Contents
Istri Gesrek
Tujuh
Ayu tersenyum ramah pada beberapa pelanggan yang datang. Ia menanyakan menu yang dipesan dan dengan cekatan menyiapkan makan siang. Tubuh ramping itu bergerak lincah menghantarkan piring kayu. Aku memandangnya sambil memasukkan sambal ke dalam plastik kecil. Persiapan buat pemesan makanan yang dibungkus.
"Berapa, Bu? Penyet Ayam tiga, lele satu tambah tempe seporsi dan teh botol empat," seorang lelaki berseragam biru mengeluarkan lembaran uang. Aku menerimanya sambil menghitung total biaya di mesin kasir. Lalu menyodorkan uang kembalian.
"Terima kasih, Pak Guru." kataku singkat mengulum senyum.
Rombongan orang-orang tanpa tanda jasa itu meninggalkan warung. Mereka terlihat puas, terbukti dengan keringat yang menetes-netes dari kening. Merasakan ledakan kedahsyatan sambal tomat buatanku.
Sudah satu minggu warung 'Penyetan Sri' beroperasi. Meskipun belum banyak pelanggan yang datang, namun hasilnya cukup memuaskan. Enam puluh persen jualan habis. Lumayanlah. Sisanya bisa untuk besok lagi tapi sering juga kuberikan pada anak-anak pengamen yang sering lewat.
"Ayu, sudah jam satu lebih. Kamu salat dulu sana. Biar aku yang jaga. Aku tadi sudah salat duluan."
"Iya, Mbak." Ayu pergi ke lantai dua yang digunakan sebagai gudang makanan sekaligus kamarnya.
Ibu muda itu benar-benar menjaga sikapnya. Bila ketemu Mas Agas, dia hanya mengangguk hormat sambil tersenyum. Dia juga tanggap dengan tugas-tugas yang kuberikan. Mungkin karena terbiasa bekerja sejak remaja.
Mas Agas yang mempunyai ide membangun warung ini di halaman rumahnya yang luas. Dia hanya menyisakan tempat untuk jalan dan memarkir mobilnya.
Padahal awalnya, aku ingin yang sederhana saja. Tinggal memasang tenda kain dan lesahan. Tetapi pemikirannya beda. Otak bisnisnya berpikiran jauh ke depan. Aku sih, tidak masalah. Tinggal terima jadi. Semua modal dari Mas Agas.
***
"Aku akan membangun warungmu dua lantai, Sri. Lantai satu buat tempat makan. Lantai dua dijadikan gudang sekaligus tempat tidur buat karyawan . Aku nggak mau rumah kita ini kotor."
Teringat kata-kata Mas Agas waktu memutuskan sepihak. Aku baru tahu sifatnya yang tak bisa diganggu gugat. Dia sangat protektif dengan barang-barang miliknya. Semua hal yang menyangkut penempatan ranjang, sofa, lemari sampai peralatan dapur dia yang mengatur. Tak ada tempat buatku untuk usul. Mungkin selera kami berbeda jauh. Aku sederhana, Mas Agas lumayan mewah.
Pernah aku diajak membeli gamis di sebuah butik. Mataku hampir copot melihat harganya. Mahal banget! Paling murah empat ratus ribu, itupun nggak ada kerudungnya. Sayang sekali uang dihambur-hamburkan untuk hal sepele itu. Lagian, memakai baju murah saja aku kelihatan cantik, kok. Ehem.
Akhirnya aku tarik tangan Mas Agas keluar. Kupaksa dia mengantarkan ke pasar. Lebih cocok dan bisa menawar harga. Dapat banyak lagi, itu yang kupikirkan. Namun apa jadinya, Mas Agas malah marah-marah. Dia tak berkata apa-apa sih, hanya mobilnya dibawa pulang lagi. Hari itu aku gagal mendapat baju baru dan dicueki semalaman.
Sampai sekarang Mas Agas belum mengajak membeli baju lagi. Ah, ngenes. Tahu begitu aku akan mengambil beberapa setel. Menyesal selalu belakangan.
Diperlukan waktu dua bulan untuk membangun warung. Mas Agas melarangku kerja bila dia sudah pulang ke rumah. Nggak boleh ngurusin warung lagi ketika bersamanya. Akhirnya diputuskan untuk berjualan pagi sekitar pukul sembilan sampai menjelang Magrib. Pangsa pasar utamanya adalah siswa, karyawan dan guru sekolah tepat di depan warung. Juga para tetangga.
Ayu kuhubungi setelah semuanya siap. Dia datang dengan membawa ransel berisi pakaian yang warnanya sudah pudar. Kasihan sekali melihatnya. Wanita itu menolak ketika kutawari baju-bajuku yang masih bagus.
"Wegah, Mbak. Aku bisa kelelep pakai baju Mbak Sri. Kebesaran. Hahaha ..."
Benar juga, sih. Body kami kan jauh berbeda. Ayu juga belum mau untuk memakai jilbab. Dia suka memakai kaos dan celana jeans seperti Sani. Aah, jadi kangen anak itu. Betah sekali dia di rumah Ustadz Salam. Sampai jarang ngabari emaknya ini. Kalau pulang mau kujitak itu anak.
Keributan diluar mengakhiri lamunanku. Tiga orang lelaki berkaus hitam gambar tengkorak bajak laut masuk ke warung sambil misuh-misuh. Mereka mendatangiku. Melotot dan berkacak pinggang.
Ada apa ini? Siapa mereka?
"Siapa pemilik warung ini!" pria berambut gondrong gimbal bertanya kasar. Ke dua temannya bersiri di belakang.
Aku keluar dari meja kasir. Menahan dag dig dug jantung. Sempat kulirik beberapa pelanggan yang menatap penasaran.
"Aku, Cak. Ada apa ini?"
"Bu, setiap usaha yang ada di wilayah ini harus melapor pada Cak Kodrat. Sepertinya sampean belum laporan."
"Siapa Cak Kodrat itu?" tanyaku sok bingung. Aku menguatkan diri berbicara dengan preman-preman ini.
"Dia yang menangani keamanan daerah ini."
"Tapi aku sudah lapor pak RT, RW dan membayar biaya keamanan di sana, Cak."
Lelaki itu misuh keras. Menggelegar. Aku sampai terlonjak. Aduh, sungguh menyeramkan.
"Sampean itu kuberi tahu, Bu! Kalau kepingin warungmu utuh segera lapor ke Cak Kodrat. Kalau enggak, kami tak menjamin. Mengerti!!" Lelaki itu menggebrak meja, membuat benda-benda di atasnya sedikit terpental.
Dia memberi kode kepada temannya untuk keluar. Mereka pergi dengan ribut. Sumpah serapah keluar dari bibir-bibir hitam menjijikkan.
Aku terduduk lemas, menghela napas, menormalkan detak jantung yang seperti hendak melompat keluar. Ayu datang membawa segelas air putih. Ku ambil gelas itu, namun merosot. Tangan ini bergetar hingga tak sanggup menggenggam apapun. Ayu membantu menyorongkan gelas ke mulutku.
"Terima kasih, Ayu. Aduh, aku takut sekali. Kepalaku pusing."
Aku memegang kepala yang tiba-tiba berdenyut setelah meneguk air.
"Mau kupijit, Mbak? Supaya agak mendingan." jemari Ayu memijit pelipisku perlahan. Rasanya sedikit enteng. Aku memejamkan mata merasakan pijitan itu. Haah, enak sekali.
"Kamu berbakat jadi tukang pijit, Yu."
"Ah, Mbak Sri ini bisa saja. Aku terbiasa mijitin ibu dan bapak yang capek habis dari sawah."
Jemari Ayun turun ke bahu, menekan otot yang ternyata sakit. Aku teringat almarhum Mas Bejo yang dulu suka memijit sampai mata ini terpejam. Andai Mas Agas juga seperti Mas Bejo. Aah, entah kenapa aku kangen dengan almarhum suamiku itu.
"Ayu, tolong kamu jaga warungnya, ya. Aku mau istirahat."
"Iya Mbak Sri. Tenang saja."
Semangat rasanya anjlok. Hatiku terasa hampa, sepi. Saat-saat seperti ini aku butuh teman bicara. Kaki ini gontai keluar dari warung. Membuka pagar hitam dan masuk rumah dengan terseok.
Aku merebahkan diri dan menekan tombol panggilan di ponsel ketika sudah sampai kamar. Spring bed ukuran besar memantulkan bobot tubuh. Tak bisa memberi kenyamanan.
Rupanya gawai Mas Agas tak bisa dihubungi. Aku terus mencoba menelpon sampai sepuluh panggilan. Nihil, tak ada yang mengangkat. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Aku meringkuk menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.
"Mas Bejo ..."
Lalu menangis terisak-isak.