Contents
Al yang Lain
Chapter 2
Beberapa saat sebelumnya di tempat yang sama ....
Aldebaran sedang membaca sebuah artikel tentang duni pararel dalam ponselnya. Para ilmuwan itu berkata bahwa dunia yang serupa bisa ada karena alam semesta memang sangat sangat sangat luas. Alam semesta yang bisa diamati manusia terbatas dan hanya empat miliar tahun cahaya. Tidak menutup kemungkinan ada dunia yang identik dengan dunia manusia. Sarupa namun tidak sama.
"Sedang baca apa, Mas? Serius banget? Sempat-sempatnya disela liburan kita, Mas baca seserius itu." Andin menyeruput es degan sembari melirik suaminya yang begitu lekat memandang ponsel.
"Kamu percaya dunia pararel?" Bukannya menjawab, Al justru balik bertanya.
"Dunia pararel? Itu topik kesukaanku, Mas. Dari dulu aku suka berkhayal kalau ternyata ada Andin lain di dunia lain." Andin tertawa renyah. "Kalau percaya ya nggak, dong. Itu kan cuman teori yang belum terbukti. Cuman ada beberapa orang yang ngaku pernah melakukan perjalanan di dunia pararel.
"Dunia ini begitu luas dan misterius, Ndin. Bahkan sampai detik ini, banyak dari bagian Bumi yang belum ter-eksplor oleh manusia. Jadi, bisa saja kan dunia pararel itu ada?"
"Yaya, anggap saja begitu. Kalau memang ada, aku pengen jalan-jalan ketemu Mas Al yang lain." Andin terbahak-bahak. "Ini es degan enak banget, Mas. Gulanya asli. Mas tau sendiri kan, kalau tenggorokan aku nggak bisa kena pemanis buatan." Andin mengunyah degannya dengan semangat.
Al meletakkan ponsel ke dalam saku celana dan mengambil degannya sendiri. Ia setuju dengan perkataan Andin, bahwa degan itu memang sangat segar.
"Ayo jalan-jalan ke tepi pantai, Mas. Indah banget senja ini. Nanti fotoin aku pas matahari terbenam, ya," kata Andin saat minumannya sudah habis.
"Ayok. Apapun keinginan istriku, aku akan menurutinya."
Al berdiri, ia mengulurkan tangannya kepada Andin. Wanita berkulit bening itu menerima uluran tangan suaminya. Mereka berdua berjalan di tepi pantai. Andien melepas sepatunya, meletakkannya di bawah pohon.
"Halus banget pasirnya, Mas. Rasanya juga hangat! Coba deh lepas sepatunya." Andin menjerit merasakan pasir yang menggelitik telapak kakinya.
"Ayo, Mas! Gosah mikir panjang. Lepasin aja sepatunya, taruh di dekat sepatuku. Kita kejar-kejaran di tepi pantai. Ayook!" Andin memberi semangat pada Al yang masih menimbang-nimbang.
Andin tersenyum kala Aldebaran berjongkok dan mulai melepas tali sepatu.
"Nah, gitu, doong. Gimana rasanya? Halus, kan?"
Aldebaran hanya mengangguk. Ekspresi wajahnya nyaris tak berubah.
"Sini, Mas. Gandeng aku lagi." Andin menautkan jemari. Ia merasakan kedamaian setiap kali tangan besar Al menggenggamnya dengan erat.
"Kalau misalnya kita terpisah, apa yang akan Mas lakukan?" Andin bertanya sembari menatap wajah Al yang terpahat sempurna.
"Aku akan mendapatkan kamu lagi, Sayang. Nggak ada yang bisa memisahkan kamu dariku. Kecuali maut."
"Mas ...." Mata Andin berkaca-kaca mendengar kesungguhan dari setiap kalimat yang dikeluarkan Aldebaran.
"Aku akan selalu menjagamu, Ndin. Kamu adalah hartaku yang paling berharga. Tetaplah di sisiku, selamanya." Aldebaran membawa Andin dalam pelukan.
Ombak pantai Papuma menjadi saksi ikatan cinta mereka yang semakin rapat terjalin. Gemuruh rasa yang semakin meluap, pada akhirnya tak terbendung. Cinta Al kepada Andin begitu besar. Pun dengan cinta Andin kepada Al, sangat murni.
"Mas ayo kita ke sana," tunjuk Andin ke arah ombak setelah Al melepaskan pelukan. "Aku pingin main air laut."
"Ayo."
"Tapi, Mas ...." Ketika Andin hendak menurunkan tangan dan memperhatikan jari manis kanannya, ia terhenyak.
"Mas, ke mana cincin kawinku?" tanya Andin, memandang lekat mata Aldebaran. "Apa mungkin jatuh di pasir-pasir itu?"
"Gimana ini, Mas?"
Wajah Andin berubah pias. Ia merasa bersalah karena menghilangkan cincin yang menyatukan cinta dalam bingkai pernikahan. Bola mata Andin menyisir pasir dengan seksama, namun sampai beberapa lama cincin itu tidak bisa ditemukan.
Tanpa kata, Aldebaran juga membantu mencari. Ia menyusuri tempat-tempat yang tadi dilewati. Nihil, cincin itu tidak bisa ditemukan.
"Maaas, gimana?" Air mata mulai berjatuhan membasahi pipi Andin yang halus. Senja sudah sangat tua.
"Gapapa, Sayang. Nanti Mas belikan cincin yang serupa itu, ya." Aldebaran kembali memeluk Andin. Ia membelai rambut yang kusut tertiup angin.
"Maafin aku, Mas. Nggak bisa jaga cincin istimewa itu."
"Sudah, sudah. Gosah dipikirkan lagi. Kehilangan cincin gada apa-apanya. Yang penting kamu selalu ada di sisiku."
"Makasih, Mas ...." Andin mengeratkan pelukan. Ekor matanya tiba-tiba melihat kilauan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Benda kecil berkilau yang sama persis dengan cincin kawinnya yang hilang.
"Mas, sebentar." Andin melepaskan pelukan dan berjalan perlahan menuju kilauan itu.
"Ketemu! Cincinku ketemu!" Berjongkok, Andin mengambil cincinnya.
"Tapi kok di sana ya? Padahal aku nggak lewat jalan itu sama sekali," batin Andin heran. "Terserah, pokoknya cincinku sudah ketemu."
Perlahan, Andin menyematkan cincin itu di jari manisnya. Ia merasakan tubuhnya seperti melayang tepat pada saat cincin melingkar. Gelombang pusing menerjang. Andin sampai harus menutup mata. Ketika ia membuka mata, Aldebaran tidak berdiri di tempatnya. Matanya mencari-cari Al, hingga tertumbuk pada sosok Al yang hampir tenggelam di empas ombak.
"Mas Al .... Maaas! Hoooy! Maaaas!" Andin berteriak sekencangnya. Ia heran kenapa Al bisa sampai di perairan.
***