Try new experience
with our app

INSTALL

Perempuan Yang Hatinya Terluka 

Bertahan Atau Selesai? (Jeje Pada Neo 2)

“Kita akhirnya sampai disini Je. Sampai disaat dimana kita dan hubungan ini butuh waktu untuk menentukan pilihan tentang bertahan atau selesai”.

“Neo..”. Aku hendak bicara tapi Neo meletakkan telunjuknya ke mulutku dengan lembut untuk menghalangi aku bicara lebih jauh. 

  “Aku tahu, sejak awal kita bersama, kamu nggak sepenuhnya menjatuhkan hati kamu untuk aku. Aku paham betul tentang bagaimana hati kamu sulit menjatuhkan rasa setelah semua yang terjadi dalam hidupmu, sehingga kebersamaan yang kita punya ini seringkali kamu pertanyakan untuk dipertahankan atau diselesaikan? Atau tentang pantas tidak pantasnya kamu bahagia”. Ucap Neo padaku seraya menatap jauh kedalam mataku  yang sudah mulai berkaca-kaca karena kata-kata Neo. 

Yang bisa aku lakukan hanya membatin. 

“Kamu salah Neo. Kamu salah! Rasaku sudah sangat jatuh padamu! Karena itu aku harus pergi, karena cinta yang aku miliki untukmu begitu berbahaya. Aku pasti akan melukaimu entah sengaja ataupun tidak.” 

“Boleh aku lanjut bicara?” Neo mengangkat wajahku yang kini tertunduk sedih. Aku tak sanggup lagi menatap matanya  atas kata pergi yang aku ucapkan.

“Iya..”, Jawabku lirih.

  “Aku nggak akan pernah mau kamu pergi, tapi jika jarak adalah salah satu cara untuk membuat kamu paham tentang apa itu bertahan atau selesai. Ayo, kita buat jarak itu sekarang. Yang perlu kamu tahu, aku akan selalu ada ditempat yang sama untuk kamu”. Neo menatapku dengan begitu tulus, tapi hatiku malah pedih! Sungguh miris! 

  Laki-laki ini, kenapa dia begitu mencintai aku? Kenapa dia sangat ingin bertahan mendampingi aku?. Apa benar kata dokter Riana tentang dalam hidup kita pasti akan datang seseorang yang dikirimkan untuk menjadi sosok yang mampu mengajari arti dari sebuah cinta sejati, meski cinta  juga yang telah membuat luka mendalam didalam hati.

“Neo, please! Sadar! Aku nggak mau diriku atau cinta buta kamu itu menyakiti kamu lebih jauh lagi.”

“Aku nggak pernah merasa kamu menyakiti aku. Aku..”. Aku tak bisa terus mendengarkan, aku harus menyela omongan Neo.

“Neo, buka mata kamu! Kamu lupa beberapa bulan yang lalu aku hampir bikin kita berdua terbunuh karena kecelakaan mobil? Saat episode histeriaku kambuh?”

“Itu bukan kamu!”, Bantah Neo.

  “Oke, kalau bukan aku siapa? Penyakitku? Penyakitku itu bagian diriku Neo. Inget-inget lagi. Kejadian tahun lalu, dipantai ini, dimana aku bikin kamu harus tenggelam malam-malam demi nyelametin aku? Itu nggak cukup juga untuk kamu yakin kalau aku bukan orang yang pantas terus dicintai sama kamu? Aku ini bisa kapan aja jadi pembunuh Neo! Untuk orang lain atau untuk diriku sendiri!”

“Je cukup! Kamu harus tahu, kamu nggak pernah nyakitin aku dan cintaku nggak pernah buta, karena aku bisa ngeliat semua ketulusan dan luka kamu karena cinta yang aku punya ini.” 

  Neo membelai lembut rambutku dan dengan perlahan ia menghapus air mataku yang telah jatuh menetes. Aku ternyata tak sanggup menahan tangis lebih jauh lagi. Neo akhirnya memelukku erat. Dingin malam dipantai itu kini berubah hangat karena Neo memelukku. Neo mengusap punggungku, membesarkan hatiku seolah memberitahu bahwa jarak untuk kebersamaan yang telah 5 tahun kami lewati itu, baik diawali dan diisi dengan cinta atau tidak itu bukanlah sebuah kesalahan. Neo lalu melepaskan pelukannya dan menatapku dalam. 

“Aku pergi. Kamu hati-hati, jaga kesehatan!”. Neo tersenyum lalu membelai lembut pipiku dan berbalik.

***

  Aku terus mempertanyakan 5 tahun apa yang aku miliki bersama Neo. Apa saja yang telah aku lakukan untuk membalas cinta Neo yang begitu besar. Belum lagi tentang kata dokter Riana yang memintaku untuk bertahan bersama Neo karena Neo adalah sosok nyata yang membawa mentalku kian pulih. Benar, cinta membuat sakit apapun sembuh, katanya. Buktinya episode-episode skizo yang harus aku hadapi tak lagi sesering dulu. Mimpi buruk yang biasanya menghantui, seringkali menghilang hanya dengan tidur disampingnya, menggenggam tanganya, memeluknya atau bahkan hanya dengan mendengar suaranya. 

  Tapi, entah mengapa hati dan kepalaku meminta untuk terus menelaah lebih jauh kedepan. Apakah jiwaku hanya memanfaatkan Neo untuk pulih? Apa luka telah bosan berada dalam diriku dan mencari jalan pintas untuk pergi melalui Neo? Apa aku pantas pulih setelah membunuh mama? Apa kebahagiaan yang aku rasakan saat ini nyata? Bagaimana jika Neo berubah? Apa aku akan jatuh lebih dalam pada luka? Aku terus mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Lalu akhirnya aku sempat memilih egois, membiarkan diriku memaklumi pikiranku sendiri dan bersembunyi dibalik sakit yang ku derita. 

  Terkadang, disaat aku berjalan tanpa arah, sendirian dan sunyi. Menikmati hembusan angin malam atau rintik hujan yang ku biarkan membasahi tubuhku, aku berpikir bahwa sakitku selama ini ternyata adalah tameng. Tameng bagiku berlindung dari dunia yang kejam. Tanpa tahu bahwa dokter Riana dan juga Neo selama ini mungkin miliki luka jauh lebih dalam dan penyebabnya adalah aku yang selalu kesana kemari pamer bagiamana terlukanya aku. Egois? Iya, tapi aku bisa apa? 

  Aku sadar, aku adalah perempuan rumit tak tahu diri. Aku pernah hancur berkeping-keping sampai akhirnya dokter Riana dan Neo menemukanku dan memberi kasih dan ketulusannya untukku. Mereka seolah menjadi plester bagi vas bunga yang pecah, dan vas itu adalah aku. 

Tapi bagi mereka, aku hanya perempuan rapuh yang mereka cintai.

Kini, aku harus memutuskan apakah bertahan atau selesai bisa menjadi salah satu pilihan terbaik.

***