Contents
The Runaway 7,8,9
TR 9. Sayang Yura
Hari sudah dini hari. Radika dan Yura duduk melantai dengan lutut ditekuk di dalam bedak itu. Radika melihat Yura tampak payah. Ia merasa perlu bersembunyi di tempat yang aman agar Yura bisa beristirahat. Ia melihat bedak meskipun sempit, cukup aman dan Yura bisa beristirahat.
“Kita di dalam sini saja sampai mereka pergi! Jangan bersuara agar mereka tidak mengetahui keberadaan kita! Mungkin sebaiknya kamu tidur, kamu sudah tampak payah sekali!” tegas Radika.
Radika menata posisi Yura untuk meluruskan kaki sementara badan Yura bersandar. Kemudian ia pun duduk dengan posisi sama dan sejajar dengan Yura. Yura.
Polisi-polisi mencari Radika dan Yura.
Yura merasa lapar. “Ula apal, Ula au ue coat.”.Radika mengeluarkan kue cokelat Yura dan memberikan kepada Yura. Yura memakannya. Radika juga makan kue.
Kue Yura sudah habis dengan cepat. Yura melihat masih ada banyak kue lainnya dan kelihatan juga sangat enak. Akan tetapi Yura cuma memandangi dengan bibirnya celam-celem. Radika menyadari itu.
“Semua kue ini untuk Yura!” ujar Radika bersungguh-sungguh. Yura menatap ragu. Radika memberikan satu kue ke tangan kanan Yura dan satu kue ke tangan kiri Yura. Yura tersenyum dan dengan senang hati melahap kue lagi.
“Tinggal satu lagi. Habiskan!” kata Radika.
Yura mengambil lagi dan memakannya segera. “Nak nak mua.” Radika tersenyum lalu mengecup pelipis Yura. Radika menjadi merasa sangat sayang kepada Yura. “Ula aus,” keluh Yura.
Radika bingung sekarang karena tidak ada air minum. “Sabar ya.” Saat itu Radika mendengar langkah kaki.
“Aus ... Ula aus ....” Yura tidak berhenti mengeluh. Radika lekas membekap mulut Yura agar tidak bersuara.
Polisi-polisi melewati bedak kecil di mana di dalamnya ada Radika dan Yura.
“Dengar kan tadi? Sabar ya, kita harus menunggu sampai mereka benar-benar pergi kalau tidak kita bisa tertangkap,” kata Radika.
Yura haus, tapi dia paham sedang dalam bahaya. Mau rewel dia takut. Mau tidak mau menahan haus hingga menggigit bibirnya agar tidak rewel.
“Aus ...,” lirih Yura.
***
Yura terpejam. Waktu berlalu hingga mendekati subuh. Sayup-sayup suara orang mengaji di masjid kecil di kampung itu terdengar. Radika mencoba mendengarkan suara orang berlari. Ia mengingat-ingat jika sejak tadi ia sudah tidak mendengar suara orang-orang berlari atau jalan cepat mondar-mandir di gang tempat bedak kecil itu berada.
“Apa mungkin sudah aman?” tanya Radika bermonolog berbisik.
Setelah merasa pasti aman, Radika menepuk-nepuk pundak Yura. Yura terbangun.
“Sepertinya sudah aman. Ayo kita pergi!” Radika membawa satu paper bag berisi baju kotor Yura. Radika dan Yura ke luar dari bedak kecil itu.
Beberapa langkah melangkah Radika dan Yura berpapasan dengan beberapa polisi, tepat di sisi rumah warga yang terdapat banyak pot dari yang kecil hingga yang besar. Radika dan Yura terperanjat. Yura ketakutan dan bersembunyi mendempel di belakang Radika. Radika melihat ada pot bertanah mawur. Radika dengan cepat dengan kedua tangannya merauk tanah dan melemparkan ke mata para polisi itu. Paper bag otomatis Radika jatuhkan. Sebagian polisi mata mereka terkena dan reflek menutup mata mereka dengan kedua tangan mereka. Sebagian yang tidak terkena tanah langsung menyerang Radika. Radika bertarung dengan beberapa polisi. Sementara itu polisi yang terkena sibuk berusaha membersihkan mata mereka. Seorang polisi tampak oleh Radika mau mengeluarkan pistolnya. Radika lekas menghalangi dengan menendang tangan polisi itu hingga pistolnya terjatuh. Begitu juga terhadap polisi yang lainnya yang mau mengeluarkan pistolnya. Radika terus bertarung melawan beberapa polisi.
Yura melihat pot kecil berisi tanaman mawar berduri yang masih tumbuh beberapa kuncup bunga. Yura mengambil dan melemparkan ke salah satu polisi yang melawan Radika. Polisi itu lekas menangkis dengan tinjuan hingga pot itu hancur. Akan tetapi duri bunga mawar cukup melukai punggung tangan polisi itu.
Yura teringat tadi Radika melemparkan tanah ke arah mata polisi-polisi. Yura mengambil tanah dan melemparkan ke arah mata salah satu polisi yang melawan Radika. Polisi itu menjadi berhenti melawan karena sibuk dengan matanya sendiri. Melihat Yura melakukan hal itu Radika juga mengulang melakukan hal itu lagi. Semua mata polisi terkena tanah. Salah satu polisi yang tidak begitu terkena tanah membalas Radika dengan melemparkan tanah ke wajah Radika juga. Mata Radika menjadi terkena tanah. Yura lalu membalas polisi itu dengan melemparkan tanah. Polisi itu kini matanya terkena tanah betul.
Beberapa polisi yang sebelumnya terkena tanah matanya sudah aman. Mereka hendak menyerang Radika. Yura melihat batu dan melemparkan ke salah satu polisi itu. Radika melawan polisi-polisi itu dengan mata terpejam. Yura mengambil batu lebih banyak dan terus melempari ke semua polisi yang menyerang Radika. Saat matanya sudah lumayan bisa melihat, Radika berhasil mengalahkan polisi-polisi. Radika lekas menarik tangan Yura untuk lari berbalik arah. Beberapa polisi lainnya juga telah selesai dengan tanah di mata mereka. Polisi-polisi itu mengejar Radika.
Radika melihat celah sempit antara rumah. Radika mengajak Yura masuk ke celah itu. Lagi-lagi mereka harus miring. Radika dan Yura terus masuk ke celah itu. Polisi-polisi melintas dan tidak melihat mereka. Radika mengajak Yura terus melangkah masuk ke celah itu mungkin ada jalan. Akan tetapi hasilnya ternyata buntu.
Polisi-polisi yang kalah dan tertinggal mengambil paper bag Radika yang tertingal. Mereka memeriksa isinya yang semuanya satu setel lengkap pakaian wanita berbau pesing.
“Pesing,” celetuk polisi itu.
Polisi- polisi itu mengikuti arah rekan-rekan mereka yang mengejar Radika dan Yura.
Yura terbelalak teringat sesuatu yang sangat disayanginya. “Bi! Bi Ula! Ua bI Ula!” Yura mau ke luar dari celah itu sembari mendorong Radika untuk lekas ke luar. Yura ingin kembali ke bedak itu untuk mengambil barbienya.
“Barbie? Tidak mungkin kembali, bahaya!” tegas Radika menjelaskan.
Yura tidak peduli ia mau barbienya. Radika menjadi melangkah ke luar celah. Hampir ke luar celah, terdengar langkah kaki cepat di luar celah itu. Radika cepat-cepat membekap mulut Yura. Polisi-polisi yang menyita paper bag berisi baju pesing Yura melintas. Deg deg deg, Radika dan Yura ketar-ketir. Akan tetapi untungnya tidak satu pun dari mereka yang melihat kedua orang itu di celah itu. Radika dan Yura bernapas lega.
“Untung saja! Hampir saja! Semua karena kamu!”
“Ula au ua bi Ula!” Yura sedih.
Radika melihat para polisi ke sana semua. “Sepertinya aman! Ya udah, ayo kita kembali ke bedak itu dan mengambil ua bi kamu!” Radika dan Yura ke luar dari celah dan kembali ke bedak kecil.
Radika dan Yura kembali ke bedak kecil yang pintunya rusak. Radika masuk dan mengambil dua barbie Yura. Radika memberikan dua barbie itu ke tangan Yura. Yura tersenyum senang. Radika juga ikut tersenyum senang. Radika memeluk dan mengecup pelipis Yura.
“Ayo kita pergi ke arah sana saja!” ajak Radika.
Beberapa saat melangkah sangat jauh di belakang mereka ada salah satu polisi tadi.
“Itu mereka!” seru Polisi.
Radika lekas menarik tangan Yura untuk lari. Beberapa polisi mengejar mereka. Yura menjadi menjatuhkan salah satu barbienya.
“Bi Ula tuh! Bi Ula!”
“Biarkan saja! Masih ada satu di tangan kamu! Lain kali aku belikan lagi!”
Radika terus menarik tangan Yura untuk terus berlari sementara Yura ingin kembali mengambil satu bonekanya yang terjatuh.
“Kau ingin tertangkap?” tanya Radika.
Yura tidak mau tertangkap. Ia tidak punya pilihan harus lari dengan sangat sedih kehilangan salah satu barbienya. Dari kejauhan sembari berlari, salah satu polisi tampak mengambil bonekanya itu. Yura menitihkan air mata.
Terdengar suara adzan subuh. Saat itu Radika dan Yura yang sedang berlari dari kejaran polisi melihat sebuah sarung dan baju Koko di jemuran depan rumah warga. Radika memiliki ide dan lekas mengambilnya. Saat itu beberapa warga jalan ke masjid. Radika dan Yura mengikuti warga ke masjid
Pemuda ke luar dari dalam rumahnya. Ia melihat Koko dan sarungnya tidak ada di jemuran teras rumahnya.
“Nyak!” Pemuda itu masuk lagi ke dalam rumahnya. “Kokoh sama sarung Apri di jemuran mana?!”
***
Di sebuah masjid kecil di kampung padat penduduk itu.
Radika membantu Yura melepas alas kaki. Baru setelah itu Radika melepaskan alas kakinya sendiri.
“Yura, kamu masuk, tunggu di dalam situ, duduk manis! Radika mau ganti baju lalu masuk ke situ! Kamu tunggu jangan ke mana-mana sampai aku menjemput kamu! Jangan bicara sama siapa pun! Kamu mengerti?” kata Radika memberi pengarahan kepada Yura. Yura paham mengangguk lalu masuk. Setelah memastikan Yura duduk manis di dalam bagian wanita Radika pergi ke toilet. Polisi-polisi melintas.
Di dalam masjid kecil di area wanita.
Yura duduk sedih mengenang satu barbienya yang jatuh. Ia memainkan barbienya yang tinggal satu. Dia lelah dan tertidur, tergeletak di lantai memeluk barbienya.
Radika masuk dengan baju Koko dan sarung. Dari jendela ia melihat polisi melintas. Ia lekas maju ke bagian paling depan biar tidak terlihat polisi. Ia pun mau tidak mau menjadi pura-pura sholat subuh.
Sementara sedang sholat subuh berjamaah, di depan masjid kecil itu polisi-polisi berkumpul semua.
“Silakan yang muslim sholat saja dahulu!” tegas Ferdiansyah. Polisi-polisi masuk ke masjid.
Sholat subuh telah selesai. Polisi-polisi masuk menjadi sholat sendiri-sendiri. Radika menoleh ke belakang sembari berdiri mau beranjak. Ia terhenyak banyak polisi di dalam masjid. Ia akhirnya duduk lagi dan pura-pura berdzikir dan berdoa panjang lebar.
“Sebaiknya aku di sini sampai semua polisi-polisi itu benar-benar pergi dari sini,” benak Radika.
Saat polisi-polisi telah ke luar dari dalam masjid dan membincangkan pencarian mereka.
“Ya sudah, kita sebagian kembali dan sebagian tetap di sini! Jaga di setiap gang masuk kampung ini! Beritahukan kepada warga mengenai adanya buronan itu dan wanitanya!” perintah Ferdiansyah.
Radika yang di dalam samar-samar tapi jelas mendengarnya.
“Itu artinya tidak bisa ke luar dari kampung ini. Coba ada celah sempit antara rumah yang tembus jalan raya,” batin Radika.
Ferdiansyah dan polisi-polisi pergi. Radika menengok ke belakang.
“Mereka sudah pergi,” kata Radika dalam hatinya dengan sedikit ada kelegaan.
Radika melihat warga yang mau pergi dari masjid itu. “Permisi! Di sini ada tidak, yang celah antara rumah, yang tembus langsung ke jalan raya? Tapi bukan gang loh ya. Em ... saya soalnya janjian di situ, tapi saya tidak tahu di mana itu.”
“Oh, ada. Dari sini belok sana. Nanti ada rumah cat kuning sama rumah yang putih usang. Di situ ada celah langsung ke jalan raya, bukan gang,” terang warga itu.
“Terima kasih!” Radika sangat senang dan merasa tertolong.
“Sama-sama. Mari, Assalamualaikum!” seru warga berpamitan.
“Waalaikumsalam!” jawab Radika. Warga pergi. Radika lekas ke bagian wanita.
“Yura, bangun! Ayo pergi!” seru Radika. Yura membuka mata dan ia tersenyum saat melihat Radika. “Sudah aman. Ayo kita pergi!” ajak Radika. Yura membawa barbienya. Radika menuntun Yura pergi.
Radika dan Yura menemukan celah itu. Mereka melewati celah dan ke luar dari perkampungan itu.
Radika dan Yura telah sampai di pinggir jalan raya. Mereka naik angkutan umum. Seorang pria tanpa seragam melihat mereka dan ikut naik angkutan umum itu.
Di dalam angkutan umum, Radika memeluk bahu Yura. “Yura aku akan memulangkanmu ke rumahmu. Aku tahu di mana kampungmu itu, “ ujarnya. Yura tersenyum lalu memainkan barbienya. Radika menemaninya bermain.
Radika tampak bertanya kepada warga mengenai alamat Yura. Warga menunjukkan. Radika menggandeng Yura sembari membawakan bonekanya.
Radika dan Yura telah sampai di depan rumah Yura yang sangat sederhana.
“Ini benar rumah Yura?” tanya Radika.
“Mah Ula umah Ula!” Yura berbinar senang tanda itu benar rumahnya. Radika tersenyum. Radika mengetuk pintu.
Yure ke luar dan terkejut. Yuri ...!
Yuri ke luar. “Apa sih, Mbak Yure teriak-teriak?” Yuri melihat Yura terkejut. “Mbak Yura!”
Radika lega mereka benar keluarga Yura. “Yura, kamu sudah sampai di rumah kamu, aku pamit. Assalamualaikum!” Radika pamit.
“Waalaikumsalam!” jawab Yura.
Radika pergi sembari membawa boneka milik Yura. Yure lekas menarik Yura masuk. Yuri masuk dan menutup pintu.
Baru beberapa langkah, Radika melihat boneka Yura ada di tangannya. Radika kembali ke rumah Yura.
Radika mau mengetuk pintu tidak jadi ia mendengar seperti suara kasar.
“Kenapa pulang? Harusnya, Mbak itu tidak usah pulang!” bentak Yure.
“Iya, Mbak itu menyusahkan, seharusnya tidak usah pulang!” bentak Yuri.
Yure menampar Yura tanpa alasan.
“Ah!” pekik Yura.
Mendengar semua itu Radika bergegas masuk tanpa permisi untuk menyelamatkan Yura.
Radika melihat Yura dikasari Yure dan Yuri.
“Hiii ... apalagi dia habis jual diri lagi!” celetuk Yuri jijik.
“Hi ... iya bener! Mbak pergi mbak, jangan di rumah ini lagi! Pergi!” usir Yure. Yure memukuli Yura. Yuri juga ikutan. Yura jadi menangis dan ngamuk-ngamuk.
“Atau kalau gak, kita jual lagi saja!” seru Yuri mendapatkan ide.
“Yura masih suci! Keterlaluan kalian! Maka, Yura tidak akan pulang lagi!” geram Radika. “Ayo, Yura!” Radika membawa Yura pergi.
Kini Radika dan Yura kembali naik angkutan umum.
“Yura, mulai hari ini, kamu tanggunganku, tanggung jawabku. Aku berjanji akan melindungi kamu, menjaga kamu, membahagiakan kamu!” ujar Radika serius bersungguh-sungguh. “Sekarang kita akan ke rumahku yang lainnya. Semoga polisi tidak tahu rumahku yang ini,” terang Radika kemudian. ‘Ini Barbie kamu.” Radika memberikan barbie. Yura berbinar melihat barbinya. Ayo, main!” ajak Radika. Yura dan Radika bermain Barbie di dalam angkutan umum itu.
Orang tanpa seragam yang tadi mengikuti Radika di angkutan umum sebelumnya nampak ada di angkutan umum itu juga.
Radika dan Yura kini telah berada di dalam rumah Radika di sebuah komplek perumahan tidak sederhana juga tidak mewah. Rumah Radika itu juga tidak sederhana juga tidak mewah.
“Uma Ladia?” tanya Yura.
“Iya, ini rumah Radika. Yura akan tinggal di sini bersama Radika. Em ... rambut kamu berantakan. Aku ambil sisir dahulu.”
Radika masuk ke dalam kamar lalu ke luar lagi.
“Yura duduk sini!” perintah Radika. Yura menurut. Radika menyisir rambut Yura.
Sambil menyisir, Radika menawari Yura. “Yura mau minum cokelat dingin?”
“Coat?” tanya Yura.
“Iya cokelat,” jawab Radika.
“Au! Ula au coat!” jawab Yura antusias.
“Kamu tunggu di sini, main bi dan nonton TV!” tegas Radika. Radika meletakkan sisir di meja lalu menyalakan televisi.
“Yura,” panggil Radika dengan lembut. Radika menangkup wajah Yura dengan kedua telapak tangannya. Kemudian Radika mengecup kening Yura penuh kasih sayang. “Aku sangat menyayangimu!” Yura yang tidak mengerti hanya menganggap biasa. Yura membalas dengan senyuman. Radika juga tersenyum. Radika pergi ke dapur. Yura bermain bonekanya sembari nonton TV.
Radika melihat tidak ada es atau pun air es. Hanya ada cokelatnya saja.
“Di warung sana kayaknya jual es batu deh,” kata Radika bermonolog. Radika mengambil uang di sebuah kaleng yang ada di dapur itu lalu pergi melalui pintu belakang.
***
Radika ke luar dari sebuah warung membawa es batu. Dari kejauhan ia melihat truk polisi dan Ferdiansyah melaju ke arah rumahnya.
“Jangan-jangan?” Radika tidak jadi kembali ke rumahnya. Ia jalan berbalik arah. Akan tetapi langkahnya terhenti karena teringat janjinya, ia merasa sayang, merasa tidak bisa meninggalkan Yura.
“Yura ... Yura ....” Radika akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumahnya melalui belakang rumah lagi.
***
Yura sedang main bi dan nonton TV, tiba-tiba pintu didobrak dan polisi-polisi masuk. Polisi langsung masuk terus untuk menggeledah. Seorang polisi mengarahkan pistol ke Yura.
“Angkat tangan!” tegas seorang polisi.
“Ah ... ah ... ah ...! Ladia ... Ladia! Ah ... Ladia!” pekik Yura.
Akhirnya polisi-polisi berkumpul di ruang tamu.
“Radika tidak ditemukan, Pak!” kata seorang polisi.
“Mana Radika?!” tanya Ferdiansyah kepada Yura dengan membentak.
“Ladia ... Ladia ....!” Yura berteriak-teriak dan akhirnya menangis. Sembari itu ia memukuli polisi-polisi itu. Polisi menjadi sedikit kasar dengannya.
“Mana Radika? Cepat katakan!” bentak polisi lagi. Yura terus berusaha memukuli para polisi itu sembari berteriak dan menangis.
“Bagus juga acting kamu. Jangan pura-pura gila! Kami tidak bisa kamu tipu, Wanita Murahan Langganan Hidung Belang!” kata Ferdiansyah. “Sebagian cepat cari di komplek ini! Sepertinya Radika sudah kabur lagi!” tegasnya kemudian.
Sebagian besar polisi-polisi pergi dari rumah itu untuk mencari Radika di luar rumah itu. Di rumah itu hanya tersisa Ferdiansyah dan sembilan rekannya. Satu polisi mencoba memeriksa lagi ke belakang meskipun sudah diperiksa rekannya.
Radika menaruh es batu di freezer. Kemudian ia mau melihat ke depan tetapi ada polisi ke dapur. Radika lekas memukulnya pingsan. Radika mau ke depan. Akan tetapi polisi itu bangkit dan menyerangnya dari belakang. Radika menangkis. Polisi itu mau menembak Radika. Radika lekas merebut pistolnya dan menodongkan ke kepala polisi itu. Radika saat itu terpikir sesuatu.
“Apa teman-temanmu akan pergi demi nyawamu? Sepertinya kau bisa aku sandera. Ayo, kita coba!” kata Radika.
Radika membawa polisi itu ke depan dengan tetap menodongkan senjata api ke kepala pria itu.
“Lepaskan gadis itu dan pergi dari sini jika ingin rekan kalian ini masih hidup!” Radika muncul sembari menawan seorang polisi.
“Ladia ... Ladia ....!” seru Yura berbinar saat melihat Radika.
“Cepat lepaskan gadis itu dan pergi dari rumah ini!” teriak lantang Radika. Radika mengancam sembari siap menarik pelatuk.
Ferdiansyah mengkode pasukannya untuk pergi. Pasukannya pergi perlahan ke luar dari rumah itu. Di dalam tinggal Ferdiansyah dan tiga orang polisi yang menahan Yura.
“Semua pergi, Pak! Gadis itu lepaskan, Pak!” tegas Radika.
“Akan aku berikan gadis gila murahan ini, tapi berikan dahulu anak buahku itu!” tegas Ferdiansyah.
“Gadis itu tidak gila, Pak! Dia autis!” teriak Radika.
Radika berpikir sepertinya akan ada pertarungan. Ini berbahaya untuk Yura dan ia merasa tidak baik Yura melihatnya, apalagi kalau sampai ada pertumpahan darah. Radika juga menjadi terpikir masa depan Yura. Polisi-polisi itu akan terus mengejarnya dan Yura akan menanggung bahayanya juga. Yura tidak mungkin ia tinggalkan dan ia juga tidak percaya siapa pun untuk dipercayakan Yura. Ia melihat Ferdiansyah.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Kau mau membuat rencana lolos lagi?” tanya Ferdiansyah melihat gelagat Radika.
“Tiga anak buahmu suruh keluar sekarang juga, cepat!” tegas Radika kesekian kalinya.
Ketiga polisi keberatan. Ferdiansyah tidak punya pilihan mengkode mereka pergi karena ada nyawa anak buahnya yang menjadi taruhan. Ketiga polisi pergi.
“Sekarang kunci pintunya! Kuncinya ada di lubang kunci!” perintah Radika. Ferdiansyah mengunci pintu. “Lemparkan ke sini kuncinya!” perintah Radika lagi. Ferdiansyah ragu, tapi akhirnya ia lemparkan ke Radika.
Radika meraih dengan kakinya. Saat mau mengambil dengan tangan saat itu polisi yang disandera lekas mengarahkan tangan Radika ke tempat lain. Pistol meletus.
Door door door!
“Ah ... ah ....!” Yura berteriak-teriak histeris dengan menutup telinganya. Ia lalu berjongkok sembari terus berteriak dan menangis.
Pistol itu akhirnya jatuh. Polisi dan Radika bertarung. Ferdiansyah lekas ikut menyerang Radika. Radika menjadi melawan dua polisi. Radika, polisi dan Ferdiansyah sama-sama cedera. Radika meraih pistol yang jatuh dan menodongkannya ke arah polisi. Polisi dan Ferdiansyah menjadi berhenti menyerang Radika.
“Borgol anak buah Anda, Pak!” pekik Radika sembari mengancam. Ferdiansyah diam tidak mengikuti. “Cepat atau aku akan benar-benar menembaknya!” tegas Radika. Ferdiansyah tidak punya pilihan. Ia memborgol rekannya sendiri. “Sekarang ambil borgol itu dan borgol Anda sendiri!” tegas Radika kemudian. Ferdiansyah terpaksa memborgol dirinya sendiri.
“Aku ... aku ... mau bicara dengan Anda, Pak. Bicara serius! Sebelum itu izinkan aku menenangkan Yura,” ujar Radika dengan nada suara diturunkan, meskipun tetap tegas.
Radika mendekati Yura. “Yura, Sayang, kamu tidak apa-apa? Sudah jangan menangis, jangan takut lagi!”
Polisi diam-diam mendekati Radika yang sedang menghadap ke Yura. Polisi meraih kepala Radika dengan tangannya yang diborgol menggunakan borgol. Radika tercekik. Ferdiansyah lekas membantu rekannya menjegal kaki Radika. Radika terjatuh. Pistol di tangan Radika juga terjatuh. Radika menggigit lengan polisi. Radika memposisikan diri membuat polisi itu terbanting. Radika lekas meraih pistol di lantai. Ferdiansyah juga mengeluarkan pistol tapi terlambat karena kesusahan akibat tangannya dalam kondisi terborgol. Pistol mengarah ke polisi lagi. Radika menembak kaki polisi itu.
Door!
“Ah ... ah ... ah ...!” teriak Yura ketakutan untuk kesekian kalinya.
Polisi itu terkena tembakan. Yura berteriak ketakutan. Radika meraih polisi itu dan menodongkan senjata tepat di kepalanya mau menembaknya.
“Jangan tembak!” seru Ferdiansyah mencegah. Ferdiansyah khawatir akan keselamatan rekannya. Radika sendiri tidak mau membunuh di depan mata Yura.
“Jangan macam-macam lagi! Buang pistolmu itu!” tegas Radika. Ferdiansyah membuang pistolnya
“Sekarang Anda ikut saya ke dapur!” Radika mengajak polisi yang disanderanya ke dapur. Ferdiansyah mau melangkah mengikuti. “Anda tetap di sini! Jangan macam-macam dan jangan membuat gadis autis itu semakin ketakutan!” Radika mengajak polisi yang ada di tangannya dengan menyeretnya melangkah mundur untuk berhati-hati dari Ferdiansyah.
Sementara itu Yura masih menangis dan ngamuk-ngamuk ketakutan.
***
“Anda tunggu di dalam!” Radika memasukkan polisi ke toilet dan menguncinya.
Radika membuat minuman. Saat itu beberapa polisi masuk dari pintu belakang. Radika terkejut dan melawan mereka. Beberapa polisi telah Radika lumpuhkan. Akan tetapi polisi-polisi itu tetap berjuang berusaha kembali berdiri melawan Radika. Ferdiansyah juga ke belakang. Radika menyandera salah satunya dan mengancam dengan sebuah panci kecil berisi air panas.
“Berhenti, jangan macam-macam atau rekan kalian terkena air panas! Keluar kalian semua lewat pintu belakang!” ancam Radika. Ferdiansyah mengkode pasukannya untuk keluar. Polisi-polisi itu ke luar.
“Anda tunggu di depan, Pak! Kita akan bicara setelah aku membuatkan gadis itu minuman coklat!” tegas Radika. Ferdiansyah kembali ke depan.
Radika meletakkan panci air panas kembali ke atas kompor. Radika membawa ke luar polisi yang ada di tangannya lewat pintu belakang. Radika menutup pintu belakang dan menguncinya
Radika melanjutkan membuat minuman cokelat dingin dengan tenang. Setelah jadi ia membawanya ke depan.
***
Radika mendekati Yura yang menangis dan mengamuk. “Yura ... Yura .... Yura ... tenang Yura! Lihat! Aku bawa cokelat untuk kamu. Kamu mau cokelat kan?”
Yura diam dan memperhatikan yang dibawa Radika. “Coat.”
“Ayo minum!” Radika membantu menyodorkan cangkir ke bibir Yura. Yura meminumnya.
“Nak nak,” kata Yura.
“Yura suka?” tanya Radika.
“Nak nak,” kata Yura lagi. Radika membantu Yura minum.
“Gadis ini namanya Yura, autis, yatim piatu. Gadis malang ini dijual oleh saudarinya sendiri. Dia masih suci. Aku sudah mencoba memulangkan, tapi sama dengan membawanya ke neraka. Kini dia tanggung jawabku. Aku sudah janji kepada Yura untuk menjaganya, melindunginya, dan membahagiakannya. Akan tetapi setelah aku pikir-pikir keadaanku tidak mungkin untuk melindunginya yang ada dia akan selalu dalam bahaya. Aku juga tidak bisa percayakan Yura kepada siapa pun. Aku tidak mau Yura masuk ke neraka dunia ini,” terang Radika. Radika mengecup pelipis Yura.
“Anda orang baikkan, Pak? Aku akan membuat kesepakatan dengan Anda. Aku akan menyerahkan diriku, asalkan Anda mau menampungnya di rumah Anda dan merawatnya seperti putri Anda sendiri. Bagaimana, Pak?” tawar Radika.
“Sepertinya Anda sangat menyayangi gadis ini. Sampai rela menyerahkan diri. Baik, aku setuju untuk menampung dan merawatnya seperti putri saya sendiri! Insya Allah! Saya minta maaf, karena sebelumnya saya mengira dia gila dan bagian dari PSK-PSK Sundara,” ujar Ferdiansyah bersungguh-sungguh.
“Yura, polisi-polisi itu bukan orang jahat. Radika yang jahat. Yura akan bersama polisi itu. Polisi itu akan baik sama Yura, menjaga Yura,” terang Radika.
Yura diam masih mencerna maksud perkataan Radika. Radika mengecup kening Yura. Radika memberikan cangkir cokelat ke Yura. Yura meminum sendiri cokelatnya. Radika mengambil kunci yang tadi terpental di kolong kursi. Kemudian ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Polisi-polisi masuk dengan heran. Radika diam tidak menjelaskan apa-apa
“Gadis ini namanya Yura. Dia autis, yatim piatu. Dia sekarang dalam tanggung jawabku, akan pulang bersamaku ke rumahku. Kalian bisa tangkap Radika sekarang,” terang Ferdiansyah. Polisi-polisi masih penuh tanda tanya, tapi mereka lekas memborgol Radika. “Bawa Radika!” perintah Ferdiansyah.
“Tunggu!” seru Radika. Radika menghampiri Yura dan mengecup kening Yura. Ferdiansyah lekas menghalau.
“Dia sekarang tanggung jawabku. Untuk menyentuhnya kau harus menghalalkannya!” tegas Ferdiansyah.
“Saya sudah tertangkap, Pak. Tidak mungkin saya halalkan, tapi saya jauh darinya. Sama dengan saya memberikan penderitaan sama dia meskipun dia tidak mengerti,” kata Radika.
“Jika kau benar-benar sayang sama dia dan mau bersamanya kita bisa membuat kesepakatan lain,” kata Ferdiansyah.
“Maksud Anda, Pak?” tanya Radika tidak paham.
“Lain waktu! Sekarang ikut saja dahulu!” tegas Ferdiansyah.
“Saya hanya mau mengingatkan ada anggota Anda yang saya masukkan ke dalam toilet di dapur saya,” terang Radika. Radika dibawa pergi. Yura mengikuti. Salah satu polisi pergi ke dapur.
“Ladia au mana?” tanya Yura sembari mengikuti Radika. Ferdiansyah juga ikut ke depan.
Di depan rumah Radika ada truk polisi. Radika dibawa naik ke truk itu. Truk jalan. Yura terbelalak.
“Ladia ... Ladia!” teriak Yura. Yura mengejar truk itu. “Ladia ... Ladia ...!” Ferdiansyah mengikuti langkah Yura. Ferdiansyah menahan kedua lengan Yura agar tidak lari lagi.
“Yura mulai sekarang kau tanggung jawabku! Saya janji akan memperlakukan kamu sama seperti saya memperlakukan anak-anak saya,” ujar Ferdiansyah bersungguh-sungguh.
“Ladia ... Ladia ...! Ladia ak leh gi! Ladia ... Ladia ....” Yura merengek hingga menangis lagi. Seorang polisi yang menemukan boneka Yura yang jatuh di gang sempit menunjukkan boneka itu ke Yura. Yura menjadi berhenti menangis dan berbinar.
“Bi! Ula unya ua bi!” Yura lari masuk ke dalam rumah Radika. Ferdiansyah ikut masuk ke dalam.
Yura mengambil barbienya yang satu lagi yang jatuh di lantai.
“Ua bi!” Yura memainkan dua barbienya. “Ladia blikan Ula ua bi,” terang Yura. Yura melanjutkan main barbie. Ferdiansyah mengusap lembut puncak kepala Yura.
Polisi yang ke dapur keluar sembari memapah rekannya yang tertembak kakinya.
Selesai.
Terima kasih :)
Season 2. The Runaway Pulau Terpencil