Try new experience
with our app

INSTALL

Perempuan Yang Hatinya Terluka 

Hati Yang Terdalam (Jeje Pada Neo)

  Mereka bilang, ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuan, karena itu saat anak perempuannya jatuh cinta nanti, ayahnya yang akan mengajari tentang bagaimana cara menghargai cinta yang datang dalam kehidupan anak perempuannya. 

  Bagaimana dengan aku? Yang mereka istilahkan cinta pertama itu, tidak pernah sekalipun mengajari aku tentang cinta. Tidak pernah pula aku rasakan cintanya. Cinta pertama yang aku miliki hanya memberikan aku luka demi luka hingga sakitnya terlalu dalam. Pedih! Lantas, sekarang saat aku diminta berkenalan dengan cinta, apakah cinta mengobati atau malah menambah dalam luka yang ada? Apakah justru makin membuatku terendap dalam lara?

***

  “Mama, aku tahu. Mama mau aku hidup demi nyawa yang telah mama korbankan. Aku bertahan untuk selalu hidup demi mama, meski diriku sendiri terkadang ingin ku bunuh demi hidup disana bersama mama. Aku sadar karena kebodohanku mama harus meninggalkan aku.”

Aku terus memeluk nisan mama yang kini telah tampak usang.

“Ma, kalau hari itu aku tidak melakukannya. Apa saat ini kita sedang sama-sama? Dengan atau tanpa laki-laki yang begitu mama cintai itu. Aku bahkan tak sudi memanggilnya ayah ma. Jangan paksa aku ya ma”.

  Tempat pulang ternyaman yang selalu aku tuju adalah tempat ini, makam mama. Tempat aku merasa bahwa aku menemukan jati diriku. Hingga suatu hari ditempat ini, ditempat ternyamanku. Pertama kali aku bertemu dengan Neo. Laki-laki yang entah hatinya terbuat apa. Laki-laki yang tak pernah pergi meski aku mengusirnya berkali-kali dengan kata-kata paling pedas sekalipun. 

  Apa cinta yang disarankan oleh dokter Riana adalah cinta dari laki-laki ini? Cinta seperti ini? Cinta dari seseorang yang sama sekali tak pernah mengeluhkan kondisiku bahkan meski ia tahu bagaimana kesehatanku serta masa lalu dan hatiku yang terluka.

***

“Makam memang tempat pulang semua orang kalau sudah meninggal Je, tapi aku kan belum. Jadi aku mau kamu jadi tempat aku pulang! Jadi rumahku ya?”. 

Rumah? Hal itu adalah hal menakutkan bagiku. Aku tak pernah merasa bahwa rumah adalah tempat pulang ternyaman setelah peristiwa 20 tahun lalu. 

  Dan.. Aku benci sikap ceria Neo dan hobby cengegesannya. Aku benci caranya mengajariku tentang kehidupan penuh cinta. Aku juga benci tentang bagaimana cara pandangnya terhadap perjuanganku hidup berdampingan dengan skizo-ku. Tahu apa dia? Tahu apa dia tentang luka yang aku punya dan kehidupanku? Namun entahlah. Neo selalu punya cara untuk membuatku tersadar kala aku melemah karena tubuhku yang tak bisa aku kendalikan karena episode-episode tersulit skizofrenia yang tak pernah bisa aku prediksi. 

  Tubuhku, pikiranku seolah bukan milikku sendiri. Tapi Neo, entah kenapa selalu mampu membuatku kembali. Genggaman tanganya, peluknya dan sorot matanya selalu hangat. Lalu jiwaku. Ya, jiwaku ini entah mengapa seolah mengingat semuanya.

  Hatiku sadar aku mungkin telah mencintai Neo, tapi logikaku berkata lain. Aku tak boleh jatuh cinta pada Neo. Cinta bukan sesuatu yang pantas untuk aku yang telah melenyapkan orang yang paling aku cintai di dunia ini. Mama! Mama seseorang yang ku cintai dan aku membuatnya terbebani karena harus melindungiku. 

*** 

  “Selamat Neo, meski aku tak pernah bicarakan ini tapi kamu pasti sadar bukan? Bahwa kamu telah berhasil masuk kedasar jiwaku yang terdalam dan menghancurkan dinding pertahanan yang puluhan tahun telah aku bangun, agar aku tak bergantung pada orang lain, tapi aku sadar bahwa rasa yang aku miliki adalah racun untukmu Neo. Aku tak bisa bertahan dalam rasa seperti ini. Mungkin, pergi adalah pilihan tepat daripada mengucap kata selesai dihadapanmu”. 

***