Contents
Lelaki Jahanam
Enam
Napas gadis kecil tersengal. Rambut kucir duanya basah oleh keringat. Dia hanya memakai kaus tanpa lengan dan celana dalam putih. Sekarang warnanya berubah kecoklatan pada bagian pantat. Baru saja Tia terpeleset di pematang sawah. Hujan siang tadi membuat jalan tanah berlumpur menjadi licin.
Suara Emaknya yang berteriak menyuruh berangkat ngaji masih terngiang. Tia paling malas kalau mengaji, gurunya galak. Suka memukul meja menggunakan antena televisi. Tia pernah kena sabet di telapak tangan. Dia ramai bercanda bersama teman-temannya. Kapok tak mau berangkat ke surau sampai sekarang.
Nyaris setiap sore dia melarikan diri kalau disuruh mengaji.
Mata bening itu terpejam menahan denyutan pada pergelangan kaki. Tia mencoba berdiri dari posisinya, gagal! Tubuh kurusnya limbung dan terduduk di genangan lumpur.
Tia tidak bisa berjalan!
Jemari kecilnya menyentuh bagian yang sakit. Bengkak kebiruan mulai menyembul di sekitar tulang tungkai kaki yang menonjol. Pandanganya mengabur, isakan tersendat mengiringi sebelum ledakan histeris menggema. Sayang sekali keadaan sawah lengang. Semua orang sepertinya memilih beristirahat di rumah ketika hujan mengguyur.
Tia ketakutan. Suaranya sampai serak, tenggorokan sakit karena menangis hampir lima belas menit. Akhirnya gadis itu mencoba menggerakkan tubuhnya. Ia merangkak menuju rumah di ujung jalan. Menahan denyutan yang semakin menggila.
Sampai akhirnya sosok itu datang. Pemuda yang baru saja lulus SMU berderap ke arah Tia. Dia langsung menggendong tubuh kotor penuh tanah. Tak memedulikan baju harum yang ikut ternoda.
"Tia, kamu dari mana? Emakmu mencari dari tadi." Suara penuh kekhawatiran menyapa. Tia menyembunyikan wajah ke dalam dada penolongnya.
"Mas Zain, kakiku sakit." Tangisan meledak, ingus dan air mata membasahi kaus biru yang dipakai Zain.
"Stt ... Tenang, aku akan mengantarkanmu pulang."
Sepanjang jalan, Tia terisak. Ketakukan perlahan memudar, digantikan ketenangan. Zain, anak sulung Pak Karso pemilik motel dekat rumah Tia. Sayangnya, itulah terakhir Tia melihat pemuda idaman kampung. Kabarnya, Zain pergi merantau ke kota dan jarang pulang. Meskipun pulang, Tia tidak pernah beruntung melihatnya.
Sekarang, sosok yang sama berdiri tepat di depannya. Zain membuka pintu pagar. Terdengar suara besi beradu, lelaki bermata sendu itu mengambil kresek merah berisi baju.
"Terimakasih, Bu. Ini uang laundrynya." Zain mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantung celana. "Kembaliannya diambil saja."
Zain tak mengenalinya! Tia masih terpana.
"Ma-maaf, apa nyonya Dini ada?"
"Ada perlu apa?"
"Kata nyonya butuh pembantu. Saya menerima tawarannya."
Zain mengerjab, nampak memikirkan sesuatu. Bola matanya berputar pelan. Lalu wajahnya mengendur dan tersenyum.
"O, iya. Kalau begitu silakan masuk dulu. Istri saya sedang mandi."
Langkah itu tetap sama, panjang-panjang dan penuh percaya diri seperti berpuluh tahun lalu. Tia duduk di kursi plastik dekat pintu masuk. Bersyukur karena Zain tidak mengenalnya.
Terkadang, takdir memang tak pernah bisa diduga. Manusia tinggal menjalani dengan kejutan manis dan pahit yang sudah disiapkan.
Sepuluh menit kemudian, Dini keluar. Aroma sabun menguar dari kulit putihnya. Tanktop gelap dan celana jeans selutut membalut tubuh padat berisi.
"Gimana, Tia? Apa kamu menerima tawaranku?" Wajah Dini condong mendekat, Tia kagum dengan kulit yang masih kencang tanpa sedikitpun keriput. Hanya garis tawa yang tercetak jelas pada sudut bibirnya.
"I-iya, Nyonya. Saya sudah pamit dengan Bu Mini."
Dini tertawa, ia mengibaskan rambut kecoklatan yang menguarkan wangi.
"Semoga kamu betah. Mulai besok kamu bisa mulai bekerja."
"Terimakasih, Nyonya."
"Ayo ikut aku sebentar."
Dini berdiri, tangannya melambai kepada Tia yang masih mencerna kata-kata.
"Iya, Nyonya."
Tia berjalan di belakang Dini, menyusuri sisi kanan rumah. Tepat di depan air mancur buatan, Dini membuka pintu sebuah kamar. Mereka masuk, terlihat sebuah kasur lipat teronggok di sudut ruangan, kipas angin dinding pada sisi kanan. Sebuah kamar mandi mungil berpintu plastik berada di ujung kamar. Porselen putih mengkilap membuat kamar itu terlihat luas.
"Dulunya ini kamar pembantu. Suamiku yang merancangnya. Dia tak suka ada orang asing yang berkeliaran di dalam rumah. Kamu bisa menempatinya, Tia. Daripada kosong."
Tia menatap kasur lipat yang masih utuh dengan plastiknya. Sepertinya itu kasur yang bagus. Dia teringat putranya yang selalu tidur beralaskan karpet tipis. Pasti Aza akan senang tinggal di sini.
"Saya punya anak satu, Nyonya."
"Nggak apa-apa, Tia. Bawa saja anakmu ke sini. Oiya, tugasmu membersihkan seluruh ruangan dua kali sehari dan mengurusi baju-baju kotor sekalian cuci piring. Kalau semua sudah selesai kamu bisa beristirahat. Kerja jam 8 setelah suamiku berangkat ke kantor dan selesai jam 4 sore. Setelah itu bebas, kecuali kalau kupanggil."
"Iya, Nyonya. Saya akan berusaha sebaik-baiknya. Besok saya akan mulai kerja."
"Oiya, untuk keperluan makan dan kebersihan semua kamu tanggung sendiri."
"Baik, Nyonya."
Setelah dirasa cukup, Tia undur diri. Wajahnya berseri, ia merasa mendapatkan pertolongan yang sangat berarti. Bila hanya makan nasi dan tempe saja, ia yakin uang tabungan yang disisihkan akan cukup bertahan sebulan. Bulan berikutnya ketika menerima gaji pertama dari majikan baru, wanita itu akan mendaftarkan sekolah dan mengajak Aza makan ayam goreng terkenal. Seperti teman-temannya.
Harapan membuat langkah wanita itu semakin cepat. Bibirnya melengkung indah. Doanya selama ini akhirnya terkabul. Doa sederhana yang setiap hari digantungkan ke langit : membahagiakan Aza.
***
Tia membawa semua barang-barangnya. Satu tas pakaian digendong Aza. Satu tabung gas hijau kecil dan satu kardus berisi kompor kecil, beberapa piring plastik, sendok, wajan dan panci berjejalan di dalamnya. Dia membuang karpet yang sudah tak layak pakai.
Cicitan burung menemani langkah ibu dan anak itu menuju perumahan Pondok Nirwana Indah. Mereka disambut Dini dan suaminya dengan hangat.
Majikan perempuan Tia itu bahkan mencubit gemas hidung Aza.
"Ganteng banget anakmu, Tia. Dia pasti mirip bapaknya." Dini tertawa lebar. Aza tersipu. Bocah itu menunduk.
Dini berganti menatap suaminya, "ah, jadi kangen Abella. Kapan kita mengunjungi Abella, Mas? Putri kita satu-satunya yang memilih sekolah Boardingschool di daerah Malang."
"Bulan depan, Dik," jawab Zain singkat. "Ayo kubantu mengangkat ini ke dalam."
Tanpa ragu, Zain mengangkat kardus bawaan Tia dan meletakannya di dalam kamar. Setelah itu ia masuk, bersiap berangkat kerja. Dini mengikuti suaminya, meninggalkan Tia dan Aza yang masih mengatur napas.
Tia mengambil ransel dari punggung anaknya. Jemarinya meraih tangan hangat, membimbingnya masuk kamar. Mata Aza terbelalak melihat ruangan yang bersih. Cahaya matahari menerobos melalui jendela kaca dan pintu yang terbuka. Dia melepaskan sandal, berlari sambil merentangkan kedua tangan.
Menjatuhkan diri di atas kasur yang masih terlipat rapi. Beberapa menit berikutnya, bocah itu masih diam tak bergerak. Lalu dia menarik tali pengikat, membentangkan kasur selebar satu meter dan berbaring di atasnya.
"Ibu, ini nyaman sekali." Aza bergulung mengelingi kasur. Suara plastik beradu membuatnya semakin semangat. "Ibu, Sini."
Aza berhenti bergerak. Ia tidur terlentang, bocah itu menepuk kasur. Tia yang masih menata kompor bergegas mendatangi Aza. Ia tahu maksud anaknya. Perlahan, wanita itu membaringkan tubuh di samping Aza.
Bocah itu meringkuk, memeluk pinggang ramping ibunya. "Nanti malam pasti Ibu akan tidur nyenyak."
"Tentu saja, Sayang. Asalkan bersamamu, Ibu akan tidur nyenyak."
Aza merapatkan pelukannya.
"Aza, Insya Allah bulan depan ibu akan mendaftarkan kamu sekolah. Kita sekarang menumpang di rumah orang, Ibu harap Aza menjaga sikap. Nggak boleh nakal, mengerti?"
"Benarkah, Ibu? Yeey! Aku akan jadi anak baik, Bu."
"Alhamdulillah. Ini baru anak ibu. Selama ibu bekerja, Aza baik-baik di sini, ya. Jangan buat keributan."
"Siap!"
Kecupan lama mendarat di kepala Aza. Tia bersyukur mempunyai anak yang bisa membuat semangat hidupnya berpendar. Ia akan mencarin nafkah halal untuk menghidupi buah hatinya. Berpegang teguh pada nasihat Kyai Hasan yang selama ini membimbingnya.
Suara jeritan mengagetkan Tia. Tepat dari sebelah ruangan. Bunyi sesuatu dibanting terdengar jelas. Napas Tia memburu. Ia menepuk dada Aza yang berdegup kencang, menenangkannya.
Sebenarnya, apa yang terjadi?
***