Try new experience
with our app

INSTALL

Pijar & Langit 

Namanya Pijar

Pijar. Begitu nama perempuan itu.

Tak ada yang bisa membayangkan perasaanku begitu Pijar mengangguk, mengiyakan bahwa dirinya saat itu menjadi milikku. Aku sebagai Langit telah memiliki Pijar. Bukankah itu terdengar indah dan menyenangkan? Pun semua hal yang dilakukan oleh Pijar, menurutku menyenangkan. Dan bagiku, membuat dia senang, selama aku bisa, adalah kewajibanku. Itu adalah bagian dari kesenanganku sendiri.

Pijar adalah cahaya. Ke mana pun Pijar pergi, ia seperti membawa kebahagiaan ke sekitarnya. Setahun, dua tahun, tiga tahun… itulah yang kurasakan pada Pijar. Tapi siapa sangka, cahaya Pijar semakin lama semakin terang, bahkan cenderung menyilaukan. Di balik perhatiannya, sebagai anak pertama dari empat bersaudara, sikapnya begitu dominan. Ia selalu tahu apa yang ia inginkan. Dia selalu saja bisa mengalahkanku. Termasuk perasaanku padanya.

Satu hal yang aku tahu: cintanya padaku amat besar, melebihi cintaku padanya. Padahal di antara kami, aku duluan yang jatuh cinta.

“Apa yang bikin kamu bertahan sama aku? Padahal aku posesif, banyak mau,” kata Pijar ketika kami menunggu pesawat di Bandara I Gusti Ngurah Rai.

“Karena kamu sayang sama aku. Malah, kamu mungkin manusia di bumi ini yang paling sayang dan perhatian sama aku. Melebihi sayangnya Mamaku ke aku. Jadi… aku ga akan pernah ninggalin kamu. Itu namanya bodoh,” jawabku setelah berpikir beberapa detik.

“Terus, kalau aku udah ga sayang kamu… apa kamu masih akan sayang sama aku?”

Aku terdiam cukup lama, mencerna dan memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaannya. Sejujurnya aku tak tahu. Karena aku merasa selama sepuluh tahun, Pijar tak pernah tidak mencintaiku.

“Pasti ga akan sayang lagi,” Pijar cemberut.

Aku tertegun, lalu meraih tangan Pijar sambil tersenyum lebar. “Tetep sayanglah! Aku bakal bikin kamu sayang lagi sama aku!” jawaban yang bisa membuat Pijar tertawa kecil kemudian memelukku. Tampak lesung pipi yang aku sukai di wajahnya. Aku senang sekali melihat dia bahagia seperti itu.

Tapi siapa sangka, keputusanku untuk selalu membahagiakannya, menjadi bumerang untukku. Selama sepuluh tahun, selalu ada kebohongan yang kusampaikan hanya untuk menjaga agar hubungan kami baik-baik saja. Agar Pijar tidak marah. Agar Pijar tidak pergi meninggalkanku. Aku pernah mengatakan aku sedang di indekos, padahal aku on the way ke Bali dan Yogyakarta bersama teman-temanku. Aku bahkan membohonginya selama 3 tahun, mengatakan padanya bahwa aku sudah tidak merokok, karena aku tahu betul Pijar tidak suka perokok. Belum lagi kebohongan-kebohongan lainnya: bahwa aku masih sering clubbing, minum minuman keras bahkan sampai muntah bersama teman-temanku.

Ketika Pijar akhirnya tahu semua itu, Pijar marah dan tersakiti. Tapi aku berusaha meminta maaf, berusaha membuat ia mengerti mengapa aku melakukannya. Seperti dugaanku… maaf dan perasaan Pijar untukku, begitu luas, seperti langit. Entah kali berapa Pijar memaafkan kebohonganku.  

Saat itu, bulan puasa tahun 2018…

Aku tertidur dengan lelap setelah sahur bersama Pijar. Mendadak ia menghampiriku sambil memegangi perutnya, matanya berkaca-kaca. Aku terbangun lalu menatapnya cemas,

“Kenapa?”

“Asam lambung aku naik.”

“Kamu mikirin apa sih? Kok bisa? Telat makan?”

Saat itulah Pijar mengangkat ponselku, menunjukkan suatu chat yang membuat aku tersentak kaget, bagai tersambar petir. Pijar sudah tahu. Pijar sudah menemukannya. Gawat. Aku harus bagaimana? Kenapa ini bisa terjadi?

Itu adalah grup chat-ku bersama teman-teman sekantorku. Mengenai kebiasaan kami pergi ke spa di daerah Bandung, untuk melakukan pijat plus-plus dengan terapis. Tak sanggup rasanya menceritakan detail mengenai kebiasaanku itu. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat? Bagaimana aku harus menjelaskan ini pada Pijar?

“Sesering apa? Berapa kali?” Tanya Pijar.

“Gak… ga hitung. Mungkin lima kali,” ujarku tergugup, mencari jawaban aman.

Pijar meredup, ia menangis tersedu. “Apa yang udah aku lakuin sampai aku pantas menerima ini, Lang? Apa aku pernah selingkuh?”

Pijar hancur, pun hatiku melihatnya. Aku bersimpuh dan memegang tangannya… Berusaha menjelaskan bahwa aku hanya terbawa. Aku khilaf, aku mencintainya. Aku tidak setuju jika ini dianggap sebagai perselingkuhan. Aku hanya bersenang-senang karena aku tidak bisa mendapatkannya dari Pijar, aku tentu tidak sampai hati. Aku dengan para perempuan itu--yang bahkan aku tak tahu nama mereka--tidak melakukannya dengan perasaan cinta secuil pun. Bagaimana pun aku mencintai Pijar. Hanya Pijar. Jadi aku rasa, ini bukan perselingkuhan.

Aku memohon maaf pada Pijar.

Pijar menangis: tidak makan dan tidak minum bahkan hingga jam buka puasa. Tubuhnya lemas karena tak satu pun makanan dan minuman yang sengaja kubelikan, masuk ke perutnya.

Pijar… sayangku… apakah kali ini kamu akan memaafkanku lagi? Apakah rasamu dan maafmu padaku masih seluas langit?

***