menanggapi pujian Andhika Ardan.
Sadam Pamungkas, Maulana Husam, dan Andhika Ardan telah sampai di rumah kaleng kardus Sadam. Maulana dan Andhika takjub dengan rumah yang tersusun dari kaleng kardus bekas itu. Sebuah hasil karya yang luar biasa menurut keduanya.
"Oke, Maulana, Sadam, aku harus pergi sekarang untuk menyelidiki dengan mata kepalaku sendiri ke lokasi kejadian!" pamit Andhika Ardan.
"Terima kasih sudah mengantar dan menolong," ucap Maulana.
"Kau tidak menahanku?" tanya Sadam.
"Aku sudah tahu rumahmu, aku bisa menangkapmu kapan pun!" kata Andhika.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun menangkapku dan memenjarakanku!" ujar Sadam.
"Assalamualaikum!" ucap Andhika.
"Waalaikumsalam!" jawab Maulana. Andhika melangkah ke luar rumah.
"Waalaikumsalam!" jawab Sadam. Andhika menoleh saat sudah di pintu ke luar. Andhika pergi.
"Maaf lobi-lobi untuk membawanya kemari tidak berhasil, semua salahmu, Master Sadam! Akan tetapi akan aku usahakan terus untuk bisa membawanya kemari!" kata Andhika.
"Apa sih?" Sadam tidak paham maksud Andhika. Andhika pergi. Sadam menoleh ke Maulana. Maulana mengangkat kedua bahunya.
"Aku duga maksudnya Suster itu," benak Maulana. Maulana kemudian melihat ke sekeliling rumah Sadam tanpa berpindah tempat, hanya mengedarkan pandangannya. Ia melihat banyak sekali tumpukan kasur busa. Tempat itu juga cukup luas. "Jika dia dibawa ke sini, walaupun tempatnya seperti ini, masih layak kok. Tempatnya tidak luas, tapi cukup kok. Walaupun tidur di lantai, tetap akan nyaman dengan menumpuk beberapa kasur busa untuknya," pikir Maulana.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Tuan?" tanya Sadam. Maulana hanya menaikkan alisnya untuk menjawab Sadam. "Rumahku tidak layakkan? Aku sudah bilang dari awal rumahku kaleng kardus, rumah sampah!" kata Sadam.
"Siapa yang bilang rumahmu tidak layak?" tanya Maulana. "Sudah malam, kondisimu masih sangat lemah, cepatlah tidur!" kata Maulana.
"Di situ banyak kasur busa, Tuan bisa gunakan berapa tumpuk yang Tuan mau agar bisa nyaman! Tuan juga bisa menata di mana pun Tuan mau!" kata Sadam. Sadam lalu menekan sebuah tombol yang seperti tombol lampu. Kemudian ia melangkah ke tumpukan kasur busa yang sudah ia tata dan telah menjadi tempat tidurnya selama ini. Sadam merebahkan tubuhnya. Maulana mengikuti Sadam dan ikut merebahkan tubuhnya di situ juga.
"Kasur ini ukuran king size, masih muat untuk empat lima orang, aku di sini sana!" ujar Maulana.
"Terserah!" kata Sadam
∆∆∆
Restoran Pantai di malam hari.
Polisi-polisi sudah selesai memeriksa restoran. Mereka juga sudah selesai menanyai para pegawai dan bos pemilik restoran. Pada saat itu tampak mobil Andhika datang. Andhika turun dari mobilnya.
"Jika pemeriksaan sudah selesai, apakah kami boleh pergi ke rumah sakit? Kami juga ingin melihat jasad teman kami Maulana di rumah sakit," kata bos pemilik restoran itu.
"Maaf, tidak bisa!" larang Andhika yang baru tiba. "Ini kasus pembunuhan dan pelakunya belum ditemukan. Jadi kami tidak mengizinkan siapa pun melihat jasad Maulana untuk menghindari pelakunya menghilangkan barang bukti yang ada pada Maulana," terang Andhika.
"Kami temannya, Pak!" kata salah seorang koki restoran itu.
"Aku mengerti, tapi maaf!" tegas Andhika Ardan.
Andhika lalu segera memeriksa hasil pemeriksaan para anggota dan ia sendiri juga menyisir dan bertanya ulang. Ia juga pergi ke gudang tempat kejadian.
∆∆∆
Langit malam semakin larut menghitam pekat namun seberkas-seberkas cahaya bintang menjadikannya indah. Di depan rumah kaleng kardus yang nampak banyak sampah, nampak juga kilauan cahaya warna warni membentuk gambar-gambar. Sadam yang menyusun lampu-lampu kelap-kelip itu menghiasi sekitar rumahnya.
Di dalam rumah kaleng kardus, Sadam dan Maulana berbaring di kasur lantai yang bertumpuk sehingga walaupun tidur di lantai terasa sangat nyaman. Sadam sudah terlelap sedangkan Maulana berbaring, tetapi matanya masih memandangi setiap detail rumah itu dengan takjub. Ia pun memandang takjub kepada Sadam yang sedang berbaring di sebelahnya.
"Aku tidak percaya, kau yang telah membuat hasil karya sebagus ini, Sadam," benak Maulana.
Maulana kemudian teringat kebaikan Sadam kepadanya. Sadam yang telah rela hampir kehilangan nyawa demi nyawanya. Menyalurkan seluruh energi master kepada dirinya agar dirinya bisa bertahan hidup. Ia berkesimpulan jika Sadam bukan orang jahat. Bahkan ia terpikir ada sebab yang menjadi penyebab kenapa Sadam bisa menjadi pencuri.
"Apa yang terjadi kepadamu sampai kau menjadi pencuri, Sadam?" benak Maulana penasaran.
Perhatian Maulana kemudian beralih kepada kalung yang tampak melingkari leher Sadam. Kalung yang ia pasangkan paksa pada leher Sadam. Ia kemudian bagun dengan posisi duduk lalu memegang kalung itu untuk menghilangkan energi yang membuat Sadam terikat padanya.
Sadam menjadi terbangun karena hal itu. Ia reflek dengan sigap memegang tangan Maulana yang memegang kalung di lehernya. Ia mencengkram erat tangan itu mau melawan. Akan tetapi saat melihat ternyata Maulana, ia pun melepaskan cengkeramannya.
"Oh, Maaf! Aku sudah mengejutkanmu, membuatmu terbangun! Aku hanya mau menghilangkan energiku yang ada pada kalung di lehermu," terang Maulana. "Sekarang kau bebas! Kau bisa membunuhku jika kau mau, Sadam!" kata Maulana kemudian.
Sadam dengan cepat mencengkram leher Maulana den membuatnya jatuh terbaring di kasur.
"Aku pencuri bukan pembunuh! Tidurlah!" Sadam melepaskan cengkramannya lalu kembali tidur.
"Kau orang baik, Sadam!" kata Maulana.
"Cih!" desis Sadam menanggapi pujian Maulana.
"Aku juga tidak percaya jika kau seorang pencuri, Sadam!" kata Maulana. "Sejak kapan, apa saja yang kau curi?" tanya Maulana. Sadam tidak peduli lagi kata-kata Maulana karena dia hanya mau tidur dan tidur. "Baiklah, tidurlah, maaf sudah mengganggu tidurmu!" ucap Maulana kemudian. Maulana mengangkat kedua tangannya untuk berdoa lalu ia juga tidur.
Setelah beberapa lama tidur Maulana terbangun. Ia melihat Sadam seperti tidak tenang dalam tidurnya.
"Apa dia bermimpi buruk?" Maulana bertanya dalam benaknya. Maulana melihat waktu yang berdiri di meja pendek yang ada di ruangan itu. Waktu yang menunjukkan sudah mau subuh.
"Sebentar lagi akan subuh. Aku harus mencari masjid untuk sholat subuh!" Maulana bangkit lalu berjalan menunduk untuk ke luar dari rumah itu.
Mentari mulai muncul Maulana masih jalan-jalan di sekitar rumah Sadam. Saat sudah benar terang ia memutuskan kembali ke rumah Sadam. Saat kembali ia melihat lampu warna-warni di sekitar rumah Sadam masih menyala. Saat ia masuk ke dalam rumah sampah kaleng kardus, ia mendapati Sadam masih terlelap. Maulana geleng-geleng lalu menekan tombol yang semalam Sadam tekan.
"Sepertinya dia tukang tidur," pikir Maulana. Ia kemudian duduk di kasur yang ditempati Sadam.
"Koran ... koran ... koran! Kring!" Di luar rumah Sadam terdengar suara tukang koran beserta suara bel manual onthelnya. Sadam terbangun karena suara itu seperti biasa. Ia mengambil uang di sebuah kaleng lalu menuju ke pintu. Maulana hanya memperhatikan saja apa yang dilakukan Sadam. Sebelum sampai pintu terdengar suara pintunya digedor.
"Iya!" seru Sadam sembari membuka pintu rumahnya lalu ke luar.
"Sadam, kemana saja, dua hari tidak terlihat?" tanya tukang koran.
"Bisnis," jawab Sadam.
Maulana muncul dari dalam rumah Sadam. Tukang koran memandangnya penuh tanya.
"Maulana!" Maulana mengulurkan tangannya.
"Aris!" Tukang koran menjabat tangan Maulana. "Baiklah, aku permisi mau keliling lagi!" pamitnya kemudian. Aris naik ke onthelnya dan segera mengayuhnya pergi dari tempat Sadam.
Maulana memperhatikan kalung di leher Sadam.
"Kalung itu sudah bisa kau lepas!" terang Maulana.
"Oh, iya semalam sudah kau ambil energinya!" Sadam membuka koran.
"Kau tidak melepaskan kalungnya?" tanya Maulana.
"Em ... kalungnya bagus, dipakai sajalah!" kata Sadam. "Oh, Tuan mau mengambil kalung Tuan kembali?" tanya Sadam.
"Tidak-tidak, jika kau suka pakai saja!" jawab Maulana.
"Terima kasih. Em ... rasanya aku ingin sekali menggerakkan badanku setelah seharian dari kemarin aku tidur. Em ... aku kemarin melihat Tuan suka main bola. Aku ada bola basket dan keranjangnya terpasang di samping belakang. Tuan Mau main?" tawar Sadam.
"Tuan, tuan, panggil aku Maulana, Sadam!" kata Maulana. "Itu ide yang bagus! Kondisimu juga kelihatan lebih baik walaupun masih lemah! Bergerak lebih baik daripada kau diam asal jangan berlebihan! Ayo kita main!" kata Maulana kemudian. Sadam segera masuk ke dalam rumahnya menaruh koran dan mengambil bola basket.
Di samping agak ke belakang dari rumah sampah kaleng kardus, Sadam Pamungkas dan Maulana Husam sedang bermain basket. Pada saat itu Andhika datang. Ia memberhentikan mobilnya lalu turun dari mobil. Tampak dari jauh pintu rumah Sadam terbuka. Ia segera menghampiri. Ia mengetuk pintu.
"Assalamualaikum!" ucap Andhika tapi tidak ada jawaban. Ia menunduk dan masuk. Ia mendapati rumah itu kosong. Akan tetapi ia mendengar suara orang berebut bola. Ia ke luar dari rumah itu dan menghampiri arah suara. Ia melihat Sadam dan Maulana sedang berebut bola basket.
"Sadam, boleh aku bertanya, sesuatu yang mungkin akan menyinggung dirimu?" tanya Maulana sambil berusaha merebut bola basket dari Sadam. Pertanyaan itu membuat Sadam hilang konsentrasi terhadap bola dan Maulana berhasil merebutnya.
"Kau bertanya atau mengalihkan perhatian?" tanya Sadam.
"Aku serius, tapi aku juga bersyukur bisa membuat kau kehilangan bola!" kata Maulana.
"Apa? Tanya saja, apapun itu, Tuan!" kata Sadam.
"Ah Sadam selalu saja memanggilku tuan!" protes Maulana. "Kenapa kau mencuri? Maksudku kenapa kau tidak mencari pekerjaan lain? Kau memiliki kekuatan master yang bisa membuatmu hebat dalam hal apapun sesuai pilihanmu, seperti misalnya aku memilih memasak. Dengan kekuatanmu itu kau bisa saja mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik," kata Maulana sembari berusaha memasukkan bola ke keranjang.
"Tanpa mencuri aku juga pencuri dan akhirnya dipenjara, Tuan," kata Sadam dan perkataannya itu membuat konsentrasi Maulana yang buyar dan ia berhasil merebut bolanya kembali.
"Aku tidak mengerti, Sadam!" kata Maulana yang gagal paham dengan jawaban Sadam.
"Dari kecil aku sering difitnah mencuri. Dari sejak kecil itu karena fitnahan itu aku sudah merasakan dinginnya dinding penjara. Sejak menyadari adanya kekuatan ini di dalam diriku, aku menjadi berpikir untuk menjadi pencuri yang hebat. Sejak saat itu juga aku tidak membiarkan siapapun bisa menangkapku dan memenjarakanku lagi," terang Sadam.