Try new experience
with our app

INSTALL

Ayam Jantan Berkokok Cinta 41-66 

42. Tragedi

"Kukurikuuuuk ... kukurikuuuuk ... kukurikuuuuk ... kukurikuuuuk!" 

 

Werkudara Bumi Legawa. Iip, Lisita, dan Tuan Buyung langsung mengangkat kedua telapak tangannya untuk berdoa dalam hati masing-masing. Tuan Royal ikut-ikutan. Suci juga ikutan. Pak Werkudara yang tidak mengerti juga ikutan. Kemudian semua yang hadir melihat mereka seperti berdoa juga jadi ikutan berdoa.

 

***

 

Sofi pergi setelah menyapa Iip yang telah saling memasangkan cincin engagement dengan Lisita. Iip tidak mengejar Sofi, karena menurutnya akan percuma jika menjelaskan saat itu juga, karena Sofi yang sedang emosi pasti tidak akan mau mendengarkannya. Pada saat itu, hadir pula Tuan Royal, Tuan Buyung, dan Pak Werkudara. Setelah acara selesai, Lisita membagikan uang kepada para extrasnya, termasuk Suci, yang berkat mereka, acara engagement pura-pura itu berhasil sukses. Tuan Royal, Tuan Buyung, dan Pak Werkudara otomatis terbelalak ternganga demi menyaksikan jika itu hanya pura-pura. Selanjutnya mereka semua makan-makan, beraneka makanan yang telah dimasak cukup banyak. Pada saat itu, berlangsung pula engagement nyata antara Tuan Royal dan Lisita. Makanan yang masih sangat banyak sebagian dibawa pulang oleh yang hadir termasuk Pak Werkudara dan Tuan Royal. Selebihnya makanan-makanan itu dibagikan kepada warga miskin yang ada di sekitar rumah Tuan Buyung. Selesai acara Tuan Royal berduan dengan Lisita. Tuan Buyung tidak ke kantor lagi. Pak Werkudara pulang ke rumahnya.


 

Setelah acara itu benar-benar selesai, Iip mencoba untuk menghubungi Sofi melalui pesan WA. Tidak mendapatkan balasan ia mencoba lagi dengan Vidio call WA. Lagi-lagi tidak ada tanggapan sampai beberapa kali mencoba video call.


 

"Dia teh pasti hancur hatinya. Apa dia masih akan gelem menerima abdi?" benak Iip sedih dan khawatir kehilangan Sofi. "Apa yang iso abdi lakukan untuk meluruskan iki?" bingung Iip. "Sing pasti abdi kudu ketemu kalian Neng Geulis Ayu Sofi!" Iip bergegas pergi ke rumah Sofi.


 

"Tuan boleh abdi ngampil mobilnya sebentar eh tapi mungkin lama?" tanya Iip.


 

"Iya, pakai saja Iip!" kata Tuan Buyung.


 

"Matur terima kasih, Tuan!" ucap Iip semangat.


 

"Memang kamu mau ke mana?" tanya Tuan Buyung. Iip terkejut dengan pertanyaan itu dan ia pun bingung mau jawab apa.


 

"Mau ke rumah Sofi, Tuan," jawabnya jujur dengan malu-malu.


 

"Ada saksinya Pak Werkudara, kamu bisa minta tolong papanya untuk menerangkan kenyataan sesungguhnya," saran Tuan Buyung.


 

"Insya Allah akan saya coba saran dari Tuan," ujar Iip.


 

"Ya sudah sana segera pergi, jangan biarkan masalah menjadi berlarut-larut, apalagi membuat sedih dan hancur hati seorang wanita, tidak baik, buruk sekali itu!" kata Tuan Buyung.


 

"Berarti saya teh sudah jahat ya Tuan Buyung?" tanya Iip.


 

"Iya tapikan kamu tidak bermaksud jahat. Sudah sana pergilah!" kata Tuan Buyung. Iip salim ke Tuan Buyung


 

"Assalamualaikum!" ucap Iip.


 

"Waalaikumsalam!" jawab Tuan Buyung.


 

"Oh, iya klambi Tuan Werkudara dereng dikembalikan! Sekalian deh!" Iip teringat baju Pak Werkudara yang dipinjamnya. Tuan Buyung hanya memandangnya heran kok pakai pinjam baju Pak Werkudara segala, tapi ia tidak bertanya. Iip mengambil dahulu baju itu baru ia pergi.


 

Iip pergi ke rumah Sofi dengan menyetir mobilnya cukup kencang, karena ia takut dan cemas kehilangan Sofi. Sementara itu Sofi sedang menangis sangat hancur di dalam kamarnya. Sesampainya di rumah, Pak Werkudara mengintip untuk memeriksa kondisi putrinya. Ia pun menjadi tidak tega melihat kesedihan Sofi. Ia bingung apa yang harus dilakukan untuk membahagiakan putrinya. Putrinya tampaknya sudah sangat dalam menyukai Iip.


 

Beberapa saat kemudian, Iip telah sampai di depan rumah Sofi. Sesampainya di depan rumah Sofi, ia merasakan dua rasa takut. Ia takut dengan Pak Werkudara saat melihat mobil yang biasa Pak Werkudara gunakan yang menandakan Pak Werkudara juga sedang ada di rumah. Ia juga takut Sofi tidak mau lagi bersamanya. Ia memberanikan diri sembari membawa pakaian Pak Werkudara. Gemetaran ia membuka gerbang yang sudah sedikit terbuka, hanya saja kurang pas jika ia lewati.


 

"Ora muat kegenjet abdi!" katanya lalu membukanya sedikit lagi baru ia masuk.


 

Dengan grogi ia mengetuk pintu rumah Sofi. Beberapa kali mengetuk ia melihat ada bel rumah menempel tidak jauh dari pagar yang ia buka sedikit lagi itu.


 

"Eh, enten bel! Pencet waelah!" Iip memencet belnya. Ia memencet bel itu berulang kali karena groginya.


 

Pak Werkudara yang membukakan pintunya. Ia pun terbelalak melihat ternyata Iip yang memainkan bel rumahnya.


 

"Hei, saya pikir siapa mainan bel seperti anak kecil!" seru Pak Werkudara mengejutkan Iip sampai berjingkat. "Kamu anak kecil, kok suka sekali mainin bel rumah?"


 

"Anu anu saya teh, abdi teh, mau ... mau miki eh maksudnya niki!" Iip memberikan baju Pak Werkudara kepada Pak Werkudara.


 

"Loh inikan baju saya? Kok bisa ada sama kamu?" heran Pak Werkudara.


 

"Em anu kapan hari terjadi tragedi, jadinya saya teh ngampil baju panjenengan," terang Iip.


 

"Apa, tragedi? Apa maksud kamu? Tragedi apa?! Kamu sudah lakukan apa sama putri saya?! Putri saya itu lulus SMA saja masih menunggu pengumuman, kamu jahat sekali merusaknya! Kamu harus tanggung jawab atas semua yang kamu lakukan sama putri saya!" Pak Werkudara marah besar karena menduga macam-macam.


 

"Merusak, naon maksudnya Tuan teh? Saya ora merusak Neng Geulis Ayu Sofi! Tuan Werkudara teh paham salah!" kata Iip.


 

"Paham salah apa?! Kamu sudah merusak putri saya dan kamu juga menghancurkan hati putri saya!" marah Pak Werkudara.


 

"Tuan Abdi teh mboten merusak Neng Geulis Ayu Sofi. Mana mungkin abdi setega itu kalian Neng Geulis Ayu Sofi. Tuan teh bisa tanglet kalian Neng Geulis Ayu Sofi. Terus abdi teh tidak maksud menghancurkan hatinya. Abdi teh cuma tulung Nona Bidadari Lisita. Tuan Werkudara juga tahu sendiri tadi," terang Iip.


 

"Saya tidak percaya sama kamu! Kamu hanya alasan untuk menghindari tanggung jawab! Gara-gara acara pura-pura yang tadi, putri saya menangis sangat sedih! Kalau kamu tidak tanggung jawab, akan saya laporkan ke polisi!" marah Pak Werkudara masih berlanjut.


 

"Tuan Werkudara, kalau saya mboten tanggung jawab, saya henteu ke sini! Abdi ke sini bade tanggung jawab, bade menjelaskan, bade meluruskan, bade ketemu kalian Neng Geulis Ayu Sofi, tapi kalau Tuan Werkudara izinkan," kata Iip.


 

"Apa, kamu mau bertemu sama putri saya?! Tidak bisa!" larang Pak Werkudara.


 

"Katanya tadi teh disuruh tanggung jawab? Ya wis terserah kalian Pak Werkudara, kalau tidak boleh saya kembali saja. Nih bajunya matur suwun!" Iip memberikan bajunya ke Pak Werkudara. Pak Werkudara menerima bajunya. "Assalamualaikum!" pamit Iip. Iip melangkah ke luar dari pagar.


 

"Aduh tragedi, kalau Iip tidak tanggung jawab terus bagaimana dengan Sofi?" benak Pak Werkudara berpikir, karena ia masih menduga macam-macam. "Tunggu, kamu tidak boleh pergi, kamu harus bertanggung jawab!" seru Pak Werkudara saat Iip sudah mau naik ke mobil Tuan Buyung.


 

"Abdi di suruh balik pulang rumah Tuan Buyung apa balik ke rumah Tuan Werkudara?" tanya Iip memastikan panggilan Pak Werkudara.


 

"Balik ke rumah saya! Cepat masuk!" tegas Pak Werkudara. Iip segera kembali masuk ke halaman rumah Sofi. "Masuk ke dalam dan luruskan soal yang tadi!" perintah Pak Werkudara. Iip ragu mau masuk rumah. Pak Werkudara segera menyeretnya masuk.


 

Pak Werkudara menyeret Iip masuk sampai di ruang tamu. Kemudian memaksanya duduk sampai ia duduk dengan terjungkal-jungkal.


 

"Tunggu, akan saya panggilkan Sofi!" kata Pak Werkudara. Iip mengangguk.


 

"Sofi ada Iip, ia mencari kamu!" panggil Pak Werkudara di depan kamar Sofi.


 

"Suruh Kak Iip pergi, Pa! Buat apa ia mencari Sofi? Kak Iip kan sudah menjadi milik Nona Bidadari Lisita!" kata Sofi. Pak Werkudara memutuskan masuk ke kamar Sofi. Ia mengusap lembut puncak kepala Sofi.


 

"Sofi, acara yang tadi itu bohongan! Papa saksinya! Papa tadi juga ada di sana! Setelah acara selesai, waktu kamu sudah pergi, ternyata semua itu hanya pura-pura, Nak! Para tamu itu hanya tamu bohongan. Mereka dibayar oleh Nona Lisita. Nona Lisita akhirnya tunangan sungguhan dengan ....," terang Pak Werkudara tapi belum selesai.


 

"Beneran tunangan dengan Kak Iip kan, Pa?" potong Sofi.


 

"Iya, Nona Lisita beneran tunangan tapi dengan Tuan Royal, rekan bisnis Tuan Buyung, bukan dengan Iip sopirnya," terang Pak Werkudara. Sofi cukup terkejut dengan keterangan itu.


 

"Nona Bidadari Lisita sama Tuan Royal bukan dengan Kak Iip, Pa? Kak Iip sopir Nona Bidadari Lisita, Pa?" tanya Sofi memastikan.


 

"Iya, Nona Lisita sama Tuan Royal. Kamu memang tidak tahu kalau Iip sopirnya Nona Lisita dan Tuan Buyung? Maka dari itu Papa tidak setuju, masak kamu sama sopir," kata Pak Werkudara.


 

"Itu berarti masih ada harapankan Pa, Sofi sama Kak Iip? Kak Iip masih ada di rumahkan, Pa? Sofi mau dengar sendiri dari Kak Iip!" Sofi menghapus air matanya dan lari ke depan.


 

Sofi melihat Iip sedang duduk menunggu di sofa ruang tamunya. Sofi melangkah mendekati Iip.


 

"Kak Iip!" sapa Sofi sembari mendekati.


 

"Neng Geulis Ayu Sofi!" Iip berdiri menyambut kedatangan Sofi. Ia mendekat ke Sofi. Ia menghapus air mata Sofi yang masih tampak membasahi pipi Sofi. "Aduh maaf ini teh salah abdi, tapi sungguh abdi teh tidak ada maksud membuat Neng Geulis Ayu Sofi jadi sedih apalagi sampai seperti ini," ucapnya sembari menghapus air mata Sofi sampai benar-benar wajah Sofi kering dari air mata itu.


 

"Kata papa Sofi, yang tadi Kak Iip dan Nona Bidadari Lisita cuma pura-pura, apa benar?" tanya Sofi.


 

"Papanya Neng Geulis Ayu Sofi udah cerita kalian Neng Geulis Ayu Sofi?" tanya Iip. Sofi mengangguk. "Iya, leres, tadi teh memang cuma pura-pura, supaya Nona Bidadari Lisita teh mboten digangguin lagi kalian Dil Codil Codil. Soalnya Dil Codil Codil berjanji henteu deui menggangu Nona Bidadari Lisita lagi kalau sudah tunangan kalian abdi. Dil Codil Codil itu yang menjebak abdi kalian kamu ke hotel sampai kita harus menghilangkan aneh-aneh dengan merusak perut segala. Soalnya bade membuktikan sama Nona Bidadari Lisita kalau abdi teh punya kamu, biar Dil Codil Codil bisa memiliki lagi Nona Bidadari Lisita," terang Iip. Sofi mengangguk memahami. "Ngapura, abdi udah ndamel hati Neng Geulis Ayu Sofi hancur, sakit, sedih sampai menumpahkan cimata," ucap Iip.


 

"Sofi yang minta maaf, karena selalu tidak percaya dengan Kak Iip," ucap Sofi.


 

"Neng Geulis Ayu Sofi teh mboten salah," kata Iip. "Neng Geulis Ayu Sofi masih maukan bersama abdi?" tanyanya kemudian. Sofi mengangguk tersenyum.


 

"Sofi mau bersama Kak Iip!" ujar Sofi.


 

"Papa mau tanya sama kamu Sofi, kapan tragedinya terjadi? Kapan kalian melakukannya?" tanya Pak Werkudara.


 

"Tragedi apa maksud, Papa? Kami melakukan apa? Apa maksudnya, Pa? Sofi tidak mengerti maksud, Papa. Apa maksudnya bertemu, Kak Iip? Kalau bertemu Kak Iip sejak saat Sofi ke rumah nenek. Sejak pertama datang, lalu di pasar, lalu pulang ke Jakarta bersama naik busnya. Kak Iip juga yang menyelamatkan Sofi waktu itu saat Sofi disekap perampok, dan mau dijual sama perampoknya, Pa," terang Sofi.


 

"Apa sejak di desa kalian sudah bertemu? Apa tragedinya sejak di desa juga?" tanya Pak Werkudara dengan terkejut. Sofi semakin bingung dengan pertanyaan Papanya ke arah mana. 

"Pokoknya Papa mau cek kamu ke rumah sakit sekarang! Papa mau kamu divisum!" ujar Pak Werkudara dan sukses membulatkan mata dan membuat menganga mulut Sofi dan Iip secara kompakan.