Try new experience
with our app

INSTALL

Istri Gesrek 

Tiga

Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Bisa, sih, cuman kedap-kedip nggak jelas. Biasanya jam segini sudah lelap di dalam pelukan mimpi. Padahal mimpi apa juga jarang ingat. Fiuh ...

  Mas Agas tidur seperti mayat. Aduh jangan ngomongin mayat, ah. Merinding. Dia nyenyak sekali. Mulutnya ngoweh, mangap sedikit. Apapun posisinya, sedikit iler menetes. Jrot!  Namun segera di usap memakai punggung tangannya. Jijik? Ah mana mungkin emak beranak satu jijik, sudah biasa kali melihat pemandangan seperti itu. Apalagi setiap hari berkutat dengan ayam potong. Kata-kata itu sudah hilang jauh-jauh. Hanya pengantin perawan yang akan bergidik melihat kenyataan hidup yang nggak seindah novel. 

Posisi awal tidur tadi Mas Agas minta peluk. Dia tidak sesak napas membenamkan kepala di dadaku. Padahal ... ehem lumayan waw lah. Memang bikin betah berlama-lama di sana. Menikmati perhiasan surga. Wihihi. Pede amat aku. 

Bila melihat film yang tidur dalam satu posisi yaitu berpelukan berbantal lengan suami dari malam sampai mentari bersinar akibat mbangkong, itu namanya pembodohan masal. Bisa putus itu urat dan otot, minimal mati rasa lah. 

Kenyataannya, setelah lelap tertidur, Mas Agas secara reflek akan menjungkalkan tubuh yang menghalangi geraknya. Aku pernah didorong sampai hampir terjatuh dari ranjang, gara-gara tak sengaja memeluk pinggangnya saat tidur. 

Akhirnya sekarang ada guling di antara kami. Lebih aman dan bisa dibawa ke mana-mana. Miring kanan, angkat guling. Miring kiri, seret guling, terlentang bisa tendang guling. Benar-benar kalau tidur dia nggak bisa anteng. Dasar bos kuli!

  Ibu dan pasukannya beristirahat di kamar Sani. Tadi beliau belum bercerita tentang tujuannya mendadak datang ke sini. Mereka terlihat lelah, meskipun tak sampai dua jam perjalanan. Jadi, setelah makan malam dengan menu seadanya--telur dadar, mereka langsung kusuruh masuk kamar Sani. Kasihan Adin, bocah umur empat tahun yang ada sedikit masalah pada perkembangannya.

  Ayu seorang gadis manis berbadan mungil, hanya setinggi telingaku. Dia dulu dipungut keluarga ibu mertua. Pagi-pagi ketika mau bekerja di sawah, mereka menemukan kresek hitam yang bergerak-gerak. Setelah dilihat ternyata isinya bayi perempuan lengkap dengan ari-arinya. Waktu itu aku dan almarhum Mas Bejo berusia tiga belas tahun. Bayi itu diangkat anak oleh ibu mertua yang kebetulan hanya mempunyai seorang anak saja.

Almarhum Mas Bejo sangat menyayangi adiknya itu, dia rela menyisihkan uang gajinya demi menyokong Ayu. Aku juga tidak pernah melarangnya.

  Sampai lima tahun lalu, tiba-tiba Ayu mengandung tanpa diketahui siapa ayahnya. Mas Bejo murka, dia bahkan menampar pipi Ayu sampai bengkak dan bibirnya berdarah. Tapi gadis itu tetap bungkam, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya tentang ayah dari bayinya.

  Dia beberapa kali mencoba mengaborsi janinnya, tapi gagal. Rupanya ada kehendak lain. Janin itu tetap bertahan dalam rahimnya. Sampai akhirnya Ayu melahirkan bayi yang cantik, tak kurang satu apapun. Namun, ada sesuatu yang salah ketika Adin batita. Adin cenderung menyendiri dan tak mau berinteraksi dengan lingkungannya. Asik dengan dunianya sendiri.

Aaah, akhirnya kantuk datang. Semoga besok hariku secerah biasanya. Ih, tangan Mas Agas mulai berburu, dia suka merebut gulingku dan dilemparkan ke bawah, enak saja. Aku menghadap tembok, mencari posisi yang nyaman.

***

"Bu, kumasakkan sayur lodeh tahu dan ikan asin kesukaan Ibu. Buat Adin ada ayam goreng lho, ayo kita makan bersama." Aku mau menggiring Ibu dan pasukannya yang menonton film kartun menuju dapur. 

Mas Agas berangkat pagi-pagi untuk mengurus sesuatu, embuh itu apa. Dia tidak sempat sarapan, hanya makan tiga buah pisang ambon. Kalau orang Jawa, belum makan nasi berarti belum sarapan. 

  "Aku makan di sini saja, Mbak Sri. Sambil nyuapin Adin. Dia mau makan kalau sambil nonton TV," sahut Ayu sambil beranjak mengikutiku. Wanita berambut sepunggung itu mengambilkan makanan untuk anaknya, lalu duduk manis lagi di depan layar datar itu.

  Sementara Ibu masih tak banyak bicara. Dia duduk di depan meja makan. Sejujurnya, aku agak ngeri dengan ibu mertuaku ini. Dia terkenal punya mulut setajam pisau di desa, jarang orang yang bisa melawan omongannya. Termasuk Bapak mertua, dia termasuk suami takluk istri. Kalau aku, menantu tercyduk mertua.

Sampai makanannya habis, Ibu masih saja hening. Dia pintar sekali meneror psikis. Diam itu lebih seram dari pada jenglot, lho. Asli. 

"Ehem, apa rasanya cocok, Bu?"

"Hm."

"Nambah lagi, nggih?"

"Hm."

Apa itu artinya? Iya apa tidak? 

"Sepertinya Ibu sudah kenyang, makannya tadi nasinya banyak sampai piringnya nggak kelihatan. Kalau begitu kubuatkan kopi, ya."

"Hm."

"Ah, kopi tidak terlalu baik untuk kesehatan, ini air putih saja, Bu. Sehat."

Aku mengambilkan segelas air putih dan meletakkan di sebelah piring Ibu. Ekspresi wajahnya tak bisa kubaca. Ibu meminumnya sampai tandas. Mata yang sama dengan almarhum Mas Bejo itu memandangku, ada kaca-kaca di dalamnya.

"Kamu tega sekali, Nduk."

Deg. Hatiku seperti lolos dari otot penyangganya.

"Aku memang bukan orang tua kandungmu, tetapi tega sekali kamu hanya mengumrohkan emak dan bapakmu. Emakmu sudah cerita semua. Rumah ini, warisan dari anakku Bejo juga akan kamu berikan kepada orang tuamu. Kamu  nggak adil, Nduk."

Ya Allah, aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu. Ada hati yang terluka karena keputusan yang kukira sudah paling pas. 

"Bu, aku hanya ingin membahagiakan Emak dan Bapak. Mereka sudah lama ingin ke Baitullah."

"Bejo sudah meninggal, lalu siapa yang akan memberangkatkan aku dan Kang Tejo ke sana? Kami juga ingin ke Mekah, Nduk. Sama seperti orang tuamu." Ibu menatapku tajam.

Aduh, kepalaku berdenyut. Air mata tumpah dari sudut mata Ibu, membentur keriput dan flek hitam tebal akibat terpapar sinar matahari, lalu berakhir di telapak tangannya.

Apa yang harus kulakukan? Tak mungkin memberangkatkan mereka semua. Tak mungkin juga harus membatalkan rencana umroh Emak Bapak demi menyenangkan hati keluarga mertua. Aku juga tidak berani menjajikan apa-apa. 

"Maafkan aku, Ibu." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Kalau begitu, jualah rumah ini, Nduk. Ada hakku dan Kang Tejo di sini. Tak baik bila semua kamu kuasai sendiri, nanti kualat kamu. Apalagi suamimu sekarang kaya raya."

Ucapan Ibu langsung menusuk hati, tega sekali dia mengatakan itu? Apakah Ibu tidak memikirkan Sani, anak kandung Mas Bejo yang paling berhak atas rumah ini? Ah, denyutan itu merambah ke pelipis. Aku pijit perlahan untuk mengurangi sakitnya.

Apa yang harus kulakukan?