Contents
Sri, Tok! Dia, Istriku ...
Kegelisahan Ibu
Pov : Bagus Cahyo Purnomo
Ini benar-benar kejutan. Aku bahkan tidak mengira akan menikah dalam waktu dekat ini. Pengakuan Ibu kalau ibunya Sri yang menolong, membuatku luluh. Ibunya saja mau memberikan salah satu ginjalnya untuk Ibu, mungkin sudah sewajarnya aku membalas budinya. Bagaimana dengan perasaan kami? Baik aku ataupun wanita itu sama-sama belum memahami satu sama lain. Lalu bagaimana dengan percakapanku dan Dera satu tahun yang lalu, sebelum dia berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan studi? Bukankah kami saling berjanji menjaga hati dan saling berjuang untuk memantaskan diri sampai dia pulang nanti?
\r
Sejauh ini, kami tidak pernah berhubungan lagi. Apa kabarnya? Aku tidak tahu! Apakah dia sudah menikah atau belum? Aku juga tidak tahu! Dera, wanita dengan hijab yang menjuntai panjang. Dia selalu tertunduk, saat berbicara denganku. Sopan, lembut, dan berpendidikan. \r
Ya Allah, aku membasuh muka di kamar mandi dan memperhatikan wajah di cermin. Aku sudah berjanji pada Ibu untuk menikahi Sri. Aku mendongak, berusaha memberikan ruang pada hati yang terasa mengimpit. Bismillah, semoga ini keputusan yang baik.
\r
***
\r
Sah!
\r
Ya, akhirnya kami resmi menjadi suami istri di salah satu masjid di Magelang. Semua keluarga besar berkumpul, menyaksikan ikrarku sebagai suami. Selesai ijab kabul, kami langsung pulang ke rumah. Bayangkan saja, kami harus tidur dalam satu kamar. Padahal tidak ada rasa. Bohong kalau aku bilang tidak ingin menyentuhnya, karena pria pada dasarnya bisa tidur dengan banyak wanita tanpa perasaan, berbeda dengan wanita. Karena pria itu mengedepankan nafsu, dibanding perasaan. Aku bicara hal yang seperlunya dan berusaha mengesampingkan gejolak di dalam dada.
\r
Meskipun kami telah halal, tapi aku berusaha memberi waktu pada Sri untuk siap memulai semua. Di malam pengantin, aku mendapatkan telepon dari minimarket di mana aku dijambret saat itu. Katanya, rekaman CCTV sudah bisa dilihat. Aku akan memutuskan pergi ke sana esok hari. Selesai salat Isya, aku berusaha mengatakan apa yang aku rasakan. Kata orang, jujurlah meskipun itu pahit. Karena kebohongan yang dibalut dengan kata-kata manis, itu lebih menyakiti. Sri tertunduk mendengar penuturanku. Aku bersyukur,dia memahami apa yang aku katakan.
\r
Setelah Sri keluar kamar, aku mengempaskan tubuh di pembaringan. Sekali lagi, rasanya tidak menyangka kalau kini aku telah menemukan tulang rusukku. Mengapa disebut tulang rusuk, bukan tulang punggung? Karena tulang rusuk dekat dengan hati, sehingga harus sering didampingi, diingatkan dan diperhatikan, bukan tulang punggung untuk menanggung semua beban. Meskipun belum ada rasa cinta dan kasih sayang diantara kami, tapi aku harus tetap menjadi imam yang baik untuknya. Sri berhak mendapatkannya, karena kini dia resmi menjadi makmumku.
\r
Saat aku bersiap untuk tidur, Sri masuk ke kamar. Dia duduk di sofa kebingungan.
\r
“Kamu kenapa duduk di sana? Tidur sini!” perintahku, lalu merapikan bantal yang ada di samping tubuh.
\r
Dia masih saja diam. Wajahnya terlihat cemas, dengan tangan saling meremas.
\r
Aku berdiri dan mendekatinya. “Kamu takut?”
\r
“Ndak, Mas. Cuma gugup,” jawabnya polos.
\r
Aku tertawa kecil, lalu beranjak untuk mengambil bantal. Setelahnya, berbaring di sofa panjang. “Sudah, tidur sana! Aku bobok di sini saja.”
\r
“Tapi Mas ... aku ndak apa kalau Mas mau tidur di ranjang. Biar aku yang tidur di sini.”
\r
“Kamu ndak mau? Kalau begitu sini, kita tidur berdua di sofa ini.” Aku menggeser tubuh, membuat wajahnya bersemu merah.
\r
Dia segera berdiri,dan melangkah ke arah ranjang. Selanjutnya berbaring di sana. Aku mendengkus, lalu tertawa melihat tingkahnya. Ternyata dia cukup menggemaskan. Malam pertama kami lewati dengan saling diam. Aku tidur si sofa, dan dia di ranjang. Tidak ada yang spesial pun, belum ada getaran. Entah bagaimana kami akan melewati malam-malam selanjutnya. Biar saja semua mengalir bagai air. Aku akan menunggu hari itu. Hari di mana kami akan saling menyatu, bukan karena keharusan, tapi karena kami memang menginginkannya.
***
\r
Aku sedang berada di rumah makan, saat ponsel genggam berdering. Baru saja usai makan siang dan salat bersama Pak Yanto. Ternyata bukan sebuah panggilan telepon, hanya chat masuk. Aku segera memeriksanya. Terlihat chat dari nomor yang tidak dikenal. Aku segera membukanya.
\r
\r
[Siang, Mas. Kami dari minimarket tempat Mas dijambret saat itu. Kami tutup jam 10 malam, jika masnya mau datang ke sini.]
\n
\r
\r
Aku mengangguk mengerti. Segera kukirim balasan.
\n
\r
[Siang. Iya, nanti saya ke sana, ya. \rIni lagi mampir bentar ke rumah makan. Terima kasih infonya.]\n\n
\r
Selesai makan, kami langsung menuju ke sana. Selain ingin melihat rekaman CCTV, aku juga akan memantau dan mengunjungi tanah yang akan dibeli untuk pembangunan hotel nanti. Perjalanan memakan waktu 35 menit untuk sampai ke lokasi dari rumah makan tempat kami mampir barusan. Di sana, ternyata sudah ada beberapa orang yang menunggu. Setelah mengucap salam dan bersalaman, kami menuju sebuah ruangan, di mana ada empat LCD berjajar rapi di sana.
\r
Seseorang yang kini kuketahui bernama Pak Wawan itu tampak sibuk mengutak-atik sesuatu, kemudian layar menyala. Mereka mengatur tanggal, juga jam di saat seseorang merebut dompetku. Di sana terlihat seorang perempuan berhijab menutup wajah dengan ujung hijab, lalu menarik begitu saja dompet yang sedang kupegang. Selanjutnya dia menghilang, dan berlari begitu cepat.
\r
“Coba di-pause!” pintaku, sebelum gambar wanita itu berlalu. Tayangan berhenti. Aku mengamati dengan mata sedikit menyipit. “Bisa minta tolong di-zoom, Pak?”
\r
“Baik, Pak.”
\r
Gambar itu diperbesar.Tampak dari atas, wanita itu memakai baju berwarna hijau lumut dan hijab berwarna hitam. Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya. Selain hanya terlihat dari atas, juga hanya punggung wanita itu yang tampak dari belakang.
\r
“Bagaimana, Pak? Apa Anda mengenali orang ini?”
\r
Aku menggeleng. Postur tubuh dan hijab ini seperti pernah kulihat, tapi di mana, ya? Aku terus mencoba mengingat-ingat postur tubuh siapa yang mirip seperti ini, tapi benar-benar lupa. Bukannya banyak orang yang memiliki postur tubuh dan hijab yang sama?
\r
“Saya tidak mengenalinya, Pak. Ya sudahlah, sebenarnya ada kenang-kenangan dari Bapak saya di dalam dompet itu, dan itu yang paling berharga bagi saya.”
\r
“Sangat disayangkan, Pak. Sebelumnya, kami minta maaf.”
\r
“Ndak masalah, Pak. Ini musibah, bukan kesalahan dari kalian, kok.” \r
Selesai melihat rekaman CCTV, mereka mempersilakan aku duduk di sebuah ruangan. Aku dijamu dengan minuman dan makanan ringan. Berbincang sebentar, lalu pamit pulang, mengingat perjalanan dari Jawa Timur ke Jawa Tengah yang memakan waktu beberapa jam, dan cukup melelahkan.
\r
Dijalan, kuisi dengan memeriksa email dan chat dari beberapa cabang. Ada email dari Jakarta yang bilang kalau air kurang lancar di sana. Segera kutelepon Pak Gus untuk mengurusnya. Lalu ada email masuk lagi dari cabang hotel yang ada di Banten. Katanya beberapa hari yang lalu ada dari pihak kantor pajak yang datang. Aku membuka berkas dalam laptop dan memeriksa, ternyata memang pajaknya menunggak. Aku memijat pelipis, pening. Kenapa manajer hotelnya bisa abai tentang hal ini? Aku segera meneleponnya. Kucari nama Pak Samsul dan menekan tombol hijau. Terdengar sambungan telepon terhubung.
\r
“Halo. Selamat siang Pak Samsul.”
\r
“Oh, Den Bagus? Siang, Den. Ada apa, ya?”
\r
“Langsung saja. Kenapa ada tunggakan pajak beberapa kali? Ada laporan, kalau petugas pajak datang ke hotel.”
\r
“Oh, soal itu. Maaf saya lupa memberi laporan, kalau semua sudah diurus oleh pihak account kita.”
\r
“Alhamdulillah. Saya tidak mau terjadi hal semacam ini lagi, ya, Pak. Sebagai warga negara yang baik, kita harus tepat waktu bayar pajak. Tolong ingatkan pihak account supaya bisa bayar pajak tepat waktu. Pajak hotel dikeluarkan setiap satu bulan sekali. Penghasilan yang terkena pajak daerah antara lain penyewaan kamar, penjualan makanan, jasa laundry, fitness, spa,serta sewa ruangan bagi yang menginap. Saya hanya mengingatkan, mungkin dia lupa. Tolong disampaikan”
\r
“Iya, Den. Saya minta maaf. Akan saya catat.”
\r
“PPh pasal 4 ayat 2 untuk sewa tanah dan atau bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan tersebut. Bapak ingat juga ini?”
\r
“Akan saya catat, Den.”
\r
“PPN, PPh pasal 21, PPh pasal 22, 23, 26, PPh Badan, dan ....”
\r
“Siap, akan saya cari sendiri, Den. Maaf untuk itu.”
\r
Aku tersenyum. “Ya sudah, Pak, saya cuma mengingatkan. Bagian account pasti lebih paham masalah ini. Lain kali, tolong lebih disiplin, ya. Assalamu’alaikum.”
\r
Terdengar helaan napas lega dari seberang telepon. “Wa’alaikumsalam, Den.”
\r
Telepon kumatikan, lalu menutup laptop. Setiap hari, aku dipusingkan oleh urusan ini dan itu. Jika dikira menjadi direktur itu enak, itu salah besar. Setiap kali membuka email, ada saja masalah. Memang itu tugas masing-masing manajer, tapi aku yang meminta laporan dikirim langsung semuanya padaku, supaya bisa ikut memantau perkembangannya.
\r
“Den, mau mampir ke mana dulu setelah ini?” tanya Pak Yanto dari depan.
\r
“Pulang, Pak.”
\r
***
\r
Sampai di rumah, aku langsung menemui Ibu di kamar. Beliau tampak sedang asyik membolak-balik album lama. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Menyadari kehadiranku, Ibu menoleh, lalu tersenyum. Kuambil punggung tangannya, lalu menciumnya seraya mengucap salam, “Assalamu’alaikum, Ibu.”
\r
“Wa’alaikumsalam. Telat kamu ngucap salam, seharusnya dari sebelum masuk tadi.”
\r
“Takut ganggu, Ibu.”
\r
“Ndak, lah. Ibu lagi lihat-lihat foto kalian. Ibu kangen tingkah polah kalian dulu, Le. Di mana kebersamaan kita adalah hal yang paling menyenangkan dan membahagiakan bagi kami, sebagai orang tua. Sekarang, tinggal kamu sendirian di rumah ini. Sepi.” Ibu menarik napas berat.
\r
Aku menggenggam tangannya, lalu mencium sekali lagi punggung tangan yang sudah tampak keriput itu. “Ibu, Bagus juga kangen masa-masa itu. Tapi ... sekarang semuanya sudah berbeda. Mas Karyo dan Mas Daro sudah sibuk dengan keluarga mereka.”
\r
“Lalu, bagaimana denganmu? Apa suatu saat nanti kamu juga akan sibuk dengan keluargamu juga dan Ibu dilupakan?”
\r
“Insyaallah ndak seperti itu, Ibu. Sesibuk apapun Bagus, nanti akan Bagus usahakan setiap hari mengunjungi Ibu. Ya, meskipun hanya untuk mendengarkan cerita dan keluh kesah Ibu. Atau sekadar minum teh dan tertawa bersama.”
\r
Ibu terdiam, kristal bening jatuh begitu saja di pipi keriputnya. \r
Aku tahu, Ibu pasti merasa kesepian. Kadang orang tua tidak butuh uang, mereka hanya butuh perhatian dan teman berbincang, apalagi jika salah satu orang tua kita ada yang sudah berpulang. Yang seperti ini malah butuh perhatian ekstra.
\r
“Ibu, dengarkan Bagus. Ibu jangan banyak pikiran. Ada Bagus, ada Sri, dan Mbok Jur di sini. Ibu tidak sendirian.” Aku menghapus air matanya.\r
“Ibu kangen bapakmu, Le.” Isaknya semakin kencang.
\r
“Stttt.” Aku mengusap-usap bahunya, menangkan. “Bapak sudah tenang di sana, Bu. Kita doakan yang terbaik untuk beliau, ya.”
\r
Ibu mengangguk lemah. Aku menggeser tubuh lebih merapat ke tubuh tuanya, lalu merangkul serta mengusap bahunya. “Ibu satu-satunya harta paling berharga dalam hidup Bagus. Tolong bantu Bagus dengan cara; jaga hati Ibu untuk tetap bahagia, tubuh tetap sehat dan jangan banyak pikiran. Karena hanya dengan cara seperti itu Bagus bisa tenang,” bisikku seraya mencium puncak kepalanya.
“Maaf, Ibu memaksamu menikahi Sri, Le.”
\r
“Ndak apa, Bu. Sri wanita baik. Bagus bahagia menjadi suaminya.” Aku berusaha menenangkannya.
Ya, Ibu adalah satu-satunya harta paling berharga dalam hidupku. Karena surgaku ada padanya. Doanya melangit, hingga membuatku bisa menjadi seperti sekarang ini. Nasihat, pengorbanan, dan cintanya begitu besar untuk diri ini. Bahkan jika seluruh harta kuberikan padanya, tidak akan mampu membalas semua. Usai menenangkan, aku meminta Ibu untuk beristirahat. Kubaringkan tubuh tua itu, dan menarik selimut sampai ke dadanya. Kuucapkan selamat malam, lalu pamit ke atas.
\r
Kulonggarkan kerah baju sambil menaiki anak tangga satu persatu. Sudah malam, apakah Sri sudah tidur? Atau ... masih menungguku pulang?Wanita itu ternyata lucu juga, cukup untuk menjadi hiburan dan penghilang penat setelah lelah seharian bekerja. Sikapnya yang polos dan malu-malu, kadang membuatku gemas. Aku tertawa, mengingat semua tingkahnya. Sampai di atas, aku segera memutar knop pintu untuk masuk kamar. Pintu terbuka. Aku tertegun melihat sosok wanita yang berdiri di depan cermin. Rambutnya hitam tergerai panjang. Ini pertama kalinya aku melihat Sri tanpa penutup kepala. Dia menawan, cantik, dan tidak kalah menarik dari wanita di luaran sana.
\r
“Kamu … belum tidur?” tanyaku masih menatapnya lekat.
\r
“Belum, Mas.” Melihatku datang, Sri menjadi salah tingkah. Dia segera memakai hijabnya dan duduk di ujung ranjang.
\r
Aku melepas dasi dan melangkah ke dalam. Duduk di sofa, sambil mencoba melepas sepatu yang kukenakan. Sri segera mendekat dan berjongkok di hadapan. Dia mengambil alih untuk melepas sepatuku.\r