Try new experience
with our app

INSTALL

Pijar & Langit 

Membahagiakan Pijar

Menjalani hidup bersama Pijar hingga tua nanti. Tentu saja aku bersedia… aku amat menyayangi Pijar dan ia adalah bagian penting dalam hidupku. Tapi sepertinya namanya: Pijar adalah percikan nyala merah, kekuning-kuningan karena panas atau terbakar. Pijar amat impulsif. Dia tidak suka dirinya bertanya-tanya dan berada di dalam ketidakjelasan.

Dia ingin kami menikah cepat dan ini sering sekali membuat pertengkaran di antara kami. Aku belum siap, aku belum mau. Entah kenapa… apa karena aku tidak mencintai Pijar? Aku hanya terbiasa dengan keberadaannya, aku hanya ingin kisah ini berakhir bahagia, aku hanya ingin dia tetap ada tanpa memberikan beban padaku. Perbedaan keinginan antara aku dan Pijar seringkali membuat kami bertengkar. Aku sering diam, menunggu emosinya mereda, mungkin sampai berhari-hari. Aku selalu menghindari pertengkaran. Ya siapa sih yang suka bertengkar? Tapi berbeda dengan Pijar. Ia akan terus mencecar sampai dia mendapatkan jawaban.

“Aku di depan apartemen kamu,” begitu chat Pijat setiap saat kami bertengkar. Bayangkan, seberapa jauhnya aku, dia selalu bisa mendatangiku. Dia pernah nekat ke rumahku, ke indekos aku di Yogyakarta--padahal dia tinggal di Bekasi--bahkan ke apartemenku yang berada di Fatmawati Jakarta Selatan hanya untuk menyelesaikan pertengkaran kami.

“Kamu sekarang sudah mendapat pekerjaan, apa lagi yang harus aku tunggu Lang? Orang tua juga sudah tanya terus, sudah setahun sejak kamu menemui mereka. Tolong bantu aku jawab mereka,” ujar Pijar sambil menatapku penuh tanya.

“Aku baru sebulan kerja juga.”

“Ya terus? Harus setahun, dua tahun? Ada lagi alesannya buat bikin aku nunggu kamu?”

Aku terdiam mendengar pertanyaan Pijar.

“Aku menemani kamu di setiap proses yang kamu jalani Lang. Waktu itu bahkan aku menemani kamu di malam wisuda S-2 kamu, juga menemani kamu membuat presentasi untuk melamar pekerjaan. Apa sekarang udah saatnya kamu membuang aku? Karena prosesnya sudah selesai?”

“Jangan ngaco. Gak mungkin aku membuang kamu, Jar.”

“Lalu?”

“Ya sudah, aku akan bicarakan ini ke orang tua aku.”

Setidaknya, ucapanku membuat Pijar tenang. Sekarang aku tinggal dan bekerja di Jakarta, dan rumah orangtuaku berada di Bekasi. Setiap minggu, aku selalu pulang ke kota tersebut untuk menanyakan soal hubunganku dengan Pijar. Tentu saja orang tuaku tahu soal Pijar. Mereka tahu bahwa kami berhubungan sejak SMA, mereka pun mengizinkan ketika aku meminta mereka tak datang di wisuda S-2-ku. Aku lebih memilih ditemani Pijar.

“Mama Papa ok kita menikah. Tapi kan kemarin Masku baru menikah. Pernikahannya juga besar banget. Tolong beri mereka napas dulu ya.”

“Mama ga masalah kita menikah tahun ini.”

“Mama minta aku nabung dulu. Kamu sabar ya? Kita datang ke pameran rumah ya. Aku pengen tunjukin ke Mama bahwa aku akan bisa menopang hidup kamu, Pijar.”

Kira-kira begitulah ucapanku setiap minggunya pada Pijar, dari Desember 2019, hingga Maret 2020. Rupanya hal itu membuat Pijar tersenyum dan tidak rewel lagi, karena menurutnya, itu adalah perkembangan. Aku senang sekali membahagiakan Pijar. Tapi entah kenapa… hatiku terasa gelisah, tak enak. Aku merasakan satu hal yang kian hari kian tebal: Beban.


***