Contents
Sri, Tok! Dia, Istriku ...
Surat Wasiat Peninggalan Ibu
\tNduk, Ibu njaluk ngapuro, sebab Ibu ra iso ngancani koe rabi nganti ndue anak. Ibu ra iso maringi warisan kanggo koe. Nanging, Ibu njaluk tulung tekak'ke amanah iki kanggo budhe Nur Fatmawati. Beliau kancane Ibu kawet cilik. Isine ojo mbok woco, yo, Nduk. Alamate ono ning sampul surat werno cokelat kuwi. Ojo nangis wae kue, Nduk. Ibu sayang kamu. Ileng, pesene Ibu ojo mbok buka surate. Iku jenengane saru .... Njaluk doa'ne wae, yo, Sayang. Insyaallah, Ibu wes tenang neng Surga Allah\u0001\u0001.
\t
\tAku memeluk surat yang tergeletak di atas bantal kamar Ibu. Satu minggu yang lalu Ibu meninggal dunia, karena penyakit kanker payudara yang berhasil dia sembunyikan dariku. Sungguh, aku tidak memiliki persiapan menghadapi ini semua. Hidup tanpa Ibu di sampingku, tidak pernah kubayangkan.
\t"Ibu," panggilku lirih dengan suara isak yang tertahan. "Mengapa secepat ini? Aku sendirian, Bu. Kok, tega banget, sih, Bu?" Lagi, aku mencoba mengiba. Entah mengiba kepada siapa.
\tAku bingung harus bagaimana. Selama ini, Ibu hanya memintaku di rumah. Cukup kerjakan pekerjaan rumah saja, biar beliau yang bekerja di luar untuk mencari uang. Itu perintahnya. Kini saat Ibu pergi, aku kebingungan harus kerja apa. Selama satu minggu ini, ada tetangga baik hati yang sering memberiku makan. Katanya Ibu orang baik, sehingga dia mau berbaik hati memberiku makan sampai aku mendapatkan pekerjaan.
\tAku memeluk surat dari Ibu semakin erat. Isakan demi isakan semakin kencang, hingga membuat tubuhku terguncang. Tidak ada tempat bersandar. Ibu bahkan tidak pernah bicara soal keluarga. Kulirik amplop berwarna cokelat di dekatku. Surat ini adalah titipan dari Ibu untuk temannya yang bernama Ibu Nur Fatmawati. Di sini, tertulis alamatnya di Magelang, Jawa Tengah. Berarti tidak terlalu jauh dari sini, mengingat aku tinggal di Jawa Timur. Aku menghapus air mata perlahan, sambil mencari cara mendapatkan uang untuk ongkos pergi ke sana.
***
\t"Stop! Berhenti kamu! Malinggg! Malinggg!" Aku berlari sekencang mungkin. Aku bingung harus cari uang di mana, sehingga memutuskan menjambret seseorang saat dia selesai belanja di minimarket. Aku berjanji akan menyimpan dompet ini, dan akan mengembalikan dompet beserta isinya suatu hari nanti. Jika susah menemukan orang ini, akan kutitipkan dompet ke kantor polisi dan kukatakan kalau aku menemukannya terjatuh di jalan.
\t"Berhenti kamu! Dasar!" Suaranya masih terdengar di belakang tubuhku.
\tOrang-orang yang melihat bengong, tidak jarang ada yang ikut mengejar. Beruntung soal lari aku selalu jadi juara saat ikut perlombaan olahraga sekabupaten ketika masih SMP dulu. Kelihaian berlariku ternyata masih mumpuni sampai saat ini. Sampai di sebuah tempat, aku kebingungan, karena ketemu jalan buntu. Segera aku menyelinap di antara kotak sampah di sudut tempat ini. Aku mengatur napas dan detak jantung yang tidak beraturan. Berulang kali kutelan ludah untuk mengurangi kegugupan.
\tMaafkan hamba, ya Allah. Maaf, batinku berucap seraya memejam kuat dan menggenggam dompet di tangan dengan erat.
\t"Ah, sial!" umpat seseorang. Dia menendang sesuatu, hingga mengenai kotak sampah di tempatku bersembunyi.
\tSegera aku menutup mulut dengan tangan.
\t"Bagaimana, Pak? Ketemu?" tanya orang lainnya yang ikut mengejar.
\t"Asem! Hilang!" sahutnya putus asa.
\t"Wah. Banyak isinya, Pak?" tanya orang lainnya, sementara aku semakin ketakutan.. Peluh berjatuhan membasahi wajah.
\tAku berjongkok sambil menyembunyikan wajah di antara lengan. Tolong, ya Allah. Hamba terpaksa melakukan ini. Hamba berjanji akan mengembalikan uang ini.
\t"Lumayan. Baru tarik tunai di ATM itu. Tapi bukan masalah uangnya, sih. Banyak kartu penting di sana."
\t"Wah, sayang sekali, Pak."
\t"Tunggu saja! Kalau sampai ketemu orang itu, tidak akan aku ampuni!" teriaknya berapi-api.
\tAku semakin erat memejamkan mata sembari menggigit bibir bawah, ketakutan. Astagfirullah, sepertinya orang itu marah sekali.
\tSetelah cukup lama, akhirnya semua orang pergi. Aku segera berdiri dan merapikan baju serta hijab. Rasanya sangat haus, apalagi terik matahari menyengat kulit. Segera kubukan dompet di tangan dan mengambil selembar uang 50ribuan untuk membeli minuman. Saat akan melangkah, sesuatu terjatuh. Aku mengambilnya. Sebuah KTP dengan foto seorang pria. Di sana tertulis sebuah nama, Bagus Cahyo Purnomo.
***
\tBesoknya, aku langsung mencari alamat di amplop berwarna cokelat peninggalan Ibu. Naik angkutan umum beberapa kali, akhirnya sampai di depan rumah berpagar tinggi berwarna putih. Seorang pria berpakaian khusus membuka sedikit pintu pagar dan bertanya banyak hal. Saat kukatakan maksud dan tujuan, dia tampak menelepon seseorang, kemudian mempersilakanku masuk.
\tAgak kikuk, aku berjalan memasuki halaman yang luas. Bermodalkan keberanian dan uang hasil curian, aku datang ke tempat ini. Aku hanya membawa beberapa helai pakaian dan sandal jepit yang sudah tipis sebagai alas kaki. Semakin mendekati rumah bagian depan, degup jantungku terus berdetak tidak keruan. Dari kejauhan, tampak empat buah kendaraan beroda empat terparkir rapi membentuk sebuah barisan.
\tAstagfirullah. Rumah siapa ini sebenarnya?
\tKaki semakin gementar, saat mulai menapaki pelataran rumah. Sungguh megah rumah ini. Apa Ibu memiliki teman sekaya ini? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita? Apa sebenarnya isi surat ini?
\tDengan sangat hati-hati, aku melangkah menaiki anak tangga menuju teras yang luas. Kemudian mencopot sandal lusuhku di tangga bagian atas akhir, sebelum selanjutnya menapakkan kaki di terasnya. Bismillah, ucapku dalam hati. Semoga aku tidak dianggap sebagai orang yang melamar sebagai pembantu di rumah ini.
\tSampai di depan pintu, aku mengangkat tangan ragu. Selanjutnya, kembali memberanikan diri untuk mengetuk beberapa kali.
"Kulonuwun\u0002\u0002.Assalamu'alaikum!" teriakku nyaring.
\tBeberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada respons. Kaki bergeser ke arah jendela, lalu mencoba mengintip ke dalam. Gelap. Sepertinya tertutup gorden. Aku kembali melangkah mendekati pintu, kemudian melihat sesuatu di bagian atas samping pintu yang tertulis kata 'bel'. Aku mengamati, lalu iseng menekannya. Selang berapa lama, terdengar suara persis seperti sebuah irama.
\t"Ya!" teriak seseorang dari dalam.
\tAku terkesiap, kemudian bersiap menerima sambutan yang entah akan jadi seperti apa.
\tKreaaak!
Pintu terbuka. Aku menunduk dalam, dengan tangan saling menggenggam. Bingung, harus mulai dari mana. "Kulonuwun. Assalamu'alaikum, Mbak," ucapku lirih.
\t"Monggo.Wa’alaikumsalam, Dik. Cari siapa, ya?" Dia memperhatikan penampilanku dari atas sampai ke bawah.
\tKantong keresek berwarna hitam berisi pakaian yang kubawa semakin kupeluk erat. "Eh, anu ... saya, saya cari Bude Nur Fatmawati."
\t"Ada perlu apa, Dik?"
\t"Saya hanya ada perlu, Mbak. Maaf, bisa dipanggilkan?"
\tHening. Kemudian dia permisi sebentar. Aku berbalik, cemas. Bagaimana kalau Bude Nur tidak percaya padaku?.
\t"Maaf, cari siapa, ya?" tanya seorang pria.
\tAku berbalik dan mendapati pria itu tampak menunggu jawaban. Anehnya, mengapa wajah pria ini tidak asing bagiku? Dia menatap dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Kaus kaki lusuhku yang sudah koyak di bagian tumit segera kusembunyikan dibalik kaki satunya. "Saya mau bicara sama Bude Nur Fatmawati, Mas. Ada?"
\t"Kamu siapa?"
\t"Saya anaknya Ibu Halimah. Dari Nganjuk, Jawa Timur.”
\t“Oh, temannya ibu saya?”
\t“Ibu?”
\t“Ya.”
\t“Kalau boleh tahu, Mas ini siapa, ya?"
\t"Saya Bagus. Bagus Cahyo Purnomo. Anak bungsunya Ibu Fatmawati."
\tMataku membulat tidak percaya. Aku mundur beberapa langkah. Kepalaku pening memikirkannya. Mulut ini sampai melongo, karena mendengar nama itu. Wajah pria yang ada di KTP tiba-tiba melintas di pikiran. Benar, dia pasti orangnya. Aku tidak mungkin salah!
\tYa Allah, bukankah ... dia adalah pria yang dompetnya aku curi kemarin?