Contents
Hilarity at OR
3
Beberapa anggota tim operasi Kaito telah menunggu Kaito di ruang operasi. Mereka menunggu kedatangan Kaito, Miho, dan Naoto masuk ke ruangan penting itu. Pasien mereka seorang pria berusia 40 tahun telah siap berbaring di atas meja bedah di tengah ruangan. Tak lama, pintu ruangan operasi terbuka otomatis, 3 orang yang mereka tunggu masuk, dan langsung berdiri di posisi masing-masing. Tiga dokter itu telah menggunakan pakaian operasi yang lengkap di tubuh mereka.
Kaito memperhatikan sekelilingnya, memastikan semuanya sudah siap.
“Baiklah, kali ini kita akan melakukan operasi jantung dengan prosedur bypass. Ayo kita mulai!” kata Kaito dengan mantap. “Pisau bedah.” Kaito menadahkan tangannya kepada perawat operasi.
Salahsatu syarat menjalani operasi yang menyenangkan dengan seorang Kaito bagi timnya adalah jangan coba lakukan sedikit kesalahan, misalnya perawat operasi salah memberikan peralatan. Usahakan jangan mengobrol topik di luar operasi sebelum Kaito yang memulainya. Kaito memberlakukan aturan tidak tertulis itu agar pekerjaan mereka berjalan dengan baik dan lancar, sehingga nyawa pasien bisa terselamatkan. Kaito juga tidak mau terjadi kekacauan selama ia dan timnya bekerja. Jika sudah kacau di awal pasti akan mengganggu untuk seterusnya.
Dada pasien telah terbuka lebar, kini saatnya memasangkan mesin khusus yang membantu sirkulasi darah dan oksigen dalam tubuh. Pemandangan seperti ini telah ratusan kali Kaito saksikan di depan matanya. Operasi bypass menjadi operasi yang paling sering ia lakukan. Keseriusan sang kepala bedah terlihat dari sirat tatapan matanya yang tajam, meskipun separuh wajahnya ditutupi oleh masker. Mata adalah jendela perasaan, dari mata kita bisa tahu apa yang dirasakan oleh seseorang.
Miho membantu memegang alat penting dan dibutuhkan lain oleh Kaito yang tidak bisa Kaito pegang dengan kedua tangannya. Tanpa diminta oleh Kaito, Miho sudah paham apa yang harus dilakukan. Kecakapan inilah yang membuat Kaito semakin mengagumi Miho, baik sebagai rekan kerja maupun kekasih. Titik tertinggi dari sikap pengertian dan peduli adalah memberikan atau melakukan sesuatu sebelum oranglain meminta, begitulah kira-kira.
Operasi bypass tengah berjalan di pertengahan,
Kaito merasa bosan juga jika berkomunikasi dengan timnya mengenai apa yang mereka hadapi di depan mata mereka sekarang. Kaito pun memulai pembicaraan ringan sembari terus menggerakan jarum dan benang yang ada diujung gunting bedahnya.
“Di atas ada siapa saja sekarang?” tanyanya tentang ‘penonton’ setia yang ada di ruang observasi yang ada tepat di dek di atas kepala mereka. Miho melihat ke arah dek observasi, memperjelas penglihatannya.
“Beberapa mahasiswa koas, dan dokter residen.” jawab Miho pelan.
“Nikaido-kun ada di sana?”
“Ada.” jawab Miho yang sibuk memegang pembuluh darah yang mereka ambil dari bagian paha pasien, memegangkannya untuk Kaito agar mempermudah pekerjaan mereka. “Kau mengkhawatirkannya?” ledek Miho.
“Untuk apa aku mengkhawatirkannya?” jawab Kaito, meski di hatinya ia sedikit merasa bersalah pada Daisuke atas kejadian di ruang rapat tadi, ingat sedikit. “Ohya, setelah operasi ini selesai, mari kita adakan pesta penyambutan kecil-kecilan untuk Dokter Kawata. Kalian mau ‘kan?”
Tentu saja mereka senang, si dokter galak ini mau mengajak mereka makan bersama di luar jam kerja. Semua anggota tim tersenyum di balik masker medis mereka, dan bersamaan mengiyakan ajakan itu.
“Kitayama-kun.” panggil Kaito.
“Ya! Dokter.” Naoto sigap menjawab.
“Tolong guntingkan benang ini.” pinta Kaito. Dengan sigap Naoto mengambil satu gunting baru yang masih steril dan menggunting benang yang dimaksud. Kaito iseng saja menyuruh juniornya itu, padahal ia ataupun Miho bisa melakukannya. “Makasih. Ohya, nanti bisakah kau membantuku mencarikan tempat makan untuk pesta itu?”
“Dengan senang hati aku akan membantu Anda.” jawab Naoto manut.
Pilihan Naoto jatuh pada Izakaya sebagai tempat mereka mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan untuk rekan kerja mereka yang baru, Kawata Noriaki. Mereka yang datang adalah Kaito, Miho, Naoto, Noriaki, Rinko, Mariya, dan Kazuki. Ketujuh orang ini duduk lesehan mengitari sebuah meja panjang di tengah ruangan yang disekat pendek. Kaito dan Miho duduk bersebelahan di sisi meja yang berbeda, sedangkan Noriaki duduk di sisi meja seberang yang berhadapan denga Miho. Semuanya telah memesan makanan masing-masing, tak lupa bir sebagai minuman utama mereka. Di atas meja panjang meja itu terhidang berbagai cemilan dan makanan utama, ada edamame, gyoza, yakitori, karage, hingga yakisoba. Noriaki memesan makanan diet kesukaannya Agedashi Tofu.
“Tadi kau bilang, kau dan Kawata-sensei berteman saat kuliah ya?” tanya Kaito sambil mengambil satu tusuk yakitori dan kemudian menguyahnya.
“Iya, kami juga sempat praktek koas bersama.” jawab Miho santai, ia meneguk bir dingin.
“Kami berdua bersahabat.“ tambah Noriaki, entah apa maksudnya dengan penegasan tentang hubungan mereka berdua yang levelnya di atas teman biasa, sahabat.
“Benarkah? Aku tidak tahu jika kalian bersahabat. Miho tidak pernah menceritakannya padaku.” Kaito heran.
“Tidak semua hubungan persahabatanku harus kuceritakan padamu.” tanggap Miho.
“Ngomong-ngomong, kenapa sih Anda rela meninggalkan karir Anda di Amerika dan bekerja di Jepang? Kalau aku mendapatkan kesempatan luarbiasa bekerja di Amerika, mungkin aku tidak akan kembali ke Jepang.” tanya Mariya dengan semangat, matanya berbinar saat melhat pada Noriaki yang baginya memiliki ketampanan yang sesuai dengan seleranya.
“Memangnya ada rumah sakit di sana yang mau mempekerjakanmu sebagai perawat operasi?” ledek Kazuki sambil menyenggol lengan Mariya dengan sikutnya.
“Kalau bisa kenapa tidak? Dokter Ogasawara bisa merekomendasikanku.” ucap Mariya percaya diri. “Bagaimana dokter Kawata?”
“Hm?” Noriaki baru saja kembali dari lamunannya usai tercenung mendengar pertanyaan yang saat ini harus berbohong sedikit untuk menjawabnya. “Ya karena aku ingin bekerja di Jepang. Ada banyak hal yang bisa kulakukan di sini dengan ilmu dan kemampuan yang aku punya.”
Noriaki melirik pada Miho yang ada di depannya. Dadanya bergejolak ingin memuntahkan semua yang ada di dalam, mengatakan ke semua orang kalau Miho adalah alasan utamanya. Rinko medapati tatapan Noriaki pada Miho, sejak kemarin ia sering melihat hal seperti ini saat Noriaki bersama dengan Miho. Ia tahu, tatapan Noriaki pada Miho bukanlah tatapan biasa, tapi apa ya kira-kira? Kini matanya bergulir memperhatikan Kaito dan Miho, jelas baginya dan pegawai rumah sakit lain jika Miho dan Kaito adalah sepasang kekasih yang baru bertunangan.
“Apakah dokter di Amerika itu tampan-tampan?” tanya Mariya iseng, ditumpangkan dagunya di telapak tangannya di atas meja, memerhatikan Noriaki untuk mendapatkan jawaban.
“Lha memang dokter di Jepang itu jelek-jelek?” Kazuki kembali menyahut.
“Wah kalau menurut Mariya-chan dokter di Jepang itu jelek-jelek, aku tersinggung sih.” tanggap Kaito bercanda, ia tertawa pelan disambut tawa yang lain juga. Mariya tak enak hati jika sudah begini, ia meluruskan maksud dari pertanyaannya tadi.
“Maksudku pria Kaukasian itu memiliki ketampanan yang berbeda. Bukan begitu, Izumi-sensei.” kini giliran Rinko yang ia tanyai.
“Hmmm… iya sih, tapi aku tidak peduli.” jawab Rinko yang mengupasi edamamenya.
“Mereka tampan dan hebat kok, kau bisa lihat buktinya di sini.” kata Noriaki dengan senyuman manisnya yang berhasil membuat wajah Mariya merah merona. “Tapi jika kau ingin berkarir di sana, itu mungkin saja bisa terjadi. Hanya perlu bekerja lebih keras dan terus belajar.” Noriaki memberi saran.
“Benarkah? Ohya jika Anda sedang mencari perawat bedah untuk tim operasi, Anda bisa memasukanku ke dalam daftar.” kini Mariya menawarkan diri dan kemampuannya untuk bekerjasama dengan Noriaki.
“Lalu bagaimana dengan tim operasi, dokter Ogasawara?” ledek Noriaki. “Aku rasa kau akan jauh berkembang jika bersama di timnya.” sambungnya sambil memakan Agedashi Tofu yang telah ia pesan. Sontak Mariya menoleh pada sang bos, Kaito melihat padanya.
“Ogasawara-sensei, bolehkan aku bergabung dengan tim Kawata-sensei?” tanyanya dengan manis.
“Mengapa kau lakukan ini?” tanya Kaito sok serius, semuanya terdiam. Termasuk Miho yang duduk di sebelahnya. “Apa aku kurang tampan seperti dokter Amerika?” candanya dengan garing, yang tertawa lega dan datar. Guyonan garing Kaito pada rekan kerjanya memang seperti ini, kadang saking garinya malah terkesan lucu. Miho memandangi Kaito dengan penuh rasa sayang dan cinta, baginya Kaito tak kalah tampan dan menawan dengan pria Kaukasian yang menjadi favorit Mariya.
“Boleh tidak? Aku masih bisa kok membagi tenaga, pikiran, dan waktuku.” rayu Mariya.
“Bergabung dengan tim Kawata-sensei mungkin akan membuatmu bisa lebih ingin untuk menikah.” saht Kazuki.
“Oh jadi kau masih lajang?” tanya Noriaki dengan gaya yang sok terkejut berbalut kepiawaannya menggiring perasaan seorang wanita. Lady Killer mode on.
“Lebih tepatnya aku menikah dengan pekerjaanku sendiri.” sangkal Mariya.
“Usoooo…” ucap Noriaki.
“Bukannya kau sedang dekat dengan seorang mahasiswa residen?” celetuk Rinko.
“Benarkah?” Kaito dan Miho terperangah. Mariya hanya tertawa. “Pantas saja belakangan ini kau sering mengajak mereka ikut menyaksikan operasi ku.” kata Kaito mengingatkan.
“Tapi tidak semuanya kok. Pasti ada di antara yang sering masuk ke ruang operasi.” Miho ikut menambahkan.
“Kalian memperhatikanku juga ya? Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan siapapun untuk saat ini.” kata Mariya menegaskan sambil tersenyum.
“Ngomong-ngomong sudah berapa kau bekerja di Amerika?” tanya Kaito penasaran pada Noriaki.
“Kurang lebih 10 tahun, sekaligus aku berkuliah spesialiasasi di sana.” jawab Noriaki.
“Hebat! Kalau boleh tahu, dimana kau melanjutkan kuliah spesialisasi?” Kaito bertanya lagi.
“Di UCLA, Los Angels.” jawab Noriaki. Kaito mengganguk pelan. “Apakah kau pernah ke sana?”
“Pernah, tapi bukan di UCLA, tapi Harvard. Aku menempuh pendidikan spesialisku di sana.”ucap Kaito dengan tingkat kepercayaan dirinya yang naik 100% saat menyebutkan betapa berpendidikannya dirinya.
“Keren ya, tim ini di isi oleh orang hebat semua.” puji Miho sambil nyengir.
“Kau juga hebat kok.” puji Kaito kembali “Meski sangat sulit bagimu merebut posisiku sebagai head surgeon.” ledeknya.
“Awas ya aku akan berdiri di posisi itu di ruang operasi yang sama denganmu.” kata Miho yang reflek memukul pelan lengan dan pundak Kaito dengan manja. Kaito menepis tangan Miho meskipun terlambat, ia tak suka jika pamornya sebagai dokter galak hancur di hadapan semua orang. Lagi-lagi, Noriaki diam dan memperhatikan apa yang dilakukan Miho di depan kedua matanya.
Muncul lagi tanda tanya baru yang jauh lebih besar, apa yang terjadi? Apa hubungan antara mereka berdua? Mengapa dadanya terasa sakit seolah ada yang menumbuk dari dua arah depan dan belakang? Rinko berdehem kecil dua kali setelah memperhatikan dua sejoli itu dan memperhatikan Noriaki yang tampaknya penuh kebingungan dan keterkejutan.
“Aku tak menyangka jika Nakatani-sensei begitu ambisius dengan posisi head surgeon sekarang.” Noriaki kembali berbicara usai hampir tenggelam dalam perasaannya dan prasangkanya sendiri.
“Sebenarnya aku tidak ambisius, aku masih sama seperti dulu, Kawata-sensei.” ucap Miho membela diri.
“Lalu mengapa kau seolah ingin berebut posisi itu dengan Ogasawara-sensei?” tanya Noriaki kembali.
“Pertanyaan yang bagus. Aku juga penasaran.” Kaito memancing, ia menghabiskan tusuk terakhir yakitori miliknya.
“Mungkin karena kami memiliki tingkat kemampuan yang sama. Makanya terkadang dia merasa tersaingi.” jelas Miho.
“Dan dia jauh lebih ambisius dari yang kau kira.” tambah Rinko yang melipat satu kakinya. “Saking ambius dan perfeksionisnya, hampir semua mahasiswa koas, residen, dan dokter muda yang masuk ke dalam operasinya pasti mengeluh betapa strict-nya dia.”
Ada dua orang yang kini menyerang dan meledek Kaito, keduanya adalah perempuan. Kaito memilih mengalah jika berdebat dengan dua wanita ini, Miho dan Rinko sama-sama memiliki watak yang sama dengannya: mau mempertahankan pendapatnya mati-matian jika itu sebuah kebenaran. Lagian, wanita itu paling piawai soal mencari kesalahan seorang pria. Kaito mengeluarkan kotak obatnya yang kecil dari tasnya, mengambil beberapa butir obatnya. Miho langsung memberikan gelas miliknya yang berisikan air putih dingin dengan suka rela.
“Arigatou.” ucap Kaito pelan, dan meminum 3 butir obatnya.
Pesta kecil-kecilan ini selesai pada pukul 10.00 malam. Mereka semua keluar dari Izakaya secara bebarengan.
“Terima kasih untuk hari ini teman-teman. Maaf, aku harus pulang duluan.” kata Kaito pada teman-temannya.
“Aku juga.” kata Kazuki, Mariya, dan Rinko hampir bersamaan.
“Terima kasih juga atas penyambutannya.” kata Noriaki dengan bahagia, dan rasa syukur.
“Aku pulang dulu ya.” kata Kaito pada Miho yang berdiri di sampingnya.
“Iya, hati-hati. Setibanya di apartemen, kau harus istirahat.”
“Bagaimana aku bisa istirahat, aku sedang manik sekarang. Ingin rasanya aku berkeliling Tokyo malam ini juga.” ucap Kaito yang mengelus pundak Miho “Kapan kita bermalam bersama?” bisik Kaito. Miho tersenyum.
“Besok atau lusa. Mungkin?” jawab Miho. Kaito menggangguk.
“Jaa… aku permisi dulu. Selamat malam.” kata Kaito pada semua orang, dan kemudian berjalan menuju halte bus terdekat di ujung gang, diikuti Kazuki, Rinko, dan Mariya.
Kini hanya ada Miho dan Noriaki. Miho mengambil sepedanya yang berada di parkiran sepeda, dan kembali menghampiri Noriaki di depan mobil mewahnya. Noriaki memperhatikan Miho dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sungguh kesederhaan Miho tidak pernah berubah sejak dulu.
“Aku pulang dulu ya, Noriaki-kun!” kata Miho yang mendorong sepedanya, ia telah siap dengan helm sepeda kesayangan yang terpasang di kepalanya.
“Kau sungguh akan pulang dengan sepeda? Bukan itu melelahkan?” tanya Noriaki yang belum masuk ke dalam sedan hitam kesayangannya.
“Aku setiap hari naik sepeda dari apartemen ke rumah sakit dan sebaliknya.” jawab Miho dengan senyumannya yang lebar. Tiba-tiba, pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya seharian tadi muncul lagi dibenak Noriaki. Ia penasaran tapi rasanya tidak sopan jika menanyakan semuanya sekarang pada Miho.
“Oh begitu.” tanggap Noriaki yang tatapannya belum lepas dari Miho. “Mau ku antar pulang?” tanyanya spontan. Tidak aman jika seorang wanita naik sepeda sendirian malam-malam begini, ada banyak hal yang mengancam. Meskipun ia dengar sendiri bagaimana kebiasaan naik sepeda telah menjadi kegiatan sehari-hari yang lumrah bagi Miho.
“Hah?”
“Mau ku antar pulang?”
“Lalu sepedaku bagaimana? Ditinggal di sini?”
Benar juga, tidak mungkin Miho menitipkan sepedanya semalaman di sini, meskipun Jepang merupakan negara paling aman untuk penitipan barang. Noriaki memutar otak mencari cara lain agar Miho tidak pulang sendirian, malam ini ia harus meluang sedikit waktunya lagi dengan Miho. Ada ide bagus tiba-tiba melintas di benaknya.
Lantunan musik terdengar dari pemutar musik digital milik Noriaki yang terpasang di mobilnya. Noriaki membiarkan lagu apa saja terputar di situ, mengingat ia tidak peduli dengan isi lagu dalam playlistnya. Ia payah soal menghapal judul lagu apalagi liriknya, asalkan musiknya enak dan nyaman terdengar oleh telinganya, maka ia akan menyukainya.
“Makasih udah berbaik hati mengantarkanku pulang.” ucap Miho yang duduk di kursi di sebelahnya.
“Jangan bilang itu sekarang, ‘kan kita belum sampai ke apartemenmu.” kata Noriaki yang fokus menyetir.
“Bagasi mobilmu aman ‘kan?” kata Miho yang mengkhawatirkan kondisi bagasi mobil Noriaki saat dimasuki sepedanya. Noriaki tertawa kecil.
“Aman. Kau lupa ya kalau sepedamu itu sepeda lipat?” ledek Noriaki yang mencuri pandang pada Miho.
“Oh iya ya. Aku hampir lupa.” Miho tertawa malu.
Saat mobil Noriaki melintasi pemberhentian bus, ada seseorang yang mengetahui jika mobil yang melintas di hadapannya adalah mobil milik Noriaki, dan ia mendapati Miho duduk di kursi depan. Rinko mencoba memperjelas pandangannya meski kecepatan mobil Noriaki tidak membantunya untuk fokus melihat. Rinko, Kaito, dan lainnya masih menunggu bus di tempat itu yang akan mengantarkan mereka ke beberapa tempat yang berbeda. Rinko berpikir positif, ini adalah bentuk kebaikan hati Noriaki untuk Miho.
Noriaki mengendarai mobilnya pelan-pelan ketika Miho mengatakan jika mereka telah tiba di area sekitar apartemennya. Hingga sampailah mereka tepat di depan bangunan apartemen sederhana itu, jalanan sekitar tampak sepi, hanya satu dua orang saja yang melintas di sekitar. Noriaki mematikan mesin mobilnya, keduanya membuka sabuk pengaman yang terpasang, dan turun dari mobil. Dibantu Miho, Noriaki membuka bagasi mobilnya dan mengeluarkan sepeda Miho, membentuknya kembali seperti semula. Sesekali Noriaki memperhatikan bangunan apartemen Miho, ia tak menyangka Miho betah tinggal di tempat sederhana ini padahal gaji bulanananya cukup untuk menyewa sebuah apartemen yang lebih besar dan mewah di sebuah gedung pencakar langit.
“Makasih ya udah nganterin pulang.” ucap Miho berterima kasih, senyuman manisnya kembali menggelitik hati Noriaki dengan penuh cinta dan kebahagiaaan.
“Iya.” kata Noriaki singkat, ia memperhatikan sahabatnya itu dengan tatapan yang tak lari dari tatapan Miho. “Jadi, kau tinggal di sini ya?” sambung Noriaki yang menyandarkan tubuhnya pada mobilnya.
“Un… tidak jauh ‘kan dari rumah sakit?”
“Tidak sih, tapi kalau aku jadi kau, aku akan membeli mobil agar aku bisa lebih nyaman berangkat dan pulang bekerja. Tapi ya terserahmu, aku kenal dirimu sebagai orang yang sederhana sejak dulu.” kata Noriaki sembari mengenang. Ulasan-ulasan Noriaki tentang perjalanan persahabatan mereka mau tak mau membuat Miho ikut mengingatnya kembali. Banyak hal yang telah mereka lalui berdua sebagai sepasang sahabat.
“Ohya…..” Miho ingin mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya selama beberapa tahun.
“Ya? Apa?”
“Aku minta maaf tentang kejadian di malam terakhir kita koas dulu.” ucap Miho pelan dengan rasa tak enak hati. Noriaki tak menyangka Miho mengingat kejadian itu hingga detik ini, jelas ia yang terluka dan kecewa tapi ia tidak tahu apakah itu meninggalkan hal yang sama bagi Miho. Rasa perih itu kini tak separah dulu yang dirasakan Noriaki, penolakan Miho sudah menjadi hal yang biasa baginya. Yang menjadi pembeda adalah dulu sebelum malam itu Noriaki sering iseng mengutarakan perasaannya pada Miho, dan sering pula Miho tak begitu menghiraukan ungkapan itu. Hatinya sesungguhnya telah terlatih untuk patah hati dan terluka.
Kini semuanya terasa biasa saja, tidak ada perasaan perih dan sakit lagi. Kini Noriaki cenderung merasakan rasa rindu dan semangat untuk mendapatkan kembali hati Miho seutuhnya.
“Tak ku sangka kau masih menggingatnya, Miho. Aku pikir kau telah melupakannya.” ucap Noriaki dengan senyuman kecut, ia mengalihkan sejenak pandangannnya dari pandangan Miho.
“Bagaimana aku bisa melupakannya, aku pikir setelah itu aku akan kehilangan sahabat terbaikku.” kata Miho yang berusaha menutupi perasaan takutnya, ia tak berani menatap mata Noriaki saat menjelaskan perasaannya. Noriaki tertawa pelan saat mendengar perkataan Miho barusan alih-alih melepaskan salah tingkahnya. Jika sudah begini, sesuatu yang ada di dalam kepalanya mendesak agar mulutnya bertanya apa yang menjadi pertanyaan besar baginya hari ini pada Miho. Kini ia memberanikan diri kembali menatap mata Miho.
“Miho.” panggil Noriaki, Miho mengangkat wajah cantiknya. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tanya saja.” jawab Miho santai. Noriaki terdiam beberapa detik, ia tidak tahu harus menyusun kalimat tanya seperti apa yang sopan dan jelas tanpa menyakiti perasaan orang yang ia cintai. Bibirnya terasa membeku dalam kedinginan dan tertimbun ratusan ton es kutub utara.
“Kau dan Ogasawara, kalian tampak dekat.” bukanya dengan kalimat biasa yang jauh dari sebuah kalimat tanya yang ideal. Jujur saja, kini Noriaki memasang antenenya untuk mencurigai pria manapun yang sedang dekat dengan Miho. Ia ingin tahu siapa saja yang akan menjadi saingannya, meski ia tidak tahu siapa Ogasawara Kaito bagi Miho. “Apakah kalian memiliki hubungan spesial?”
Sebuah pertanyaan yang hanya butuh jawaban tiga kata saja, tapi sangat sulit Miho katakan pada Noriaki. Miho takut jika ia jujur pada Noriaki sekarang maka sahabatnya ini akan patah hati. Miho masih agak terkurung pada kejadian malam itu. Tawa kecil Noriaki tadi saat mendengar penjelasannya bukanlah sebuah jawaban pasti mengenai kondisi perasaan Noriaki padanya sekarang. Sebuah tawa dan senyuman bisa menggambarkan beragam perasaan.
“Ma-maaf ini sudah larut. Aku harus segera istirahat, kemarin dan hari ini sangat melelahkan ya!” Miho mengalihkan pertanyaan Noriaki, Noriaki sedikit kecewa dengan jawaban itu, jelas ada sesuatu yang disembunyikan Miho darinya.
“Oh iya, aku hampir lupa.” kata Noriaki dengan senyum dan tawanya yang garing.
“Aku permisi dulu, selamat malam, Noriaki-kun!” ucap Miho yang perlahan mendorong sepedanya dan beranjak dari hadapan Noriaki.
“Selamat malam dan selamat istirahat, Miho-chan.” sahut Noriaki.
Noriaki belum mau pergi dari apartemen Miho sebelum ia melihat dengan kedua matanya Miho masuk ke dalam apartemen sederhana itu.