Contents
Hilarity at OR
4
Pagi selalu menjadi waktu yang sibuk bagi setiap pekerja di semua sektor. Tidak terkecuali para pekerja yang bekerja di sektor pelayanan dan kesehatan masyarakat. Sedari tadi pintu lobi utama tidak pernah sepi dilintasi manusia, wajah-wajah sibuk dan serius itu beberapa kali melintas. Secara cepat berbondong-bondong berjalan ke arah lift, menunggu lift dari lantai atas tiba.
Noriaki baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift, diikuti beberapa orang setelahnya yang berebut dengan sopan agar kebagian tempat di kubikal kecil itu. Noriaki memilih berdiri di belakang agar yang lain bisa kebagian tempat. Saat membalikan badan, ia mendapati Kaito dan Miho masuk ke dalam lift yang sama dengannya. Diikuti dengan beberapa orang perawat wanita, seorang dokter gigi tengil, Mizuhara Sato.
“Selamat pagi.” sapa Noriaki dengan ramah dan hangat pada Kaito dan Miho. Sepasang kekasih itu tersenyum dan membalas sapaan pagi hari dari Noriaki.
“Besok adalah jadwal operasi Nona Yamada Yuriko ‘kan?” tanya Noriaki memastikan kembali.
“Ya Anda benar, Dokter Kawata. Hari ini kita akan rapat terakhir sebelum memulainya esok.” jawab Kaito dengan mantap.
“Kalian berdua selalu lengket ya, The Aces.” celetuk Sato yang berdiri baris paling depan pada Kaito dan Miho. Sato adalah orang yang dekat dengat Kaito di rumah sakit ini selain Miho.
Tidak ada sejarah di masalalu jika keduanya pernah saling mengenal atau berteman, tapi Sato sering mengganggu dan meledek Kaito yang selalu tampak kaku dan tegang jika berhadapan dengan kekasihnya sendiri meskipun mereka sedang di rumah sakit. Kaito juga sering tanpa sengaja mendengarkan ocehan dokter gigi itu mengenai cara membuat hubungannya dengan Miho bisa terus dan semakin hangat dan romantis. Bahkan Sato yang mengajari ahli bedah jantung itu bagaimana menggunakan tangga darurat rumah sakit untuk berduaan dengan Miho meski hanya saling bersandar di bahu satu sama lain.
“Selamat pagi, dokter Mizuhara!” sapa Miho dengan ceria, Kaito tersenyum lebar.
“Bagaimana dokter Nakatani? VC-annya berhasil?” kembali Sato memancing rapor dari anak muridnya. Noriaki tidak berkata sepatah kata pun di ujung lift, di kepalanya masih dihantui pertanyaan yang kemarin belum ia dapatkan jawabannya. Dari tadi ia sedikit terperangah saat Sato memulai pembicaraan. Ia mulai berspekulasi dan membayangkan hal-hal yang mungkin saja terjadi di antara Kaito dan Miho.
Miho sedikit salah tingkah saat mendengar pertanyaan konyol Sato. Ia menyadari jika di dalam lift ini juga ada Noriaki yang harus ia sedikit jaga perasaannya.
“Ya berhasil kok. Tadi malam aku dan dokter Ogasawara melakukan VC untuk membahas operasi kami besok. Seperti biasa.” jawabnya.
“Ya! Benar sekali!” sahut Kaito.
Sato menoleh ke belakang, ia melihat wajah baru di sudut lift. Pria tampan bertubuh tinggi, dengan paras yang lebih seperti pria Siberia atau Eropa.
“Anda pasti si dokter tampan yang sedang dibicarakan oleh para perawat.” kata Sato menebak. “Aku Mizuhara Sato, dokter gigi.”
“Salam kenal, aku Kawata Noriaki. Dokter kandungan, bedah obgyn, dan bedah neonatal.” jawab Noriaki dengan senang. “Memangnya apakah aku seterkenal itu sekarang?” Noriaki bertanya penasaran.
“Tampaknya begitu. Benar ‘kan?” Sato bertanya pada 3 perawat cantik yang ada di sebelahnya. Ketiganya hanya tersenyum sumringah.
Sebelum memulai prakteknya di ruangan poli kandungan, Noriaki mempersiapkan dirinya terlebih dahulu dengan memakai jubah kebanggaannya, dan merapikan meja prakteknya. Tak lupa ia membetulkan posisi satu action figure gundam kesayangannya yang berukuran kecil di sudut meja. Terakhir, ia mengalungkan stetoskopnya di leher sebelum perawat memanggilkan pasien pertamanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.
Pasien pertamanya hari ini adalah seorang wanita berusia 23 tahun bernama Tsugaru Hisako. Dari pertama masuk ke dalam ruangan dan mendapati wajah tampan Noriaki, Hisako sudah terlihat senang. Tak pernah ia bertemu dengan dokter serupawan ini. Hisako tidak datang sendirian, ia datang bersama sang ibu, Tsugaru Momoko.
“Boleh Anda ceritakan keluhan yang dirasakan?” tanya Noriaki yang siap mencatat di dalam medical record milik Hisako.
“Hmmmm.” Hisako berpikir sejenak, ia masih segan menceritakan apa yang dirasakan meski sudah bertemu dengan ahlinya tepat di hadapannya. “Gimana ya aku menceritakannya?”
Hisako bukan pasien pertama Noriaki yang awalnya enggan menceritakan masalah kandungan dan kewanitaan padanya.
“Ceritakan saja, Tsugaru-san. Jangan sungkan.” kata Noriaki dengan tenang dan ramah. Tiba-tiba, raut wajah Hisako berubah, ia tampak bingung, dan langsung memegang erat serta memeluk Momoko dengan tiba-tiba. Tak lama, terdengar suara desahan yang keluar dari mulut wanita muda itu. Itu terjadi sekitar 30 detik hingga 1 menit. Noriaki terdiam dengan keterkejutannya, ia belum mendapatkan kasus yang seperti ini. Noriaki melirik pada perawatnya yang berdiri di sebelahnya, keduanya tampak kaget.
“Tenang, Hisako-chan.” kata Momoko pelan. Wanita paruh baya itu tersenyum sumringah pada Noriaki, dengan tawanya yang datar dan kaku tanpa irama. “Inilah keluhannya, dokter.” sambung Momoko sambil mengelus-elus pundak sang anak.
“Orgasme secara spontan…” kata Noriaki sambil menuliskan sesuatu di medical record yang ada di tangannya. “Ada lagi?” tanyanya kembali.
Hisako mencoba menenangkan dirinya, menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskan perlahan.
“Jantungku terasa berdebar, dan maaf… bagian itu terasa seperti ditusuk jarum.” jawab Hisako, wajahnya lantas memerah.
“Basah atau tidak?” tanya Noriaki lebih rinci, tangannya masih lincah menuliskan sesuatu di atas kerta. Hisako mengangguk pelan.
“Uhn.” jawabnya singkat.
“Seberapa sering ini terjadi dalam sehari, seminggu, atau sebulan?”
“Sekitar 10 sampai 15 kali dalam sehari.” jawab Hisako. Noriaki diam sejenak, pasti melelahkan sekali bagi seorang wanita harus merasakan hal yang tidak seharusnya ia rasakan meskipun itu adalah hal yang menyenangkan.
“Apakah itu terjadi setelah Anda mendapat ransangan, atau tiba-tiba saja terjadi?”
“Tiba-tiba saja terjadi.” jawab Hisako.
“Tidak ada sedikitpun yang merangsan? Suara? Makanan? atau yang lain?” Noriaki masih bertanya mencoba memastikan. Hisako mengerinyitkan keningnya sejenak.
“Sepertinya tidak.”
“Sebelumnya apakah Anda pernah memeriksakannya ke dokter?”
“Belum. Ini adalah yang pertama.”jawab Hisako. Noriaki membaca kembali semua yang ia tulis dan dengarkan dari penjelasan Hisako. Diletakannya pena berwarna hitam itu di atas meja.
“Baiklah. Mari kita periksa ya.” katanya dengan senyumnya yang mempesona. Perawat mengarahkan Hisako untuk berbaring di atas ranjang periksa, Noriaki bersiap dengan memasang sarung tangan medisnya yang berwarna merah muda. Merah muda tampaknya menjadi warna ikon untuk departemen kebidanan. Selama pemeriksaan berlansung paling tidak, Hisako telah 3-4 kali orgasme secara spontan, jujur ini membuat Noriaki agak kikuk menghadapinya.
Saat Noriaki memeriksa Hisako dengan stetoskopnya, ia menemukan luka bekas jahitan di bagian punggung bawah.
“Maaf, apakah ini bekas jahitan operasi?” tanya Noriaki pada Hisako dan Momoko. Momoko agak terkejut, ia tidak tahu jika ditubuh anaknya terdapat bekas jahitan operasi. Momoko memperhatikannya.
“Kau memiliki luka ini? Ibu tidak tahu.” ucap Momoko.
“Mmm… tahun lalu aku terjatuh di tangga di…..” kata Hisako yang sedang mencoba menyembunyikan sesuatu dari ibunya. “Di…. kantor saat aku bekerja.” sambungnya terbata-bata. Noriaki mendapati kebohongan yang dibuat oleh Hisako, ia tahu betul mana luka bentur yang disengaja maupun tidak disengaja.
“Benarkah? Kenapa kau tidak bilang pada ibu?” Momoko masih tak percaya.
“Untuk apa? Bukankah itu hanya merepotkanmu saja?” jawab Hisako dengan nada suara malas. Sepertinya hubungan antara anak dan ibu ini tidak begitu baik, hingga membuat Hisako mampu merahasiakan cedera besar seperti ini, pikir Noriaki.
Setelah pemeriksaan selesai, Noriaki memberikan surat keterangan untuk Hisako agar melakukan rontgen pada bagian pinggulnya yang mana terdapat bekas jahitan operasi.
“Setelah ini, kau bisa mendatangi bagian rontgen untuk memeriksa bagian pinggulmu. Aku mengkhawatirkan jika penyebabnya berasal dari situ.” kata Noriaki memberikan secarik kertas pada Hisako, Hisako menerimanya dan terdiam.
“Apakah ini baik-baik saja, Dok?” tanya Hisako.
“Kondisi seperti ini memang tidak nyaman bagimu, aku memahami itu. Untuk itu aku akan membantumu agar bisa seperti semula dan kembali baik-baik saja.” jawab Noriaki dengan senyumnya yang ramah, berharap bisa menenangkan rasa was-was Hisako.
Hisako dan ibunya keluar dari ruang periksa Noriaki. Noriaki dan perawatnya sama-sama tak menyangka akan mendapatkan pasien dengan kasus yang jarang terjadi seperti itu.
“Ini adalah kasus ke tujuhku untuk urusan orgasme secara spontan. Dan ini jarang sekali terjadi, atau meskipun ada, banyak yang memilih untuk diam dan menikmatinya.” ucap Noriaki, ia menekan dua kali bagian atas botol berisi gel disinfektan ke telapak tangannya, dan mengusapkannya ke seluruh telapak tangan.
“Aku pun melihat saja bisa merasakan bagaimana melelahkannya.” ucap perawat muda itu.
“Aku merasakan ada yang janggal tadi.” kata Noriaki pada perawat. Luka di pinggul Hisako tampaknya bukan luka karena terjatuh di tangga. Jika itu adalah luka karena jatuh di tangga, tentu ada bagian lain di bagian tubuh belakang di sekitar pinggul yang juga memiliki bekas luka, punggung misalnya. Luka yang dialami Hisako tampaknya sebuah kesengajaan. Tapi apakah mungkin, Hisako sengaja melukai pinggulnya untuk mendapatkan kepuasan dari orgasme? Ah! pikirannya terlalu jauh. “Tolong panggilkan pasien selanjutnya.” pinta Noriaki.
Berpindah pada Kaito yang sedang visite pasien pagi ini bersama segerombolan mahasiswa intern dan residen yang mengekorinya kemana pun ia pergi. Sebagai bentuk apresiasi pada dokter senior, beberapa diantara mereka membawakan tumpukan medical record milik pasien. Kaito sama sekali tak membawa apapun di tangannya.
Hanya Daisuke yang tidak turut membawakan banyak tumpukan berkas itu, pemuda ini paling anti terlalu banyak membantu orang yang sombongnya melebihi ketinggian Burj Khalifa ataupun Tokyo Sky Tree. Ia hanya membawa satu berkas saja. Masuklah rombongan itu ke dalam bangsal khusus pasien bedah. Bangsal yang berisi 6 pasien, dua di antaranya adalah pasien yang akan Kaito operasi jantungnya dalam minggu ini. Kaito berjalan mendekati ranjang pasiennya yang berada di pinggir jendela. Seorang laki-laki berusia 50 tahun, berkacamata, dan berambut plontos yang telah memutih.
“Selamat pagi, Suzuki-san.” sapa Kaito dengan ramah, tak lupa senyum mahal menawannya ia berikan untuk pasien tercinta. “Bagaimana keadaan Anda pagi ini?”
“Selamat pagi, dok. Keadaanku baik-baik saja, dada dan punggungku tidak sesakit dua hari lalu.” jawabnya. Suzuki menatap Kaito dengan penuh harapan jika pria ini bisa menyembuhkan dan mengobatinya.
“Berikan aku MR milik Suzuki-san.” pinta Kaito dengan suara pelan saat menoleh pada mahasiswa internnya. Empat mahasiswa itu memeriksa nama pada berkas yang mereka pegang. Terlalu lama, Kaito tahu siapa yang memegang MR miliki Suzuki. “Nikaido, berikan aku berkasnya.”
Daisuke memberikan berkas itu pada Kaito dengan wajah datar. Kaito membaca sekilas laporan perkembangan terakhir Suzuki. Tidak ada masalah.
“Kondisi Anda sudah jauh lebih baik ya. Syukurlah.” ucap Kaito sambil membaca kembali berkas di tangannya. “Tapi aku akan memeriksa Anda lagi ya. Permisi.” Kaito mengeluarkan stetoskopnya dan memasangnya di kedua telinga.
Salahsatu mahasiswa internnya, Akio Fujigaya membantunya membukakan kancing baju Suzuki, tiga kancing paling atas. Setelah kancing terbuka, barulah Kaito meletakan ujung stetoskopnya di dada kiri Suzuki, dan sekaligus meminta pria tua itu menarik nafas dan membuangnya perlahan.
Sebagai dokter yang baik, Kaito menjelaskan prosedur operasi apa yang akan ia pakai saat mengoperasi Suzuki. Ia selalu membawa kertas gambar berisi gambaran jantung buatannya yang dibuat dengan pensil warna. Tantangannya adalah ia harus mampu menjelaskan dengan cara yang mudah dimengerti oleh orang awam.
“Baiklah, Fujigaya-kun tolong awasi kondisi Suzuki-san, dan kau boleh ikut dalam operasiku lusa.” kata Kaito dengan percaya diri saat mereka keluar dari bangsal. Akio senang karena ia mendapat tantangan dan kesempatan baru dari idola dan panutannya.
“Bagaimana denganku, Dokter?” tanya Daisuke merasa tak adil karena dialah yang memegang dan memberikan MR milik Suzuki tadi.
“Kau mau ikut operasi denganku?” Kaito terus berjalan, tanpa menoleh pada Daisuke.
“Kalau tidak boleh, tidak jadi masalah buatku, dokter.” kata Daisuke yang kesal. “Aku bisa ikut operasi dengan Dokter Nakatani atau dokter lain.” sambungnya dengan cuek. Ini sebenarnya tidak menjadi masalah besar bagi Daisuke, untuk apa ia menghabiskan waktu dan tenaganya bersama orang sombong seperti Kaito. Ada banyak dokter bedah lain yang jauh lebih hebat dan lebih rendah hati dari Kaito, pikirnya.
Kaito menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menoleh pada Daisuke. Akio, Hibiki, dan Ichiro menahan nafas mereka, takut terjadi baku hantam antara Kaito dan Daisuke. Mereka sadar sikap Daisuke sangat berpotensi memancing amarah Kaito.
“Hari ini, Nona Yamada sesuai jadwal akan mulai masuk rumah sakit. Aku menugaskanmu untuk memantau perkembangan kondisinya hingga operasinya selesai.” kata Kaito. Daisuke menatapnya terdiam, tak menyangka pancingannya berhasil ditangkap oleh Kaito. Dalam hati, di sisi lain Daisuke merasa keputusan tiba-tiba yang diambil Kaito barusan adalah bentuk ledekan Kaito padanya. Namun di sisi lain, Daisuke merasa tertantang dan ingin menunjukkan kehebatannya pada Kaito.
“Baik, Dokter. Pertama, saya harus konfirmasi terlebih dahulu dengan Dokter Nakatani.” jawab Daisuke.
“Sebenarnya itu tidak perlu, Nakatani berada di bawah pengawasanku. Tapi, jika kau rasa itu perlu lakukan saja.” ucap Kaito dengan senyum timpangnya “Ohya aku hampir lupa, kau harus menunjukkan attitude baikmu pada pembimbingmu, dan oranglain.” sambungnya dengan suara yang pelan. Nasehat Kaito pada Daisuke terdengar oleh 3 mahasiswa intern lainnya. Mereka menelan ludah saat Kaito mengucapkan kata ‘attitude pada oranglain’. Tak habis pikir, mengapa teman seperjuangan mereka ini sangat suka mencari gara-gara dengan Kaito.
Gerombolan mahasiswa intern itu berjalan membawa mampan berisi menu makan siang mereka, berjalan menuju satu meja kosong di tengah kantin rumah sakit.
“Aku heran mengapa Dokter Ogasawara memberikan kasus Suzuki-san padamu, Fujigaya.” Daisuke bertanya-tanya sambil menyantap nasi kare miliknya dengan suapan penuh semangat. “Padahal aku yang membawakannya MR itu.”
“Lagipula itu juga salahmu. Kau selalu menyiram bensin pada sebatang korek api yang menyala di hadapan Ogasawara-sensei.” celetuk Akio menyantap hot dog di tangan kanannya. Tanggapan Akio ini langsung diiyakan oleh Hibiki dan Ichiro.
“Dia masih belum bisa move-on dari kejadian kemarin? Wah lucu sekali dia.” celetuk Daisuke dengan cuek tak peduli omongannya disetujui atau tidak oleh teman-temannya. Satu yang pasti ia bukan tipe penjilat yang akan menjilat pantat seseorang demi sebuah keberhasilan, apalagi itu adalah pantat dari orang yang paling ia benci. “Kalian lihat ‘kan bagaimana sombongnya dia saat menerima saran dariku kemarin. Aku hanya bertanya hal yang sesederhana seperti menyiapkan rencana B jika rencana A gagal.”
“Beruntunglah kau karena pembimbingmu bukan Ogasawara-sensei.” kata Hibiki menepuk pundak Daisuke.
Noriaki membawa sebuah mampan kosong, ia berdiri di depan meja kasir sembari memilih menu makan siangnya kali ini. Obrolan 4 mahasiswa intern itu samar-samar terdengar oleh telinga Noriaki. Setelah mendapatkan nasi goreng, air mineral, dan sebotol susu segar, Noriaki berinisiatif untuk bergabung dengan 4 calon dokter itu. Ia tidak duduk di meja yang sama karena meja persegi itu telah penuh di isi oleh 4 orang, maka Noriaki memilih untuk duduk di meja sebelahnya.
“Perbincangan kali ini kedengarannya sangat seru.” sapa Noriaki pada gerombolan itu. Keempatnya terperangah sedikit kaget, langsung menoleh pada Noriaki yang duduk di meja di sebelah meja mereka.
“Gak kok, kami hanya membicarakan soal pekerjaan.” kata Hibiki sambil tersenyum. Noriaki duduk, dan mulai menyantap makan siangnya.
“Pekerjaan yang terasa sulit karena dokter yang satu itu.” gerutu Daisuke.
“Siapa?” Noriaki sok bertanya, ia hanya memastikan jika Kaito adalah topik utama para mahasiswa kali ini, sesuai apa yang telinganya tangkap tadi. “Bukan aku ‘kan?”
“Bukan…. Bukan Anda kok.” ucap Ichiro tak enak hati, diiyakan langsung oleh ketiga temannya.
“Kawata-sensei, mulai hari ini Ogasawara-sensei menugaskanku untuk memantau perkembangan kondisi Nona Yamada jika ia masuk rumah sakit hari ini. Aku mohon bimbinganmu sebagai dokter obgyn yang ikut dalam kasus ini.” kata Daisuke dengan sopan dan semangat, jauh berbeda saat ia berhadapan dengan Kaito.
“Oh jadi kalian sedang membicarakan Ogasawara-sensei ya.” Noriaki mengangguk.
“Iya.”
“Aku tak pernah paham setiap kali bekerja dan berhadapan dengannya.” curhat Daisuke.
“Hmmmm….” Noriaki bergumam, meminum seteguk air mineral dalam botol. “Dia kelihatannya orang yang keras dan disiplin ya.” sambung Noriaki.
“Banget.” sahut keempat mahasiswa itu bebarengan.
“Meskipun dia adalah panutan dan idolaku, terkadang aku bisa menahan sakit perut jika ikut operasi dengannya. Salah satu gerakan saja, ia bisa memakiku.” ucap Akio.
“Lalu kalau begitu berhentilah mengidolakannya.” ledek Daisuke dengan senyuman kebenciannya.
“Menurutku, wajar jika sangat disiplin dan keras, apalagi soal pekerjaan. Kalian tahu dong kenapa. Mungkin kalian harus mengenalnya sebagai seseorang di luar pekerjaan.” kata Noriaki memberi saran. Ia telah banyak bertemu tipe orang seperti Kaito di sepanjang karir dokternya, dan ia rasa wajar jika Kaito memiliki sikap seperti itu. Dan, ia tahu setiap orang memiliki kadar displin dan keras dalam diri mereka masing-masing. Setiap orang tentu tahu kapan harus bersikap disiplin dan keras.
“Kenapa Anda tidak terlihat disiplin dan keras seperti dia?” tanya Daisuke penasaran.
Noriaki tertawa kecil dalam hati, Daisuke belum melihatnya dalam versi Noriaki Kawata si disiplin, lantaran Daisuke belum pernah melihatnya bekerja di dalam ruang operasi, berjuang membantu para ibu melahirkan para bayi pembawa kehidupan baru. Rekan-rekan sejawatnya di Amerika tahu bagaimana disiplinnya pria Kawata ini saat bekerja. Noriaki memang akan bersikap lebih santai dibandingan Kaito, ia jauh lebih lunak menghadapi sesuatu yang tidak bisa tolerir. Ia bahkan tidak pernah marah bahkan membentak, tapi di sinilah letak seramnya seorang Kawata Noriaki.
“Karna kau melihatku saat aku sedang beristirahat makan siang, Nikaido.” jawab Noriaki dengan senyum simpulnya. Terlihat bercanda, tapi memang benar adanya.
“Bener sih.” sahut Hibiki dengan tawanya yang renyah. Noriaki hanya ikut tersenyum menanggapinya.
“Hebat ya Nakatani-sensei mau bertahan dengan orang seperti Ogasawara-sensei.” kata Akio sambil memtar-mutar garpu pastanya, dan menyuapkannya ke dalam mulutnya. Antena Noriaki tiba-tiba langsung berdiri ketika mendengar nama Miho dan Kaito disebutkan. Saatnya ia memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama. Siapa tahu kali ini beban pikiran pertanyaan di kepalanya perlahan bisa terjawab. Kata kunci yang ia tunggu kejelasannya adalah ‘Bertahan’.
“Iya, setia lagi. Padahal aku sering melihat mereka berdebat. Bukankah pasangan itu harus saling memahami dan mengalah ya?” tambah Hibiki.
Ada sesuatu yang menumbuk dada Noriaki secara pelan ketika mendengar kata ‘pasangan’, meski ia belum tahu pasangan seperti apakah yang dimaksud Hibiki. Bisa pasangan kerja atau yang lain.
“Oh maaf, kalau terus-terusan mengalah pada pasangan aku juga tidak mau.” kata Ichiro.
“Dasar egois sekali.” gerutu Hibiki, ia jelas bisa merasakan jika berada di posisi Miho sebagai sesama wanita.
“Kalau tidak egois, bukan pria namanya, Hibi-chan!” ledek Ichiro.
“Bukankah hubungan mereka tampak membosankan? Tidak terlihat mesra sama sekali.” kata Daisuke. Noriaki semakin bingung dan semakin tidak sanggup membendung rasa penasarannya soal topik baru yang sedang mereka bahas. Apa maksudnya dengan ‘pasangan’, ‘mesra’. Akankah yang dikhawatirkan dan anggapannya selama ini benar?
“Masa’ mau mesra-mesraan di depan pasien. Tidak begitu dong.” tanggap Hibiki. Noriaki tak tahan, ia nekad bertanya apa maksudnya.
“Sebentar….” kata-kata Noriaki terhenti sejenak, suara terdengar tergesa-gesa. “Apa maksud kalian dengan pasangan mesra?”
Empat mahasiswa intern itu terdiam memandangi Noriaki. Mereka sadar jika Noriaki adalah orang baru di rumah sakit ini, pasti belum mengetahui soal The Ace Couple kebanggaan Rumah Sakit Universitas Meishin itu.
“Iya, pasangan.” Daisuke kembali menekankan kata itu.
“Pasangan apa maksudku.” Noriaki mulai mendesak.
“Ya pasangan kekasih. Memangnya ada hal yang lebih mesra dari itu?” jawab HIbiki menambahkan dan menekankan jawaban Daisuke. “Maaf, saya hampir lupa jika Anda baru di rumah sakit ini. Mereka berdua adalah The Ace Couple kebanggaan rumah sakit ini.”
Noriaki terdiam.
TERDIAM.
Kemungkinan-kemungkinan terburuk yang berputar-putar di kepalanya sejak kemarin terjawab juga. Tuhan, apakah aku salah berdoa padaMU agar ia jatuh kepelukanku lagi? lirih Noriaki dalam hati.
“Mereka juga telah bertunangan selama setahun.” tambah Akiko
DEG
DEG
DEG
Satu tumbukan lagi di dada Noriaki. Semua gelagat mesra antara Miho dan Kaito yang ia tangkap sejak kemarin memberinya jawaban. Raut wajah Noriaki jelas terlihat kaku seperti usai disiram oleh satu liter air es. Kenyataan ini tentu membuatnya sakit, tapi ia tidak menyesali apa yang sejauh ini ia telah lakukan, jauh-jauh pindah bekerja dari Amerika ke Jepang hanya untuk Miho Nakatani seorang.
Tunggu, yang kini bicara dengannya adalah sekumpulan mahasiswa yang tidak begitu memahami apa yang terjadi di antara Miho dan Kaito. Para mahasiswa ini juga baru sekitar 1-2 tahun berada di sini, mungkin saja ini hanya anggapan dan tebakan mereka saja. Jika ia pikir-pikir lagi, ada benarnya juga. Masa sih ada dua orang yang sedang berteman bisa berinteraksi seolah mereka lebih dari teman?