Try new experience
with our app

INSTALL

Sri, Tok! Dia, Istriku ... 

Jalan-jalan ke Mall

Pov : Sri


 


 

\t"Tadi Mas ke Jawa Timur untuk melihat sesuatu."


 

\tDeg!


 

Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku terdiam. Apakah dia sudah tahu, kalau aku pelakunya?


 

\t"Sri?" panggilnya, karena aku tiba-tiba mematung. Kulihat kaus kakinya yang masih menggantung.


 

\t"Maaf, Mas," sahutku, segera melanjutkan kegiatan melepas kaus kaki di kedua kakinya. Selesai melepas sepatu, aku segera berdiri dan meletakkannya di sudut kamar. Aku berniat keluar untuk membuatkan kopi, tapi panggilannya menghentikanku. "Kenapa, Mas?"


 

\t"Coba duduk sini dulu!" Dia menepuk bagian kosong di sisinya.


 

\tAku menurut, mendekat dan duduk disebelahnya.


 

\t"Mas pengin cerita sesuatu."


 

\tDahiku berkeringat mendengar itu. Gugup dan takut,dia akan menceritakan hal itu.


 

\t"Sebelum kamu datang ke sini, aku pergi ke kampung halamanmu karena urusan pekerjaan. Di sana, seseorang telah merampas dompetku."


 

\t"Te-terus ...."


 

\t"Tadi Mas cek CCTV-nya."


 

\tJantungku semakin kuat bertabuh. Aku bersiap mendengar apa pun yang akan dikatakannya. Jika Mas Bagus tahu dan marah padaku, insyaallah aku rela, karena aku memang salah. Aku kembali mencoba memberanikan diri untuk bertanya, "Apa ... Mas kenal sama orangnya?" Sesekali punggung tangan mengusap dahi, mengelap keringat karena kegugupan ini.


 

\tMas Bagus tampak berpikir, membuat hatiku semakin tidak menentu. Kemudian dia menoleh dan menatapku lama. "Tidak," katanya cukup jelas. Aku menarik napas lega.


 

\t"Bukan tidak kenal, sih. Hanya saja, videonya cuma terlihat dari belakang."


 

\t"Oh."Alhamdulillah, ya Allah, ucap syukurku sembari memejamkan mata.


 

\t"Sebenarnya Mas bukan mau minta kembaliin dompetnya, tapi ada sesuatu yang cukup berharga di sana dan Mas cuma punya satu.Tidak ada gantinya."


 

\t"Kalau boleh tahu, apa Mas?" tanyaku, karena memang belum memeriksa semua isinya.


 

\t"Bukan apa-apa," jawabnya.


 

\tAku bersyukur dia belum mengetahuinya, karena aku berniat jujur sendiri suatu hari nanti, setelah benar-benar siap tentu saja. Namun aku jadi penasaran, barang apa yang dimaksud Mas Bagus? Setelah itu, Mas Bagus sepertinya tidak berniat kembali membahasnya.


 

\t"Mas, aku bikinin kopi dulu, ya."


 

\t"Sudah larut. Ndak usah Sri."


 

\t"Oh, ya sudah."


 

\tKini aku bingung harus bagaimana. Aku berdiri dan akhirnya memilih berbaring di ranjang. Sedangkan Mas Bagus langsung membersihkan diri di kamar mandi. Sementara dia mandi, tubuhku bolak-balik di kasur. Miring ke kiri salah, lalu berbalik menghadap ke kanan salah juga. Aduh! Akhirnya aku beringsut duduk. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku menoleh ke belakang, dan melihat guling tergeletak. Akhirnya kuambil dan kuletakkan di tengah kasur sebagai pembatas dan berbaring lagi. Dengan cara seperti ini, semoga dia mengerti kalau aku belum siap melewati malam pertama.


 

\tPintu terbuka, Mas Bagus keluar sudah memakai pakaian. Sepertinya dia paham kalau aku merasa tidak nyaman jika melihatnya hanya memakai handuk saja seperti kemarin. Dia melintas dan menoleh ke arah ranjang. Dipandanginya ranjang. Sepertinya dia memperhatikan guling yang telentang di belakang tubuhku cukup lama, lalu menatapku sekilas. Setelah itu, dia kembali melangkah menuju meja kerjanya.


 

\tAh, semoga dia tidak marah.


 

***


 

\tPagi-pagi sekali—setelah salat Subuh berjamaah bersama Mas Bagus, aku turun untuk menyiapkan sarapan. Semalam, aku tidur lebih dulu. Aku sempat terbangun dan melihat Mas Bagus sudah tidur di sampingku. Guling yang kujadikan pembatas, masih ada di sana sampai pagi ini. Sampai di dapur, ternyata sudah ada Mbok Jur yang tampak sibuk membuat sesuatu. Di meja makan, duduk Ibu sambil meminum secangkir teh hangat.


 

\t"Bu," sapaku setelah dekat.


 

\t"Nyenyak, Nduk, tidurnya?"


 

\t"Alhamdulillah nyenyak, Bu. Kita mau buat sarapan apa, Bu?"


 

\t"Goreng gemblong saja, Nduk. Itu makanan kesukaan Bagus, Karyo, sama Daro."


 

\t"Oh, iya. Kalau begitu saya goreng gemblongnya dulu."


 

\t"Wes to, kamu anteng saja di sini. Biar Mbok Jur yang gorengin."


 

\t"Saya ndak enak, loh, Bu, kalau cuma nungguin."


 

\t"Kamu itu, ya. Yo wes, kono dibantuin Mbok Jurnya," sahut Ibu Nur seraya tersenyum.


 

\tSelesai menggoreng gemblong, kuletakkan di piring dan menyusunnya di meja. Tidak lupa roti tawar dan berbagai macam selai juga sudah berjejer rapi di sana. Tidak berapa lama, semua anggota keluarga keluar dari kamar masing-masing.


 

\t"Hai, Bu," sapa Mbak Anin masih memakai baju tidur. Disebelahnya, Mas Karyo langsung duduk di kursi meja makan.


 

\tIbu hanya tersenyum tipis, kemudian menyusul Mas Daro dan Mas Bagus.


 

\t"Flora mana, Le?" tanya Ibu Nur.


 

\t"Masih tidur, Bu."


 

\t"Kenapa tidak dibangunin? Ajak ke sini untuk sarapan sama-sama."


 

\t"Bu, Flora semalam tidur larut. Biarlah dia tidur dulu. Dirumah, dia terbiasa bangun pukul 10 pagi," sahut Mbak Anin.


 

\t"Dia kan calon anak gadis, coba diajarin bangun pagi. Tidak baik juga tidur larut malam."


 

\tMbak Anin, hanya diam. Dia menarik roti lebih mendekat dan menoleh ke arahku. "Sri, tolong, dong, olesin selai stroberi di rotiku."


 

\tBaru saja akan kuambil, suara Mas Bagus menghentikanku. Raut wajahnya sudah berbeda. Sangat terlihat kalau dia tidak suka dengan sikap Mbak Anin padaku."Sri, ambilin gemblong di dekatmu buat Mas." Lalu dia menoleh ke arah Mbak Anin. "Maaf, Mbak. Tugas Sri itu melayani suaminya, bukan orang lain."


 

\t"Mas, saya ndak apa-apa."


 

\t"Kamu bilang ndak apa-apa, tapi Mas yang keberatan istri Mas melayani orang lain selain suaminya sendiri."


 

\tWajah Mbak Anin memerah. 


 

\tAku deg-degan melihat situasi ini. Segera kuambil gemblong dan memberikannya pada Mas Bagus, sementara Mbak Anin mengoles sendiri selai roti di tangannya. Mas Daro tersenyum sinis melihat ini, sementara wajah Ibu Nur cukup menegang.


 

\t"Alah, cuma oles selai saja diributkan," kata Mas Karyo santai sambil meminum kopi susunya.


 

\t"Bukan masalah oles selai, Mas. Cara Mbak Anin kurang sopan. Apa susahnya, sih, oles selai sendiri?"


 

\t"Dia sudah minta tolong, loh, Gus. Kurang sopan dari mana?"


 

\t"Mas, dia menyuruh Sri mengerjakan itu, sementara posisi roti dan selainya ada di dekatnya. Jauh dari jangkauan Sri."


 

\t"Dasar, kamu saja dilebih-lebihkan! Istriku itu sudah capek setiap harinya. Istrimu kan nganggur,tidak ada salahnya disuruh-suruh."


 

\t"Maksud Mas apa?"


 

\tBrak! Ibu Nur menggebrak meja yang membuat kami semua terdiam. "Cukup! Kita ndak jadi makan, kalau terus berdebat seperti itu!"


 

\t"Maaf, ini semua salah Sri, Bu. Saya naik ke atas dulu." Aku bergegas ke atas. Sungguh, aku merasa tidak enak. Sampai di atas, aku duduk di tepi ranjang sambil menangis. Beberapa saat kemudian, kurasakan kasur bergerak.


 

\t"Sri." Ternyata Mas Bagus yang duduk di belakangku. Posisi kami saling memunggungi.


 

\t"Iya, Mas?"


 

\t"Maaf, pernah membedakanmu dan Mbak Anin. Ternyata benar kata Ibu, kamu itu jauh lebih baik dari dia. Seharusnya aku tidak silau dengan jabatan, kecantikan, dan kedudukannya. Karena poin pertama seseorang itu adalah attitude. Selama ini, Mas hanya mengenal Mbak Anin sekilas. Baru kali ini benar-benar mengenalnya."


 

\t"Mas, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Mungkin Mbak Anin jadi seperti itu karena ada sebabnya. Kita doakan saja agar dia segera sadar, bahwa sikapnya selama ini kurang baik."


 

\tTerdengar Mas Bagus menarik napas panjang. "Sri."


 

\t"Iya, Mas?"


 

\t"Ndak usah nangis lagi."


 

\t"Nggih, Mas. Maaf. Aku cengeng, ya?" Aku berusaha tertawa sambil menghapus air mata.


 

\t"Ndak sama sekali. Aku paham, sifat wanita memang seperti itu. Mereka bisa lega, kalau sudah mengeluarkan air mata."


 

\t"Suwon, Mas. Sudah mengerti."


 

\t"Kalau sudah nangisnya, ikut Mas, yuk!"


 

\t"Kemana, Mas?"


 

\t"Belanja."


 

***


 

\tAku gugup pergi berdua dengan Mas Bagus. Kemana dia akan membawaku belanja? Selama ini, Ibu yang selalu membelikanku segala macam kebutuhan. Sesekali aku menoleh ke arahnya, dan dia hanya tersenyum. Ternyata Mas Bagus membawaku ke sebuah gedung yang besar. Dia menyebutnya mall. Aku pernah beberapa kali melihat gedung ini di TV. Itupun tidak sengaja, saat membeli garam di warung tetangga.


 

\t"Yuk, Sri, turun," ajaknya.


 

\tAku turun, setelah Mas Bagus membukakan pintu. Kami berjalan beriringan ke dalam. Sampai di dalam, ternyata ramai orang yang sedang berbelanja atau hanya sekadar nongkrong saja. Satu hal yang membuatku takut. Saat langkah kaki kami semakin mendekati tangga yang bisa berjalan sendiri itu, aku mematung. Keringat mengucur deras. Dadaku kembang kempis, membayangkan bagaimana kalau aku terjepit di tangga yang bisa berjalan sendiri itu.


 

\tMenyadari aku terdiam, Mas Bagus menoleh. "Sri, ayo! Pakaian wanita ada di lantai tiga."


 

\tAku memaksakan diri melangkah maju. Setelah dua langkah, berhenti lagi.


 

\t"Sri, ayo!" kembali Mas Bagus mengajakku.


 

\tBismillah, bismillah, bismillah, ucapku dalam hati berkali-kali.


 

\tMas Bagus melangkah menaiki tangga ajaib itu, sementara aku masih bingung bagaimana caranya melangkah. Bisakah tangganya disuruh berhenti dulu, baru aku naik, setelah itu dijalankan lagi? Aku mondar-mandir di bawah sini, sementara Mas Bagus sudah sampai di tengah-tengah.


 

\t"Sri! Ayo naik! Tidak apa-apa, naik saja!" teriaknya yang kini menghadap ke belakang. Tangannya terulur, memintaku segera naik.


 

\tAku semakin bingung. Bagaimana ini? Baru saja kaki akan melangkah menaiki anak tangga, kuurungkan niat karena cepat sekali tangganya berjalan. Aduh! Bagaimana ini? Semua orang yang ada di sekelilingku memandang heran.


 

\t"Sri!" teriak Mas Bagus yang sudah ada di atas sana.


 

\tAku menoleh ke atas, dan mencoba memberanikan diri menaiki anak tangga ini. Dia memberi aba-aba dengan tangan, supaya aku segera naik.

\t

"Ya Allah, kepiye iki?" tanyaku gugup. Semakin lama, semakin banyak orang yang tertawa melihatku.


 

\tKarena aku tidak kunjung naik, akhirnya Mas Bagus turun lagi dari tangga ajaib satunya dan mendekatiku. Tanpa aba-aba, dia membopong tubuhku, lalu naik ke tangga ajaib itu. Perbuatannya membuat mataku membulat. "Mas, dilihatin orang," ucapku lirih seraya berpegangan di lehernya.


 

\t"Daripada ndak naik-naik," katanya dengan suara yang pelan, tapi terdengar geram seraya melotot ke arahku.


 

\tAh, mampus! kataku dalam hati sambil memejamkan mata dan menyembunyikan wajah ke dadanya. Aku malu!

\t