Contents
Sri, Tok! Dia, Istriku ...
Menikah
Pov : Sri
\tSuhu tubuhku panas dingin tidak keruan. Rasanya ingin lari saja dan menghindar, tapi amanat Ibu lebih penting dari itu semua. Aku menelan ludah beberapa kali, untuk mengurangi ketakutan di hati. Keringat perlahan membanjiri wajah, hingga beberapa kali kuusap menggunakan ujung hijab. Dengan suara tersendat-sendat, aku mencoba membuka mulut untuk bicara, "Ja-jadi ... Mas Bagus, bo-bolehkah saya bertemu Bude Nur Fatmawati?"
\t"Kalau boleh tahu, ada perlu apa, ya?"
\t"Sa-saya, hanya ingin me-menyampaikan amanat ibu saya."
\t"Ibu Halimah?"
\t"Nggih, Mas." Aku terus tertunduk, tidak kuasa melihat wajah manusia yang beberapa hari lalu telah kurugikan itu.
\t"Namamu siapa?"
\t"Sri, Mas."
\t"Sri sopo\u0004\u0004?"
\t"Sri tok\u0005\u0005."
\t"Namamu saja aneh banget, loh. Sri tok?" Dahinya berkerut, dengan tatapan aneh melihatku.
\t"Maaf, Mas. Tapi memang seperti itulah nama saya."
\t"Yo wes, tunggu sebentar." Kemudian dia berlalu.
\tAlhamdulillah, akhirnya dia pergi. Aku menarik napas lega bukan kepalang. Sebelah tanganku mengelus dada dengan mata terpejam, saking leganya. Tidak berapa lama, terdengar suara langkah kaki dari dalam. Aku mendongak, menatap siapa yang datang. Seorang wanita paruh baya dengan kebaya, lengkap dengan kain dan sanggul di kepala. Dia memakai kacamata, melangkah anggun mendekat ke arahku. Dibelakangnya, ada pria yang bernama Mas Bagus. Mereka seperti membisikkan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu. Setelah sampai di hadapanku, sama seperti sebelumnya, Ibu yang berkacamata itu menatap dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Aku kembali menyembunyikan sebelah kaki yang memakai kaus kaki robek di bagian tumit.
\t"Saya Nur Fatmawati. Apakah kamu cari saya, Nduk?"
\t"Nggih, Bude. Kulo putrane Bu Halimah. Meniko titipan saking Ibu kangge njenengan\u0006\u0006." Aku menyodorkan amplop berwarna cokelat sambil sedikit membungkuk, setelah tangannya terulur.
\tDia menatap bingung, kemudian membuka amplop itu. Ekor matanya tampak cepat berpindah ke kiri dan kanan, membaca surat dari Ibu. Sungguh, aku sangat penasaran akan isinya. Setelah cukup lama, dia menatapku dengan alis sudah saling bertaut. Kakinya melangkah maju dengan tangan terulur sebelah hendak menyentuhku.
\t"Masyaallah! Ternyata kamu anaknya sahabatku. Rene, Nduk\u0007\u0007," katanya merentangkan kedua tangannya.
\tMeskipun ragu, akhirnya aku maju dan memeluknya.
\t"Jangan khawatir, aku pengganti ibumu di sini. Kamu akan tinggal di sini bersama kami."
\tAku terisak seraya mengangguk. Dipeluknya tubuhku sambil mengusap-usap punggung.
***
\t"Bu, maksud Ibu apa mau menikahkan wanita itu dengan salah satu di antara kami? Mas Karyo sudah menikah dengan Mbak Anin. Mas Daro sudah nikah juga sama Mbak Kiki. Terus, Ibu mau nikahkan dia sama siapa?" tanya anak bungsunya itu bingung.
\tBude mengajakku masuk ke rumah besarnya dan duduk di sebuah ruangan. Aku masih memeluk kantung keresek berisi pakaian. Bingung harus bersikap bagaimana. Apa mungkin Bude Nur ini akan menikahkan aku dengan anaknya? Jika iya, tapi dengan siapa? Sejak tadi aku hanya melihat pria ini yang ada di rumah.
\tKulihat Bude Nur terdiam mendengar pertanyaan dari anaknya. Dia menarik napas panjang, kemudian menoleh ke arahku. "Nduk, kamu tahu? Ibumu itu sangat berjasa dalam kehidupan Bude. Dulu saat remaja, kemana-mana kami selalu berdua. Ibumu bahkan menyumbangkan salah satu ginjalnya demi saya. Entah bagaimana caranya saya bisa membalas semua itu. Saat saya menikah, kami berpisah. Hingga kami kehilangan kontak. Saya sering kirim surat ke ibumu, tapi tidak kunjung mendapat balasan. Bagi saya, ibumu bukan hanya sekadar sahabat dekat, tapi sudah lebih dari saudara."
\tBude Nur mengusap ujung matanya, lalu menoleh ke arah anaknya.
"Ibu tahu ini berat, bagimu, Le. Sama siapa lagi Ibu akan menikahkan Sri, kalau bukan sama kamu? Kedua masmu sudah menikah semua. Tinggal kamu, Le."
\t"Astagfirullah, Ibu. Ra iso ngene loh\b\b, Bu. Aku berhak menentukan sama siapa akan menghabiskan sisa umurku nanti. Tidak adil, kalau Ibu bersikap seperti ini."
\t"Ibumu ini tidak akan bisa sesehat ini, kalau tidak ada ibunya Sri! Ginjalnya ada, bersisian dengan ginjal Ibu di sini." Bude menunjuk salah satu bagian tubuhnya. "Ibu tidak pernah minta sesuatu sama kamu selama ini, Le. Baru kali ini Ibu minta sesuatu sama kamu, Ibu minta kamu menikah sama Sri. Itu saja, titik!"
\tYa Allah, bagaimana ini? Kalau Mas Bagus tahu kalau aku yang jambret dompetnya, apa dia bisa menerimaku sebagai istrinya? Jantungku semakin cepat berdetak. Sungguh, aku ketakutan. Kenapa harus menikah dengannya?
\t"Bu, jangan seperti ini, lah. Apa kata dunia, kalau aku menikah sama wanita ini? Apa lagi nanti saat ada acara kantor." Dia memperhatikanku, lalu meremas kepala. "Ya ampun, Bu, malu-maluin!"
\tAku memperhatikan diriku sendiri. Sebegitu memalukannyakah aku?
\t"Apa Ibu pernah mengajarkanmu melihat orang dari penampilannya?"
\tMas Bagus menggeleng.
\t"Di mata Allah, kita semua sama. Kamu, Ibu, maupun dia akan kembali ke dalam tanah. Sama-sama di tanam di sana suatu hari nanti. Derajat kita sama di mata Allah, Le. Ibu tidak suka, ya, kamu sombong seperti itu!" Suara Bude Nur sedikit meninggi, dengan mata melotot menatap anaknya.
\t"Maksud Bagus bukan seperti itu, Bu. Tapi ...."
\t"Tapi apa?"
\t"Begini." Dia duduk, mendekati ibunya. "Ibu sabar dulu. Dengar Bagus dulu, Bu. Ibu lihat Mbak Anin? Dia salah satu direktur di salah satu perusahaan kosmetik. Cantik, populer, berwibawa. Terus Mbak Kiki, siapa yang tidak kenal Mbak Kiki, sih, Bu. Presenter ternama di salah satu infotainment gosip di televisi. Lembut, wangi, dan jangan ditanyalah soal penampilan. Lalu aku? Masa aku cuma menikah sama wanita seperti ini, sih, Bu?"
\t"Memangnya kenapa sama Sri?"
\t"Namanya saja Sri, tok! Kalau ada teman kantorku tanya siapa nama istrimu, aku jawab, Sri. Lalu kalau mereka tanya nama panjangnya, masa aku jawab Sri, tok? Ya Ampun, Bu." Dia menutup wajah dengan kedua tangan.
\t"Lah, memangnya kenapa kalau namanya Sri tok? Kamu bilang saja namanya Sri doang, tidak pakai nama panjang."
\t"Ah, Ibu. Bagus mohon, lah. Kasih Bagus waktu untuk berpikir. Ini tidak adil, Bu."
\t"Sekarang Ibu yang tanya sama kamu. Waktu masmu sakit di rumah sakit, siapa yang jaga?"
\t"Mbok Jur."
\t"Pas Mas Karyo sakit juga habis operasi siapa yang jaga di rumah sakit selama 2 minggu?"
\t"Mbok Jur."
\t"Jadi, gunanya kakak iparmu yang cantik, populer, sama kaya itu apa, kalau apa-apa yang ngurusin suaminya malah Mbok Jur?"
\t"Loh, kan mereka sibuk, Bu. Yo wajar, loh."
\t"Wajar dari mana? Istri yang baik itu yang taat beragama, berakhlak mulia, cerdas, menarik, mudah melahirkan, dan poin keenam berasal dari keluarga yang baik. Coba kamu lihat mbak-mbakmu itu. Taat beragama? Salat saja bolong semua. Berakhlak mulia? Mereka lebih garang dari masmu. Selama menikah, Ibu tidak pernah meninggikan suara sama almarhum bapakmu. Cerdas? Oke, yang ini Ibu akui. Menarik? Itu tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Mudah melahirkan, Mbak Kikimu itu sampai sekarang tidak mau punya anak. Takut payudaranya kendur, badannya melar, dan lain sebagainya. Berbeda kalau memang sudah divonis mandul oleh dokter, itu berarti sudah takdir, kita tidak boleh menghakimi. Poin keenam, berasal dari keluarga yang baik. Ibu tidak bisa menghakimi keluarga mereka. Tapi menurut Ibu, semua poin itu ada pada Sri."
\tMas Bagus terdiam. Dia menoleh ke arahku yang membuat jantung ini serasa mau melompat dari tempatnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku pasrah, tapi tidak rela juga.
\t"Umurmu berapa?" tanya Mas Bagus tiba-tiba.
\t"Kaleh likur , Mas."
***
\t"Saya terima nikah dan kawinnya Sri binti Rusman, dengan mas kawin yang tersebut tunai!"
\t"Sah?"
\t"Sah!"
\tAkhirnya aku menikah dengan Mas Bagus. Kami melangsungkan akad di Masjid Agung Magelang, Jawa Tengah. Katanya, resepsi akan dilangsungkan bulan depan. Semua keluarga menghadiri pernikahan ini. Aku dinikahkan oleh wali hakim, mengingat tidak ada keluarga di sini. Di ujung sana, wanita cantik yang kini kuketahui bernama Mbak Anin sedang sibuk dengan ponsel. Disebelahnya bisa kupastikan kalau itu Mas Karyo, karena wajahnya sangat mirip dengan Mas Bagus.
\tSedangkan yang satunya lagi Mbak Kiki.Dia beberapa kali keluar untuk mengangkat telepon dari seseorang. Agak jauh darinya duduk bersila Mas Daro. Garis wajah Mas Daro lebih mirip dengan Bude Nur, sedangkan Mas Karyo dan Mas Bagus mungkin lebih mirip dengan bapaknya.
\tMbak Anin dan Mbak Kiki memang sangat cantik, modis, dan sepertinya kaya raya. Jujur, aku minder. Sepertinya aku adalah menantu termiskin di keluarga ini. Wajar saja Mas Bagus menolak menikah denganku, meskipun pada akhirnya terpaksa menerima. Aku bersalaman dengan Mas Bagus, kucium punggung tangannya dengan takzim. Tidak ada getaran ataupun rasa bahagia, semua kurasa ... hambar.
***
\tSelesai acara, kami langsung pulang. Aku duduk di ujung ranjang, enggan melakukan apa-apa. Sementara Mas Bagus entah di mana. Pintu kamar kubiarkan sedikit terbuka, supaya terlihat siapa saja yang lewat. Kini aku ada di lantai tiga. Setelah kuperhatikan, sepertinya ada tiga kamar di lantai tiga, termasuk kamar ini. Sedangkan di lantai dua ada dua kamar, ruang keluarga, dan tempat untuk berolahraga. Di lantai satu ada ruang tamu, dapur, ruang salat, dan kolam renang. Tidak berapa lama, terlihat Mas Bagus datang ke kamar. Dia melepas peci dan meletakkannya di nakas. Aku masih diam, hanya sesekali menarik napas berat.
\t"Mandi sana!" perintahnya.
\t"Nggih, Mas." Aku beranjak, lalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Baru akan keluar kamar mandi, terdengar suara ponselnya berdering.
\t"Iya. Halo?"
\tNiatku keluar kamar urung. Aku mematung di balik pintu mendengarkan.
\t"Oh, jadi ini dari minimarket di Jawa Timur? Tempat saya dijambret waktu itu?"
\tAstagfirullah. Dadaku bergemuruh mendengarnya.
\t"Iya. Jadi ada rekaman CCTV-nya? Bisa dicek, mukanya kelihatan tidak?"
\tAllah! Aku yakin wajahku berubah pias saat ini. Engkau sebaik-baiknya tempatku berlindung, ya Allah. Aku sadar, aku salah, aku berdosa, dan sikapku sangat tidak terpuji. Namun, Engkau tahu sebabnya. Bukankah aku sudah berjanji akan mengganti semuanya nanti. Lindungi aku, ya Allah. Tolong jangan sekarang. Aku berjanji akan mengatakan semuanya, tapi setelah diri ini siap lahir dan batin. Juga, setelah Mas Bagus bisa mencintaiku sebagai seorang istri.