Contents
Pijar & Langit
Rasaku pada Langit
“Pijar… Aku suka sama kamu. Kamu mau pacaran sama aku ga?”
“Hm… i… iya, boleh.”
Begitulah jawabanku pada Langit ketika Langit menyatakan perasaannya di depan rumah. Seusai pulang sekolah. Sebelas tahun yang lalu, tanggal 4 bulan April 2009. Dan kini sudah awal bulan Maret di tahun 2020. Sepuluh tahun, bahkan hampir sebelas tahun aku mencintai Langit. Cinta monyet anak SMA kelas 2 saat itu, kini sudah berubah menjadi cinta yang mulai serius. Cinta yang dewasa, setidaknya menurutku.
Selama aku mencintai Langit, semuanya kuberikan pada Langit. Rasaku padanya mungkin seluas langit, tak terbatas. Kesalahanku, kesalahannya, kami selalu bisa saling memaafkan.
“Aku akan temani kamu ke mana pun, kapan pun. Selama aku bisa,” ujar Langit sambil tersenyum padaku. Senyum kesukaanku. Aku setengah tidak percaya mendengar ucapannya itu. Tapi ternyata, ucapannya benar. Dia selalu menemani aku ke mana pun.
Aceh, Bekasi, Jakarta, Lombok, Bali, Yogyakarta, bahkan Ho Chi Minh sekalipun. Semuanya pernah kami datangi. Semua tempat itu memang kota yang aku ingin datangi dan aku selalu mengajaknya. Bukan apa-apa, aku termasuk orang yang malas mengajak banyak orang. Lagipula hanya Langit yang menurutku selalu bersedia untuk menemaniku. Jadi, mengapa tidak?
“Kenapa aku melulu sih yang ngajak? Kamu kok ga pernah ngajak?” tanyaku pada Langit.
“Aku ga pengen ke mana-mana. Aku ikut kamu aja. Lagian kamu suka ngeduluin sih ngajaknya.”
“Sesekali kamu dong yang ngajak. Kamu pengen ke mana?”
“Jepang.”
“Oke, kamu yang ngurusin ya. Tiket, penginapan, itinerary.”
Langit mengangguk. Aku senang, akhirnya aku bisa pergi bersama Langit, tinggal meminta izin ke orang tuaku.
Mama dan Papa tak sering bertemu Langit, karena beberapa tahun belakangan, aku menjalani LDR dengannya: Bekasi-Yogyakarta. Ketika bertemu Langit, Langit kadang menjemput di depan jalanan rumah, kadang mampir ke rumah untuk berpamitan. Di mata Mama dan Papa, Langit adalah lelaki yang sabar menghadapiku, meski pendiam dan sulit ditebak. Tapi yang jelas, tidak semua hal tentang Langit aku ceritakan. Aku takut ketika aku menceritakannya, Mama dan Papa tidak menyukainya. Ditambah kini usiaku hampir 27 tahun, mereka mendesakku untuk segera menikah dengan Langit yang usianya setahun di bawahku.
“Tunggu aku lulus S-2 ya,” ujar Langit.
“Tunggu Mas aku menikah ya,” ujar Langit setelahnya.
“Tunggu aku dapat kerja ya,” ujar Langit setelah lulus S-2 dan kakak laki-lakinya sudah menikah.
“Sepertinya aku belum bisa menikah sama kamu. Aku rasa kita harus berhenti saling peduli,” ujar Langit setelah beberapa bulan mendapatkan pekerjaan. Awal bulan Maret 2020. Ia menatapku dengan dingin seolah tak pernah ada cinta di hatinya. Seolah sepuluh tahun kemarin tidak berarti apa-apa baginya.
Aku terdiam. Kehilangan kata-kata. Aku coba merasakan hatiku, namun hatiku tidak merasa apa-apa. Kosong.
Kata orang… ke mana pun kita pergi, kita akan selalu melihat Langit.
Tapi kini, Langitku hilang. Langitku pergi.
***