Try new experience
with our app

INSTALL

Istri Gesrek 

Enam

  Pernikahan itu banyak julukannya. Salah satu nama lain favoritku, ikatan suci itu juga disebut saling percaya. Bila jalinan batin kuat, nggak mencurigai pasangan, maka masalah sebesar gunung pun akan menemukan jalannya. Kuncinya hanya satu, kepercayaan. Titik.

  Hati-hati bila anugerah itu sudah terkikis, akan menimbulkan percikan curiga yang menodai hati. Lama-lama ... duar! Meledak dan jadilah pertengkaran. Aku dari jaman suami pertama dan semoga saja terakhir ini tidak suka bertengkar. Lebih baik mengalah pada baby raksasa yang bernama laki-laki dari pada perang urat syaraf. Bikin stress sendiri. Di mana-mana suami selalu benar. Huh.

  Sepenuhnya hati dan jiwa ini mempercayai Mas Agas. Ehem, puitis banget sih. Pesona Ayu yang lugu dan terkesan polos tak akan mampu menggoda suamiku. Apalagi badannya yang nggak jauh-jauh dari Sani, kurus seperti ranting kering. Berbeda denganku, padat berisi dan empuk. Bohay pakai banget.

Tapi waspada juga harus diutamakan. Jangan sampai pernikahan yang baru saja terjadi rusak gara-gara pihak ke tiga. Bahasa kerennya sekarang pelakor. Ih, amit-amit.

"Ayu, apa kamu benar-benar serius pingin membantuku?" 

Ibu beranak satu itu datang lagi ke rumah Emak malam ini. Siang tadi aku hanya tersenyum, nggak memberikan jawaban apa-apa padanya. Udara malam menembus jaket, menggigit kulit. Dingin!

Ayu memperbaiki posisi duduknya di bangku teras. Dia memandang jalan gelap yang sesekali dilalui motor. 

"Inggih Mbak Sri. Aku sudah keluar dari kerja beberapa waktu lalu. Istri bos cemburu padaku." 

Terakhir kuingat, Ayu kerja di sebuah home industri kerupuk tempe. Dia sering berpindah-pindah, sih. Entah karena apa. Selama ini yang momong Adin itu Ibu mertua. 

  "Menjadi seorang ibu tanpa suami itu sangat berat, Mbak. Semua mata memandang curiga. Mereka takut kalau suaminya kugoda." Suara Ayu bergetar, dia menghapus bulir bening dari sudut matanya. "Aku yakin Mbak Sri bukan orang yang berpikiran picik seperti mereka. Aku hanya ingin mendapatkan uang demi menghidupi Adin ...." 

  Ayu tak meneruskan kata-katanya. Bahunya berguncang naik turun. Ah, Ayu, aku juga pernah dalam posisimu. Merasa ditelanjangi oleh pandangan para istri yang penuh duri. Tapi sekarang, posisiku juga seperti mereka, hanya berusaha melindungi suami dari bahaya. 

"Mbak, maukah kamu dengar ceritaku?" kata gadis yang baru berusia 22 tahun itu menatapku tajam. Ada kilatan yang membuat bergidik, hanya sesaat tapi membuat bulu halus tanganku berdiri.

  "Lima tahun lalu, aku diperkosa oleh seseorang yang sangat kupercaya. Aku tak sanggup menyebutkan namanya pada dunia, biarlah itu menjadi rahasia yang akan kubawa sampai mati. Sejak saat itu, perasaanku pada makhluk yang bernama lelaki sudah mati, Mbak."

"Maaf, Ayu ..., aku nggak ingin mengorek luka hatimu." Akhirnya aku menepuk punggung sekurus triplek itu. 

Kukira dia hamil dengan pacarnya, waktu itu Ayu sedang berhubungan dengan remaja anak juragan tebu desa sebelah. Ayu sering pulang sekolah diantarkan lelaki itu. Aduh, aku lupa namanya. Tapi sampai saat ini, tak ada yang tahu siapa bapak Adin sebenarnya.

"Aku janji sama Mbak Sri, bila diterima bekerja, aku nggak akan dekat-dekat dengan Mas Agas. Tolong percayalah, Mbak." 

Ayu meraih jemariku, ia menggenggamnya erat sekali, "Kasihan Adin, Mbak. Dia butuh biaya untuk sekolah. Aku akan bekerja sangat keras. Terima aku, ya, Mbak. Tolong ...."

  Pertahananku jebol, aku teringat Sani. Mereka hanya berselisih enam tahun, tapi nasipnya sungguh jauh berbeda. Hatiku ikut merasakan sakit. Biadap sekali orang yang telah menodai Ayu! Tidak bertanggung jawab! Tak terasa, Aku ikut mengangis bersamanya. 

Kupeluk badan ringkih itu. "Iya, tentu saja, Ayu. Kamu boleh bekerja denganku. Tapi setelah semua sudah siap, nanti kuhubungi lagi. Kamu yang sabar, ya. Semoga kelak bisa mendapat suami yang mencintaimu apa adanya." 

Aku mengusap punggung Ayu yang meringkuk di bahu. Sekilas, ekor mataku melihat Mas Agas mengintip dari balik pintu. Wajahnya nampak khawatir. 

Takdir memang beda pada tiap orang. Kebetulan Ayu mempunyai masa lalu yang kelam. Hidupnya semakin muram karena selalu dicurigai dan dikucilkan. Bukankah dia juga berhak mendapatkan kesempatan dan kepercayaan? 

  Aku nggak ingin jadi jajaran orang yang mengedepankan suudzon. Semua bisa diatur, ada Mas Agas yang super bijaksana. Aku nggak perlu merisaukan apa-apa. Juga ada Allah yang akan siap dimintai pertolongan bila ternyata ada bencana. Hidup juga harus tolong menolong, benar, kan? 

Jangan menjadi egois karena hal yang belum terjadi. Aku percaya bahwa Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. 

***

  Keesokan harinya, aku membawa Emak dan Bapak ke rumah kami di kota. Mas Agas memberi Antok uang untuk mengganti genting yang sudah tak layak pakai. Sebenarnya, uang yang dimiliki suamiku itu berapa banyak, sih? Kok nggak habis-habis? Tapi aku segan menanyakannya. Kami belum sedekat itu, masih banyak pintu hati yang harus kubuka, sedikit demi sedikit. 

Mungkin rejeki Mas Agas mengalir seperti air bah karena dia nggak segan-segan membantu orang dan mengeluarkan sedekahnya. 

Dua hari kemudian, aku sudah membuka lagi warung penyetan. Dalam waktu hanya tiga jam, semua jualan habis tak tersisa. Pelanggan datang seperti semut menemukan gula, ramai sekali. Kami tutup lebih cepat hari itu.

Haah, enak sekali selonjoran sambil melihat acara musik dangdut. 

  Emak dan Bapak sampai mangap-mangap nggak percaya, mereka terlihat bahagia menghitung uang laba. Bapak bahkan mengipaskan lembaran kertas pada keringat di dahinya. Lalu dicubit Emak sambil melotot. Benar-benar deh pasangan ini. Kompak sampai tua.

"Mak, Bapak, seminggu lagi aku pindah ke rumah Mas Agas di luar kota. Jadi kalau ada yang bingung tanyakan saja, nggih."

"Emak sudah bisa kok, Sri. Kemampuan memasakmu itu kan menurun dariku. Rasa sambelku lebih mantap dari buatanmu. Tenang saja, emakmu ini akan menghasilkan banyak uang." Emak menepuk dadanya, bangga. 

"Nggak capek, Mak?"

"Lebih capek buruh tani, Nduk," sahut Bapak lirih. "Kalau lihat duit, capeknya hilang. Huwahahah." Dia tertawa terkial-kial sampai terbatuk-batuk. 

Emak segera mengambilkan air putih untuk Bapak. Melihat mereka rukun, hatiku menjadi tentram.

"Mas, semoga kita bisa terus akur seperti mereka, ya." Aku menyenggol bahu Mas Agas yang asik menonton televisi. 

"Kamu dibesarkan oleh keluarga yang hebat, Sri. Makanya kamu juga tumbuh menjadi wanita kuat dan cantik." Hidung nggak bangirku dipencet mesra. Tet tot.

Aduh, kalau begini aku jadi lavar. Ingin makan nafkah batin. Hihi.

"Mas ...." Aku mengedip-ngedipkan mata sok imut, lalu memonyongkan bibir dan melirik kamar. Mas Agas membalas menaik- turunkan alis lebatnya. Yes! Dia tanggap.

"Aah, capeknyaa ... Mak, Bapak, aku mau tidur dulu, nggih." Aku berdiri, berlagak memijiti pundak dan menggeret suamiku ke dalam kamar, "Mas Agas kuculik sekalian."

Aku menempelkan kepala pada lengan kekar lelakiku, menciumi aroma tubuhnya yang wangi. Setibanya di kamar, segera kukunci pintu dan kudorong Mas Agas sampai terjatuh di tengah ranjang. 

"Tangkap aku, Mas!" 

Aku menerjang garang, siap berperang di medan juang semalaman.