Contents
Perempuan Yang Hatinya Terluka
Perempuan Rapuh Yang Ku Cinta (Neo Pada Jeje)
Jarak yang ia mau, aku akan ciptakan. Jika jarak itu adalah langkah lain untukku bisa bersama dia lebih lama nantinya, maka aku siap membuat sejauh apapun jarak yang ia mau. Ia, perempuan rapuh yang ku cinta.
***
Senja itu, 5 tahun yang lalu aku bertemu dengannya. Seorang perempuan dengan sorot mata yang tak biasa. Ia hanya diam meski aku menatapnya, lalu kami terhanyut beberapa saat dalam tatap penuh keheningan.
Jujur, aku keheranan. Hatiku seketika merasa tak karuan, hatiku merasakan sesuatu yang tak mampu aku jelaskan setelah melihat sorot matanya. Mataku terus menerus mencoba menelisik masuk, jauh kedalam sorot matanya yang seolah bicara, memohon diselamatkan dari lelahnya berada dalam lara.
Pernahkah kamu merasa, bahwa ada seseorang yang meski baru pertama kamu melihatnya tapi rasanya begitu akrab? Saat pandangan matamu bertemu dengannya, duniamu serasa berputar dan hatimu seolah langsung berikrar dia adalah seseorang yang ditakdirkan untukmu. Jantungmu pun berdetak sungguh cepat seolah sedang mengikuti kejuaraan lari.
Lalu, hanya dengan beberapa menit mencermati pandangan matanya, aku seketika tahu bahwa dia adalah seorang perempuan rapuh. Perempuan yang hendak aku jaga dalam kehidupanku untuk aku berikan kebahagiaan hingga tak ada lagi lara mengendap untuknya.
***
“Mendung loh, Kayanya mau hujan deras. Pake ya. Nanti kamu sakit”. Ucapku seraya memberikan payung hitam kepada perempuan yang baru saja bangkit dari salah satu makam dengan nisan bertulis nama Mora, yang diatasnya sudah bertabur bunga warna warni.
Aku dan dia hanya berjarak beberapa blok. Aku pun harus sedikit mendorong tubuhku kearahnya karena terhalang blok makam demi menyodorkan payung hitam milikku yang ukurannya sebenarnya pas untuk 1 orang saja. Sejenak ia menatapku, terpaku.
Tatapanya itu, entahlah membingungkan tapi membuatku menunggu. Menunggu kata apa yang akan terucap dari bibirnya. Entah kenapa aku sangat menantikan untuk mendengar suaranya.
“Ketemu perempuan di makam, senja begini. Lihat lagi baik-baik. Siapa tahu perempuan jadi-jadian! Mungkin hantu pemakaman”. Ucapnya dengan wajah datar, lalu melangkah pergi.
Jlegaar!! Suara petir saling bersahutan. Aku tertegun menatap punggungnya yang menjauh. Anehnya, aku tersenyum mendengar jawaban perempuan itu. Menurutku lucu. Akhirnya aku putuskan untuk mengikutinya, sampai rintik hujan pun perlahan turun dan aku kian cepat mengikuti perempuan itu dengan payung yang kini telah aku buka. Aku tak ingin ia kuyup kehujanan.
“Tuh, hujan kan. Kebetulan banget aku bawa payung walaupun di ramalan cuaca nggak dibilang mau hujan hari ini”. Aku dengan sok dekat langsung saja memayunginya dan tanpa menatapku ia terus melangkah, aku terus menyamakan langkahku dengannya. Ia berbelok ke kanan, padahal mobilku arahnya disebelah kiri, tapi langkahku seolah tak ragu mengikutinya. Aku terus memutuskan untuk mengikutinya.
“Kebetulan banget juga ya, aku juga mau kearah sini”. Aku terus berusaha mengajaknya bicara. Aku menggeser payungku lebih lebar kearahnya agar tak ada bagian tubuhnya yang basah.
Lalu, ia berhenti mendadak. Aku pun turut mengikuti langkahnya. Set! Wajahnya kini menghadap wajahku. Wah, perempuan ini, iya perempuan ini entah bagaimana aku harus mendeskripsikannya. Perempuan ini sungguh membuat jantungku lari sprint dengan wajah datar dan sikap dinginnya.
“Jangan mengatasnamakan kebetulan dengan hal-hal yang dibuat sendiri.” Ia mengambil payungku lalu melangkah pergi dan meninggalkanku.
Bodohnya, yang ku lakukan hanya termenung dibawah hujan karena terpesona dengan sosok perempuan yang belum aku tahu namanya ini, namun entah mengapa aku percaya pada konsep kebetulan itu ya memang bukan kebetulan. Kebetulan adalah kata tersimple untuk mendeskripsikan rencana tuhan untuk membuat suatu rencana bagi umatnya.
***
2 minggu berlalu.
Hatiku masih terus berdebar setiap kali aku mengingat wajah perempuan itu sampai akhirnya di suatu siang, di hari pertama aku menjalankan magang di rumah sakit jiwa swasta Jakarta. Aku bertemu lagi dengan perempuan itu. Aku cukup kebingungan melihatnya mengenakan pakaian pasien rumah sakit ini.
“Hei!”. Sapaku untuk menghentikan langkahnya.
Perempuan itu menoleh, ia mengernyit melihat sekeliling seolah memastikan kalau aku berada ditempat yang benar atau ia berada ditempat yang benar. Aku sadar dari pandangan matanya, aku sendiri terheran.
Entah kenapa tempat pertemuan kami tak biasa. Pertama di makam, kedua dirumah sakit jiwa. Anehnya aku senang dan aku semakin berkeyakinan bahwa kami mungkin terikat takdir yang unik berdasarkan tempat-tempat pertemuan kami.
“Kamu…”
“Kenapa? Kaget ketemu hantu makam dirumah sakit jiwa?”. Wajahnya masih datar, lalu…
“Jeje!”. Dokter Riana, direktur rumah sakit ini memanggil perempuan itu, ia langsung mengenaliku sebagai dokter magang yang baru memulai masuk hari ini dan memperkenalkan aku pada Jeje.
***
Aku terdiam menatap langit malam dari rooftop rumah sakit. Hatiku remuk usai mendengar tentang Jeje yang memang aku kulik sendiri melalui Dokter Riana yang ternyata adalah ibu angkat Jeje.
Pantas saja jantungku berdebar begitu keras melihat sorot mata penuh lara itu. Perempuan ini menghabiskan sebagian besar kehidupannya untuk bertarung dengan luka, belum lagi saat melihat rekam medisnya. Ah, hatiku benar-benar begitu sakit.
“Ini tempatku, jangan diambil! Sana pergi!”. Suaranya membuyarkan lamunanku. Jeje sudah duduk disebuah bangku panjang sambil memantik rokok.
Aku memutuskan duduk disebelahnya. Aku pandangi wajahnya cukup lama. Biasanya gadis-gadis yang diperlakukan seperti ini akan jadi salah tingkah karena malu atau bilang jangan inni jagan itu, tapi Jeje. Dia malah terus asik menikmati menghisap rokoknya dan menyodorkanku kotak rokok.
“Gapapa ambil kalau mau”.
“Aku gabutuh ini”. Jelasku sambil mendorong lagi bungkus rokok itu padanya.
“Oh! Oke, aku tau”.
Jeje sedikit menggeser badannya, ia kini menghadap wajahku, ia memandangiku sejenak lalu. Set!! Wajahnya mendadak mendekat dan bibirnya telah mendarat dibibirku. Jeje mengecup bibirku.
Deg! Lagi lagi perempuan ini memberiku respon tak terduga. Setelah ia menjauhkan wajahnya dan aku sejenak termenung, ia tertawa.
“Jangan jatuh cinta sama aku! Aku bukan perempuan baik. Itu bukan hadiah, itu peringatan. Aku lihat wajah kamu lumayan, tapi ternyata ciuman tadi nggak bikin hatiku bergetar.”
Aku makin dibuat speechless dengan aksi dan reaksi yang dia ciptakan itu. Namun aku senang, malam ini adalah malam awal aku bisa sedikit banyak memahaminya secara langsung.
***
Suatu hari, aku melihat episode skizofrenianya datang karena kesalahanku. Aku tak mampu mengontrol emosi Jeje tetap stabil. Aku terlalu fokus membahagikannya sampai lupa kalau bahagia berlebihan pun tak sehat bagi Jeje. Ku lihat bagaimana ia begitu hancur karena bahagia yang aku berikan. Aku kira senyuman yang ia punya bisa aku nikmati selamanya.
Aku sungguh berterimakasih pada Jeje, pada kehidupan serta luka Jeje yang karena aku mengetahuinya, aku mampu mengenal dan merasakan pengalaman mencintai seseorang dengan sepenuh hati dan membuat aku tersadar bahwa pilihan hidupku menjadi dokter bagi jiwa orang lain itu adalah sebuah hal mulia.
***