Try new experience
with our app

INSTALL

Sri, Tok! Dia, Istriku ... 

Kecopetan

Pov : Bagus Cahyo Purnomo


 

Hari ini ada meeting penting perusahaan. Aku tidak boleh terlambat. Setelah salat Subuh tadi, aku langsung berangkat ke Jawa Timur untuk menghadiri rapat. Kenapa di Jawa Timur? Karena kami akan membuka cabang baru di sana. Aku memegang salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan. Dulu sebelum Bapak meninggal, dia memberi pilihan siapa yang akan mengurus tiga perusahaan. Yang pertama perusahaan properti yang kini dipegang oleh Mas Karyo. Yang kedua perusahaan tekstil yang dipegang oleh Mas Daro, dan yang ketiga hotel sederhana yang nyaris mirip indekosan. Hotel tersebut hanya dua lantai, berisi sepuluh kamar. Tidak terurus dan begitu banyak kerusakannya. Semua itu butuh perbaikan.


 

\r

Usaha penginapan atau hotel—dulu—paling sepi dibanding usaha Bapak yang lain. Karena Mas Karyo dan Mas Daro lebih dulu memilih meneruskan usaha, dengan terpaksa aku memilih bagian terakhir, yaitu meneruskan usaha hotel yang Bapak bangun dan nyaris bangkrut itu. Tidak mudah, jatuh bangun aku berusaha membuat hotel ini bangun dari tidur panjangnya. Tabungan yang selama ini aku kumpulkan selama bekerja menjadi salah satu manajer di perusahaan terkuras habis. \r

Di saat Mas Karyo dan Mas Daro sudah menikmati hasil, aku masih jatuh bangun mempertahankan hotel supaya tetap berdiri kukuh. Sekarang aku sangat bersyukur, karena usaha yang selama ini kuperjuangkan maju pesat.


 

Aku bahkan sudah membuka enam cabang di beberapa daerah.\r

Aku memakai kemeja berwarna biru muda dengan celana dasar berwarna hitam. Tidak lupa dasi bermotif garis-garis kukenakan. Yakin pakaianku sudah rapi, kubuka laci dan mengambil jam tangan, lalu memakainya. Tidak lupa kusemprotkan parfum dan menyisir rambut supaya rapi. Setelah semua selesai, kuambil ransel yang tergeletak di meja kerja, lalu memakainya. Kuingat-ingat, apakah ada yang tertinggal? Ternyata ponsel dan kunci mobil masih berada di lemari pakaian. Aku segera mengambilnya, dan langsung keluar kamar.


 

\r

“Gus, jadi mau ke Jawa Timur?” tanya Ibu, saat aku sampai di meja makan. Beliau sedang sibuk menyiapkan makanan.


 

\r

“Jadi, Bu,” sahutku seraya duduk, lalu memperhatikan makanan yang tersusun di meja makan.


 

\r

“Hati-hati loh, ya. Bilang sama Pak Yanto, pelan-pelan saja bawa mobilnya,” nasihatnya masih sibuk mengambilkan makanan buatku.


 

\r

“Nggih, Ibu.”


 

\r

“Kamu tuh, ya. Kalau dikandani nggih-nggih saja,” gerutunya.


 

\r

“Habisnya mau jawab bagaimana, loh, Bu? Masa menolak?”


 

Aku tersenyum sambil menangkap tangannya yang masih tampak sibuk, lalu menciumnya. \rMau tidak mau, Ibu menghentikan aktivitasnya. Dia menoleh ke arahku. Senyumnya merekah seketika. “Ya sudah, sarapan dulu, Le.”\t

\n

Aku mengangguk. \rDi atas meja, tersusun berbagai menu makanan; ada roti tawar dengan berbagai macam selai, lontong sayur, dan lain-lain. Ibuku vegetarian. Dia tidak mau memakan berbagai macam daging dan ikan. Setiap hari, makannya sayuran dengan berbagai macam olahan. Ibu tidak pernah memaksa kami untuk mengikuti jejaknya. Kami boleh makan daging, asal di luar rumah. Karena Ibu tidak kuasa melihat daging ayam, sapi, ataupun kambing ada di rumah ini. Dia langsung teringat bagaimana orang-orang memotong leher hewan-hewan itu, jika melihatnya, lalu akan menangis tersedu. Ibuku memang selalu istimewa. Bagiku, beliau segalanya. Seorang ibu juga wanita ajaib, karena dia membawa surga di telapak kakinya.

\n

Aku mengambil dua lembar roti tawar, lalu mengolesnya dengan selai nanas. Sedangkan Ibu memilih sarapan lontong sayur. Kami sarapan dengan hangat, bercerita banyak hal. Kuceritakan kalau akan ada pembangunan hotel terbaru di Jawa Timur. Seperti biasa, begitu banyak doa baik terucap dari bibir keriputnya. Doa baik yang insyaallah akan melangit. Sumpahnya saja bisa terjadi, bayangkan saja doa baiknya. Sudah pasti, Allah pasti akan mendengarnya. Meskipun tidak serta-merta langsung dikabulkan, bisa jadi Allah menunggu waktu yang tepat untuk mengabulkan semua. Selesai sarapan, aku langsung pamit pergi bekerja. Tidak lupa mencium punggung tangannya, dan mengucap salam. \r

Aku pergi bersama Pak Yanto, mengingat perjalanan yang lumayan jauh. Bisa memakan waktu 4-5 jam perjalanan. Diperjalanan, kuisi waktu dengan memeriksa laporan keuangan dari tiap cabang. Sampailah kami di salah satu tempat pengisian bahan bakar di Jawa Timur.


 

\r

“Den Bagus, katanya mau mampir ke mesin ATM tadi, ya?” tanya Pak Yanto sembari memperhatikanku dari kaca spion depan.


 

\r

“Iya, Pak. Apa sudah sampai di ATM?”


 

\r

“Ini, mau sekalian isi bahan bakar, Den. Itu banyak mesin ATM dari berbagai bank di samping SPBU-nya.”


 

\r

Aku menutup laptop dan memperhatikan sekitar. Benar saja, banyak tempat penarikan uang di sini. Aku meletakkan laptop di jok samping tubuhku, lalu mengambil dompet dalam ransel. Kutarik salah satu ATM dan bersiap akan keluar dari mobil.


 

“Oke, Pak. Aku sekalian ke ATM, ya!”


 

\r

“Nggih, Den.”


 

\r

Mobil berhenti tepat di depan mesin ATM. Aku segera turun, setelahnya mobil berlalu menuju SPBU untuk mengisi bahan bakar. Usai menarik uang, aku menunggu Pak Yanto sembari memperhatikan sekitar. Karena haus, aku memutuskan masuk ke minimarket untuk membeli minuman. Cuaca yang tadinya terasa panas, adem seketika, ketika sudah sampai di dalam minimarket. Aku berkeliling, mencari minuman kemasan. \r

Setelah membayar, aku langsung keluar. Sialnya saat akan memasukkan kembalian uang dari kasir ke dompet, seseorang merampas dompetku begitu saja. Karena tidak siap, aku kaget bukan kepalang. Refleks sambil berlari aku berteriak hingga menimbulkan keramaian.\r


 

“Stop! Berhenti kamu, malinggg! Malinggg!” teriakku seraya terus mengejar si pencuri. “Berhenti kamu, dasar!” umpatku terus berusaha menghentikannya.


 

\r

Kenapa pencuri itu larinya sangat kencang? Padahal,dia wanita berhijab. Bagaimana bisa dia nekat menjambret dompetku? Sampai di jalan buntu, mataku berkeliling mencari keberadaannya. Sialnya, tidak ada wanita itu di sini. Ke mana perginya? Ini jalan buntu. Bagaimana ceritanya dia bisa menghilang?


 

\r

“Ah! Sial!” Aku menendang kaleng minuman yang ada di hadapan, sampai mengenai kotak sampah yang ada diujung gang ini. Tidak berapa lama, orang-orang yang ikut mengejar sampai di sini.


 

\r

“Bagaimana, Pak? Ketemu?” tanya seorang pria bertopi hitam yang kini ada di sampingku.


 

\r

“Asem! Hilang, Pak!”


 

\r

“Wah. Banyak isinya, Pak?”


 

\r

“Lumayan. Baru tarik tunai di mesin ATM itu tadi, Pak. Tapi bukan masalah uangnya, sih. Banyak kartu penting di sana.”


 

\r

Cukup lama aku dan rombongan menunggu. Karena tidak ada tanda-tanda bahwa dia berada di sini, akhirnya aku memutuskan pergi. Gontai kaki ini melangkah kembali ke SPBU, guna menemui Pak Yanto yang pasti sedang kebingungan mencari keberadaanku, mengingat lokasiku yang cukup jauh dari sana. Aku coba mengingat-ingat sosok wanita itu. Sayang, wajahnya sama sekali tidak terlihat. Kecepatan kakinya berlari cukup hebat, karena aku yang pria pun tidak mampu mengejarnya.


 

\r

“Den, saya cari-cari, ke mana saja?” tanya Pak Yanto sesampainya aku di sana.


 

\r

“Sial, Pak. Dompet saya dicuri orang.”


 

\r

“Innalillahi. Jadi,bagaimana, Den? Dapat pencopetnya?”


 

\r

“Itu masalahnya. Tidak ketangkep. Nanti, ya, Pak. Aku ke minimarket itu dulu. Siapa tahu bisa cek CCTV-nya.” Aku meninggalkan Pak Yanto yang masih cemas dengan keadaanku.


 

\r

Sampai di minimarket, ternyata pegawai baru yang sedang bertugas, sehingga tidak bisa langsung menunjukkan rekamannya. Kulihat jam dipergelangan tangan, satu jam lagi rapat dimulai. Aku segera pamit dan meninggalkan nomor telepon, supaya suatu saat mereka bisa menghubungiku setelah rekaman CCTV itu sudah bisa dilihat.


 

\r

***


 

\r

“Oke, sudah jelas semua, ya. Lakukan pembangunan dua bulan mendatang. Tolong Pak Gio, diurus semuanya nanti. Pastikan kita tidak merugikan masyarakat. Hargai dengan harga yang pantas untuk tanah mereka yang akan kita beli, sebagai lokasi berdirinya hotel kita nanti.”


 

\r

“Siap, Pak.”


 

\r

“Untuk bentuk dan denahnya, saya minta rancangan yang modern. Tolong Mbak Yana, dicari arsitek yang bagus. Masih ingatkan brefing kita waktu itu?”


 

\r

“Masih, Pak.”


 

\r

“Saya mau hotel ini asri, punya halaman yang luas, akses untuk ke mall, dan ke beberapa tempat dekat. Untuk SDM-nya,saya mau yang cekatan, sopan, bertanggung jawab, jujur, dan disiplin. Mbak Kia, tolong diurus, ya.”


 

\r

“Baik, Pak.”


 

\r

“Keamanan, ini poin paling penting. Tempat parkir, perizinan, dan lain-lain, saya tunggu laporannya. Tolong, ya, Mas Surya.”


 

\r

“Nggih, Pak.”


 

\r

“Oke, sampai di sini dulu. Nanti kalau ada yang mau ditanyakan bisa via email, atau telepon saja. Kebetulan, saya lagi disayang Allah nih. Mungkin salat saya kurang khusyuk, sehingga Dia mengingatkan dengan cara seperti ini.”


 

\r

“Kenapa, Pak, kalau boleh tahu?” tanya Ani, wanita yang duduk berseberangan meja denganku. Dia adalah tangan kanan sekaligus orang kepercayaanku.


 

\r

“Saya kecopetan.”


 

\r

“Innalillahi,”“ sahut mereka secara bergantian.


 

\r

“Turut prihatin, Pak.”


 

\r

“Terima kasih, An. Oke, saya pamit. Selamat sore semua, dan selamat bertemu kembali. Assalamu’alaikum.”


 

\r

“Wa’alaikumsalam.”


 

\r

Rapat pun selesai.\rAku kembali memakai ransel yang tergeletak di meja, dan menuju keluar ruang rapat. Sampai di luar, aku langsung mengajak Pak Yanto untuk kembali ke Magelang. Rencananya, besok aku akan mengurus semuanya. Di antaranya ke kantor polisi untuk membuat surat kehilangan, dan ke bank untuk mengurus beberapa kartu ATM yang hilang. Namun sebelumnya aku sudah menghubungi masing-masing pihak bank untuk memblokir semua kartu ATM-ku. Hanya jaga-jaga, supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Belum lagi harus mengurus KTP dan Sim yang juga raib. Ah, rasanya enggan dan repot sekali pasti nanti.

\n

***


 

\r

Besoknya, aku disibukkan mengurus ini dan itu. Karena lelah, tepat pukul 14.30 aku pulang ke rumah. Mungkin selanjutnya bisa minta tolong Ani untuk mengurus semuanya. Aku duduk di sofa ruang tamu. Rasanya sangat lelah dan penat mengurus hal seperti ini. Aku berbaring di sofa, mencoba memejamkan mata. Ibu dan Mbok Jur sedang sibuk di dapur. Semalam saat mengetahui aku kecopetan, Ibu paling heboh dirumah ini. Katanya, lain kali sebelum keluar rumah harus berdoa dan memohon perlindungan.


 

\r

Padahal, aku selalu melakukan itu. Lagi diuji saja kali, ya, sehingga Allah memberikan musibah seperti ini. Baru akan terpejam, terdengar bel rumah berbunyi. Aku diam saja, masih memejamkan mata. Aku pikir Mbok Jur nanti akan membuka, tapi bunyi bel sudah berulang kali. Mengapa Mbok Jur tidak kunjung datang?\r Akhirnya, aku menyusulnya ke dapur. Kukatakan ada tamu di depan. Sedikit berlari,dia menuju ke depan untuk membuka pintu, sedangkan aku berdiri di belakang Ibu yang sedang merangkai bunga untuk disusun ke dalam vas.

\n

“Bunganya cantik, kayak yang merangkai.”


 

\r

“Kamu itu, ya. Iso wae buat ibumu ini berbunga dan merasa bahagia.”


 

\r

Aku tersenyum seraya sedikit membungkuk, karena memeluk tubuh Ibu dari belakang. Beliau masih tampak asyik merangkai bunganya. “Tidak merayu loh. Beneran.”


 

\r

“Halah!” protesnya sambil mengibaskan bunga plastik di depan wajahku. \r

Tidak berapa lama, Mbok Jur memanggil Ibu. Karena Ibu masih sibuk dengan kegiatannya, akhirnya aku yang mendekat. Wanita yang sudah mengabdikan diri berpuluh tahun pada keluargaku itu mengatakan kalau ada wanita asing yang mencari Ibu di luar.


 

\r

Aku segera keluar untuk menemuinya. Kubuka pintu lebih lebar, dan melihat seorang wanita dengan penampilan yang sangat sederhana berdiri membelakangi pintu. “Maaf, cari siapa, ya?” tanyaku.


 

\r

Dia berbalik dan menatapku. Wajahnya penuh dengan peluh, tampak sekali kalau wanita ini kelelahan. Kuperhatikan lebih saksama penampilannya. Bahkan kaus kaki yang dipakainya sudah terlihat robek di beberapa bagian. Menyadari aku memperhatikan bagian kakinya, dia segera menyembunyikannya. Sedangkan kedua tangannya memeluk kantung keresek berwarna hitam.


 

"Saya mau bicara sama Bude Nur Fatmawati, Mas. Ada?"


 

\r

"Kamu siapa?"


 

\r

"Saya anaknya Ibu Halimah. Dari Nganjuk, Jawa Timur.”


 

\r

“Oh, temannya ibu saya?”


 

\r

“Ibu?”


 

\r

“Ya.”


 

\r

“Kalau boleh tahu, Mas ini siapa, ya?"


 

\r

"Saya Bagus. Bagus Cahyo Purnomo. Anak bungsunya Ibu Fatmawati."