Contents
Sri, Tok! Dia, Istriku ...
Pertama Kali Tanpa Hijab di Depan Suami
\t Pov : Sri
\t
\tAku bingung harus bagaimana ini? Kalau ketahuan tentu dia akan marah sekali. Mencoba terus berpikir bagaimana caranya supaya tidak ketahuan, tapi aku janji akan jujur suatu hari nanti setelah hati ini siap untuk berterus terang. Bodohnya aku saat itu tidak mengecek alamat di KTP nya. Aku gelisah sendiri di dalam kamar mandi ini. Mondar-mandir kebingungan sambil berpikir keras dan terus mendengarkan.
\t
\t"Iya, besok pagi saya ke sana ya, Dek. Suwon loh sudah dikabarin."
\t
\tDadaku kembang kempis mendengarnya. Kalau besok dia berangkat dan melihat CCTV itu tamat riwayatku. Aku berusaha tenang saat keluar kamar mandi setelah mengambil air wudhu, tubuh ini sudah memakai baju tidur berwarna merah dan hijab instan berwarna putih untuk menutupi kepala. Sebelum Mas Bagus masuk ke kamar aku memang sudah menyiapkan baju di kamar mandi untuk ganti.
\t
\tLaki-laki itu menoleh saat melihatku keluar kamar mandi. Tak ada senyum, tak ada tatapan penuh cinta layaknya pengantin baru.
\t
\t"Udah mandinya?"
\t
\t"Sampun, Mas."
\t
\t"Ya udah, gantian," sahutnya santai seraya meletakkan ponsel di nakas dan melepas pakaian.
\t
\tAku mengalihkan pandangan saat ia sudah bertelanjang dada. Seumur-umur aku belum pernah melihat pria tanpa pakaian, meski pun hanya baju atasnya saja. Sepertinya ia menyadari ketidaknyamananku. Mas Bagus tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala melihatku, kemudian berlalu begitu saja ke kamar mandi.
\t
\t"Siap-siap mau shalat Isya!" perintahnya sebelum menutup pintu dan aku segera mengangguk.
\t
\tAku membuka lemari dan mengambil mukena serta sajadah dan langsung membentangkannya, juga untuk Mas Bagus. Setelahnya duduk bersila menunggunya di samping ranjang. Suara gemericik air terdengar jelas dari sini. Hatiku semakin berdebar menunggunya keluar dari sana. Bagaimana kalau dia bercerita soal penjambret itu padaku. Ah, sepertinya aku terlalu berharap banyak. Tidak mungkin Mas Bagus semudah itu menerimaku dan menjadikanku tempatnya bercerita.
\t
\t"Udah siap?" tanyanya tiba-tiba, ia keluar hanya mengenakan handuk di pinggang. Aku sampai kaget dan menutup muka dengan kedua tangan. "Kamu kenapa, Sri?" tanyanya terdengar membuka lemari.
\t
\t"Maaf, Mas. Saya belum terbiasa," sahutku masih terus menutup wajah dengan tangan.
\t
\t"Oh ... tenang saja, aku nggak akan buka handuk ini di depanmu," sahutnya dengan tenang. Aku hanya diam, dadaku bergemuruh seakan mau runtuh. "Sri ... sido shalat berjamaah nggak?" tanyanya tiba-tiba. (Sido = Jadi)
\t
\t"Sido, Mas."
\t
\t"Lah kok malah terus nutupin muka ki kepiye?"(Ki kipiye = ini bagaimana)
\t
\tAku segera membuka wajah dan buru-buru berdiri. Memposisikan diri sebagai makmumnya. Agak takut aku melihat wajahnya yang bersih. Baju koko berwarna putih dan sarung berwarna biru langit sangat cocok di tubuhnya yang tinggi dan putih. Ia menggeleng melihat sikapku. Segera ia menghadap ke depan dan dipakainya peci cupluk berwarna putih di kepala, lalu bersiap mengimamiku.
\t
\t"Allahuakbar!"
\t
\tKami shalat berjamaah dengan khusyuk. Suaranya merdu, membuat hati ini tenang dan nyaman. Selesai shalat ia menoleh ke belakang dan menyodorkan punggung tangan. Kuterima uluran tangannya dan mencium punggung tangan itu dengan takzim.
\t
\t"Sri."
\t
\t"Nggeh, Mas."
\t
\t"Mulai hari ini kita sudah resmi menjadi suami istri. Jujur, Mas sebenarnya belum siap menerimamu menjadi istri. Bukan apa-apa, maaf sebelumnya. Sebenarnya ... kamu itu bukan type Mas."
\t
\tTenggorokanku tercekat mendengarnya. Aku terdiam, menahan kaca-kaca yang siap akan tumpah di pelupuk mata.
\t
\t"Saya, saya paham Mas .... "
\t
\t"Untuk sementara, biarlah kita jalani apa adanya. Kita sama-sama berusaha mengenali satu sama lain terlebih dahulu. Kamu jalani kewajibanmu sebagai istri dan Mas jalani kewajiban Mas sebagai suami." Aku mengangguk. "Ya sudah, kamu turun duluan, ya. Bersosialisasi yang pantas dan baik dengan keluarga ini."
\t
\t"Nggih, Mas." Aku segera membuka mukena dan melipatnya, lalu membereskan semuanya.
\t
\tKalimatnya yang mengatakan kalau aku bukan typenya terus saja terngiang di telinga. Sesekali kuusap ujung mata untuk menghapus tetes air mata seraya menuruni anak tangga. Dia berkata sangat lembut, tapi mengapa semua itu mampu memporak-porandakan isi hatiku. Aku berusaha tersenyum saat melihat para keluarga sedang duduk di ruang keluarga.
\t
\tAda Mbak Anin dan Mbak Kiki bersama masing-masing suami, juga Ibu yang nampak asik dengan ponsel di tangan. Di ujung sana terlihat seorang anak kecil berumur tujuh tahunan sedang asik dengan gawai. Kata Ibu anaknya Mbak Anin namanya Flora, gadis kecil yang manja dan cantik jelita. Mungkin itu dia, mengingat wajahnya yang mirip dengan Mas Karyo.
\t
\t"Sini! Duduk sini, Nduk!" perintah Ibu saat melihat kedatanganku.
\t
\t"Iya, Bude."
\t
\t"Hush! Mbok yo ojo panggil Bude lagi. Aku sekarang Ibumu," katanya saat aku duduk di sampingnya. Aku hanya tersenyum kecil. "Udah shalat?"
\t
\t"Alhamdulillah, sampun, Bu." (Sampun = sudah)
\t
\t"Kalau kalian, udah shalat?" tanya Ibu yang beralih menatap dua menantunya, Mbak Anin dan Mbak Kiki secara bergantian.
\t
\t"Aku lagi dapet, Bu," jawab Mbak Kiki.
\t
\t"Wahh, aku baru aja kena palang merah juga," sambung Mbak Anin, tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
\t
\t"Anehnya kalian selalu dapet setiap kali menginap di sini." Kali ini Mas Karyo protes.
\t
\t"Aku juga mikir gitu loh, Mas," sambung Mas Daro seraya terkekeh.
\t
\tIstri-istrinya diam tak peduli. Mereka kembali sibuk dengan ponsel di tangan.
\t
\t"Entah apa yang merasukimu ... hingga kau tega meninggalkan aku yang tulus mencintaimu."
\t
\tsuara dari ponsel Flora terdengar tiba-tiba. Gadis kecil itu berdiri di depan kursi seraya menggoyangkan tangannya.
\t
\t"Tik tok ya, Nak?" tanya Ibunya. Anaknya hanya mengangguk, sedangkan tubuhnya masih sibuk bergerak.
\t
\t"Anak-anak jaman sekarang. Sukanya lagu kayak begitu. Coba anakmu diajarin ngaji loh, Le. Sholawatan, baca Al-quran. Yang jadi tuntunan malah yang kayak begitu. Padahal udah jelas-jelas tuntunan umat islam itu Alquran, bukan tik tok dan samacamnya." Protes Ibu. Ia meletakkan ponsel di meja dengan wajah kesal.
\t
\t"Ah Ibu, cuma hiburan sesekali aja. Namanya anak-anak jangan terlalu dikekang lah," timpal Mbak Anin.
\t
\t"Bukan ngekang, Ibu cuma ngajarin yang bagus, baik dan pants. Flora kan cucu Ibu. Ya, wajar to kalau ibu kasih nasihat?"
\t
\tSegera Mbak Anin menoleh ke arah suaminya. Matanya melotot seperti mau keluar dari tempatnya. Tidak berapa lama Mas Karyo mengangguk seperti paham maksud dari istrinya itu.
\t
\t"Sudahlah, Bu. Bukan masalah terlalu serius juga. Namanya anak-anak."
\t
\t"Ya, tapi kan, Le ... "
\t
\t"Bu, cukup. Kami bisa kok menjaga anak kami dengan baik."
\t
\tIbu terdiam. "Lalu kamu Daro, kapan mau punya anak. Umur sudah berapa, nanti di hari tua nggak akan ada yang ngurus kalian kalau nggak punya anak dari sekarang."
\t
\t"Halo! Ish! Ini apaan sih? Nggak ada signal di sini! Halo!!" Muka Mbak Kiki nampak merah. Ia terlihat sangat kesal dengan ponselnya. Entah kesal dengan ponselnya atau karena kata-kata Ibu barusan. Mbak Kiki dengan cepat melangkah keluar rumah. Sebelumnya mengucapkan permisi karena akan mengangkat telepon dari seseorang.
\t
\tMas Daro mendekat ke arah Ibu, lalu berbisik. Karena aku cukup dekat dengan Ibu jadi aku bisa mendengarnya. "Bu, wes lah. Jangan dipaksa, kalau dia belum mau jangan dipaksakan. Aku nggak enak jadinya." Ibu menatap Mas Daro cukup lama, lalu mengalihkan pandangan dengan wajah semakin kesal. Sedangkan Mas Daro keluar menyusul istrinya.
\t
\tKutatap Ibu sambil menggengam jemari tuanya.
\t
\t"Ibu, sabar ya ...," kataku lirih yang hanya dijawab anggukan lemah oleh beliau.
\t
\t***
\t
\tBenar saja, seorang Ibu bisa mengurus sepuluh anak, tapi satu anak belum tentu bisa mengurus satu Ibu. Bukan, bukan tidak bisa, tapi sepertinya pihak ketiga yang membuatnya tidak bisa. Baru sehari aku bertemu dengan kedua menantu Ibu dan aku paham mengapa Ibu tidak menyukai mereka.
\t
\t"Tante!" teriak Flora dengan sengaja ingin mengagetkanku. Anak itu hampir saja membuatku jantungan. Beras yang kucuci jatuh dan berhamburan ke lantai.
\t
\t"Astaghfirullah .... "
\t
\t"Ahahaha!!! Tante cuma gitu aja kaget, ya? Ah, nggak asik!!"
\t
\t"Tuh kan, berasnya tumpah semua. Nggak boleh seperti itu Flora, ya," kataku seraya menoleh ke arahnya.
\t
\t"Ya ampun ... sini biar mbok yang beresin, Mbak."
\t
\tMbok Jur tiba-tiba datang. Ia segera duduk berjongkok membereskan beras yang berserakan di lantai.
\t
\t"Tante marah sama Flora?" teriaknya.
\t
\t"Bukan marah, Sayang. Maksud tante jangan ngagetin gitu lagi. Nggak baik, apalagi sama orang tua. Kalau sama Eyang kan bisa fatal akibatnya."
\t
\tAnak itu tidak terima, ia menangis sejadi-jadinya. Ia berteriak-teriak memanggil orang tuanya. Sementara aku sibuk menenangkannya.
\t
\t"Ya sudah Tante minta maaf, ya. Kamu jangan nangis lagi."
\t
\t"Kenapa ini?" tanya Mbak Anin, ia sudah cantik dengan balzer berwarna hitam dan celana dasar berwarna senada. Di sebelah tangannya menenteng tas yang terlihat mahal. Sepatu berhak tinggi menambah keanggunannya.
\t
\t"Mami, Tante Sri marahin Flora. Katanya Flora anak nakal."
\t
\t"Bukan seperti itu, Mbak."
\t
\t"Emang ya. Sikap dan budi pekerti seseorang itu tidak bisa menipu. Kalau pendidikannya rendah, ya cara berpikirnya juga pendek. Namanya juga anak-anak ya wajarlah. Jangan terlalu mencolok lah kalau stupid."
\t
\tAku terdiam. Bukan tak berani melawan, tapi jika terjadi keributan, kasihan sama Ibu. Tentu akan menambah beban pikirannya.
\t
\t"Saya minta maaf, Mbak," kataku seraya sedikit membungkukkan badan.
\t
\t"Dasar!" umpatnya seraya merangkul anaknya dan berlalu. Mbok Jur berdiri, ia mengelus bahuku menenangkan.
\t
\t***
\t
\tTadi pagi, Mas Bagus berangkat bekerja. Katanya ada urusan. Sehingga seharian aku di rumah ini tanpanya. Mas Karyo dan Mas Daro lusa baru pulang ke rumah mereka masing-masing. Kecuali Mbak Kiki setelah akad kemarin, selesai dinasehati Ibu dia langsung pergi. Katanya banyak pekerjaan.
\t
\tAku menghidupkan TV di kamar dan menontonnya. Kucari salah satu siaran. Setelah lama mencari akhirnya ketemu juga. Terlihat Mbak Kiki sedang membawakan sebuah acara. Gaunnya indah, sepatunya cantik, apalagi wajahnya sangatlah menarik. Aku mematikan TV dan melamun cukup lama. Kulihat jam, ternyata hari sudah malam.
'Ke mana Mas Bagus, mengapa ia belum pulang?'
\t
\tAku berdiri dan memperhatikan diriku sendiri di cermin. Kulepas hijab dan menggerai rambutku yang panjang. Kusisir dengan jari dan merapikannya. Semalam aku tidur sendirian. Aku tak tahu ke mana Mas Bagus pergi. Bisakah Mas Bagus suatu saat mencintaiku seperti Mas Karyo mencintai Mbak Anin dan Mas Daro yang tampak selalu melindungi Mbak Kiki?
\t
\tKreakkk!
\t
\tSuara derit pintu terbuka. Aku melihat siapa yang masuk dari pantulan kaca. Nampak Mas Bagus pulang, ia terdiam menatapku di bibir pintu. Ini pertama kalinya ia melihatku tanpa hijab.
\t
\t"Kamu ... belum tidur?" tanyanya setelah lama mematung.
\t
\t"Belum, Mas .... "
\t
\tSegera kembali kupakai hijab dan duduk di ujung ranjang. Mas Bagus melepas dasi. Ia duduk di sofa dan aku segera mendekat, selanjutnya berjongkok untuk melepas sepatunya.
\t
\t"Sri, saya bisa sendiri."
\t
\t"Saya saja, Mas. Bagaimana pekerjaan Mas hari ini? " tanyaku berbasa-basi masih sibuk melepas kaus kakinya.
\t
\t"Tadi Mas ke Jawa Timur untuk melihat sesuatu."
\t
\tDeg. Mendengarnya membuat jantungku seakan berhenti berdetak.
\t
\t
\t