Try new experience
with our app

INSTALL

Hilarity at OR 

2

Hari ini menjadi hari pertama bagi Noriaki bekerja di tempat baru dan menjadi hari yang tak kalah sibuk dengan hari sebelumnya. Tidak ada kata hari santai bagi seorang dokter, setiap hari pasti selalu ada seorang pasien yang datang untuk meminta pertolongan. Kasus pertama yang ia dapatkan hari ini adalah seorang wanita hamil dengan usia kandungan 7 bulan, dan ada indikasi jika bayi yang dikandungnya mengalami kelainan jantung HLHS. Wanita kuat itu bernama Yamada Yuriko, berusia sekitar 27 tahun. Yuriko sebenarnya tidak hanya ditangani oleh Noriaki saja sebagai dokter kandungannya, tapi seorang dokter bedah jantung yang akan membantunya mengobati penyakit jantung anaknya dengan jalan operasi. 


 

Setelah jam praktiknya usai, Noriaki memilih duduk di meja kerjanya di ruang kerja dokter sambil membaca dan mempelajari kasus yang di alami Yuriko. Sesungguhnya ia sudah menemui dan menangani banyak kasus seperti ini sebelumnya, tapi bukan berarti ia lantas bisa menyepelekannya sekarang. Tumpukan dua buku mengenai kondisi medis Yuriko terhampar begitu saja di atas meja kerjanya yang tidak begitu luas. Sesekali Noriaki membaca buku-buku itu dan membaca jurnal ilmiah dari IPad miliknya yang terpajang manis di atas meja kerjanya. 

“Dalam sejarah karirku sebagai dokter kandungan, aku sangat jarang menemukan kasus seperti ini pada pasien.” kata Rinko yang berjalan dari pintu masuk dan duduk di sebelah Noriaki. “Bagaimana denganmu? Apa kau pernah bertemu dengan kasus ini sebelumnya.”

“Pernah. Bahkan dengan kondisi sang ibu jauh lebih parah dari ini.” jawab Noriaki.

“Misalnya?”

“Ya…. seperti sang ibu yang seorang pecandu alkohol atau depresi berat karena mengalami kekerasan dalam rumahtangga.” jelas Noriaki.

“Alkohol dan stress memang bisa sangat berpengaruh pada jantung. Aku heran mengapa masih ada wanita yang belum siap menjadi seorang ibu tapi sudah mengandung seorang bayi dalam perutnya.” kata Rinko yang melipat kedua tangannya di dada sambil menyenderkan bahunya di kursi kerja. 

“Ngomong-ngomong ada berapa bayi yang akan lahir hari ini?” tanya Noriaki penasaran.

“Sepuluh bayi. Yang pertama mungkin akan lahir siang ini.” kata Rinko memperhatikan jam tangannya. Seorang dokter koas muda menghampiri Rinko, Asami Watanabe.

“Dok, nona Nakagawa sedang merasakan kontraksi hebat, tampaknya sebentar lagi beliau akan pecah ketuban.” jelas Asami dengan suara yang tegas dan jelas. Rinko segera mengalungkan kembali stetoskop di lehernya.

“Baiklah.” Rinko berdiri dari duduknya dan mengikuti Asami.


 

Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan itu dengan sedikit tergesa-gesa, Miho Nakatani. Beberapa dokter menyapa Miho saat wanita itu baru menginjakan satu langkah kakinya di ruangan itu. Noriaki tampak tidak mempedulikan kehadiran Miho karena sibuk membaca buku dan jurnal yang ada dihadapannya. 

“Dokter Izumi, bagaimana dengan kondisi nona Yamada?” tanya Miho. Rinko tak bisa memberikan waktu banyak untuk rekan kerjanya itu, Yuriko bukanlah pasiennya dan kini ia harus membantu persalinan pasiennya yang lain.

“Tanyakan saja pada dokter baru itu.” jawab Rinko dengan tergesa-gesa sambil menunjuk dengan jempol ke arah belakang tubuhnya, menunjuk Noriaki. “Aku harus membantu pasien lain yang akan bersalin saat ini.”

Miho menggangguk tanda mengerti. 


 

Miho kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa membaca situasi di saat seperti, di saat Rinko sedang bergegas akan menolong kelahiran baru, ia malah bertanya tentang pasien lain. 

“Anoo… sumimasen. Siapa yang memegang pasien bernama Nona Yamada Yuriko?” Miho nekad bertanya pada semua dokter yang ada di ruangan itu. Semua dokter langsung menoleh padanya, terutama Noriaki yang sangat merasa jika orang yang dimaksud dan dicari Miho adalah dirinya. 

Waktu seolah membeku dan berhenti sejenak saat Noriaki mendapati wajah cantik yang tak asing baginya itu, si pemilik nama sakral itu muncul tepat di hadapannya, di depan pelupuk matanya. Aduhai betapa bahagianya Noriaki, ia bertemu dengan sumber kebahagiaannya selama bertahun-tahun. 

“Aku, Nakatani-sensei.” jawab Noriaki sambil berdiri dari duduknya, tatapan matanya tak henti memandangi Miho. Miho menoleh segera kepada Noriaki, suara yang tidak asing di telinga, suara yang sudah lama ia tidak dengar. 

Detik mereka bertemu

Senyum keduanya saling beradu, tapi Noriaki mengaku kalah dengan pesona senyum Miho. Senyum yang pemiliknya adalah orang yang paling sering ia sebut setiap kali ia berdoa di gereja. 

“Noriaki-kun?!!!” seru Miho kaget bercampur senang dengan suara yang sedikit lantang.

“Lama tidak berjumpa!” sahut Noriaki lagi. 

Miho menoleh ke sekelilingnya, ia takut suaranya barusan mengejutkan dan mengganggu yang lain.

“Ah maaf, Dokter Kawata.” Miho lebih tenang sekarang. 

“Santai saja. Ada apa?” Demi Tuhan, Noriaki sedang berada dalam keadaan yang sangat bahagia. Bagaimana tidak, ada seorang bidadari cantik tanpa sayap, tanpa riasan wajah, tapi mampu membuat hatinya mabuk kepayang, berdiri tepat di depannya. Jika mereka kini hanya berdua saja, Noriaki pasti akan langsung memeluk sahabatnya itu. 

“Bisakah kita berdiskusi tentang nona Yamada Yuriko?” pinta Miho. Noriaki hanya mengangguk tanpa bisa menolak. Melihat anggukan Noriaki, Miho segera duduk di kursi kosong milik Rinko. 


 

Setengah jam berlalu,


 

Noriaki dan Miho masih membicarakan kasus yang sama, berdiskusi tentang apa yang lebih baik dilakukan untuk keselamatan dan kesehatan pasien mereka. Keduanya memikirkan hal penting yang sama, yaitu: Ada nyawa lain yang juga harus diselamatkan, bayi dalam kandungan Yuriko yang berusia 7 bulan masa kandungan. Jika menunggu usia kandungannya 9 bulan lalu, kondisi jantung Yuriko mungkin akan semakin memburuk dan mungkin saja nyawa Yuriko dan bayinya sama-sama bahaya dengan persentasi keselamatan 50%.

“Kau tentu pernah menangani kasus seperti ini ‘kan?” tanya Miho meyakinkan partnernya ini.

“Pernah. Tapi rata-rata pada usia kandungan di atas 7 bulan. Bayinya bisa terlahir selamat dan hidup di dalam inkubator selama 2 bulan. Tapi, aku belum pernah mendapati pasien dengan kasus kelainan jantung seperti ini.” jawab Noriaki yang masih memperhatikan medical record milik Yuriko. 

“HLHS.” gumam mereka hampir bersamaan. 

“Kau sendiri pernah menangani kasus HLHS tidak?” Noriaki balik bertanya, sembari merapikan tataan action figure gundam kesayangannya yang ada di atas rak kecil di atas meja. Miho menoleh sekilas pada benda kesayangan Noriaki itu. 

“Baru dua kali.” ucap Miho. “Kau sama sekali tidak berubah ya dari dulu. Masih tetap menjadi pencinta gundam.” sambungnya. 

Noriaki tersenyum simpul sendiri. Tidak ada yang berubah dari dirinya sejak dulu, sejak pertama ia dan Miho pertama berkenalan dan menjadi sahabat dekat. Hobinya tetap sama, sifatnya juga sama, apalagi perasaannya pada Miho, setitik pun tidak berubah. Noriaki berharap ia masih bisa selalu berada dekat dengan Miho sampai kapanpun. 

“Baru dua kali? Lalu bagaimana dengan bayi Nona Yamada? Apa kau yakin bisa---?” belum selesai pertanyaan Noriaki, Miho sudah menenangkan semua ketakutannya dengan memberikan jawaban.

“Tenang, aku bukan satu-satunya ahli bedah jantung di sini. Ada dua dokter hebat lain yang akan membantu, salahsatunya adalah Dokter Ogasawara.” jawab Miho dengan tenang. 

“Baguslah kalau begitu.” kata Noriaki. 

“Dia akan sangat membantu kita. Percaya padaku. Dia akan menjadi head surgeon dan aku yang akan menjadi first assistant-nya.” kata Miho membanggakan kemampuan sang tunangan di depan pria yang diam-diam menyukainya. 

“Aku tak sabar ingin bertemu dengannya.”

“Tapi sayangnya ia sedikit mengesalkan.” ledek Miho, tapi memang benar jika soal pekerjaan Kaito termasuk orang yang mengesalkan. Orang yang baru pertama mengenalnya pasti menilainya sebagai orang yang sombong dan galak. Terlebih wajah Kaito yang sangat mendukung dan menggambarkan jika ia adalah orang yang demikian. 

“Apakah ia adalah pria tua yang menyebalkan?” tebak Noriaki sambil sedikit tertawa. Mendengar tebakan Noriaki, Miho juga ikut tertawa. Langsung terpikirkan oleh Miho, bagaimana Kaito nanti ketika sudah berusia 50 tahun ke atas, apakah ia akan tetap menyebalkan seperti sekarang atau malah lebih menyebalkan.


 

Hari ini Noriaki membantu 2 orang wanita untuk melahirkan bayi mereka. Satu diantaranya adalah mereka yang datang ke UGD malam itu. Beruntung Noriaki tidak melakukannya sendiri, ia dibantu oleh beberapa orang perawat dan 2 orang dokter koas yang cekatan membantunya. Dan untungnya lagi, kedua pasien itu melahirkan secara normal tanpa operasi. 


 

Ibu muda berusia sepantaran dirinya tak henti menangis kesakitan sejak pertama tiba di ruang UGD. Keringat bercucuran deras di wajahnya. Noriaki dan timnya membawa pasien itu ke ruang bersalin. Saat tiba di ruang bersalin, Noriaki menanyakan kesiapan si suami untuk menemani sang istri melahirkan.

“Maaf dokter, saya tidak bisa.” jawabnya dengan nada suara gemetar bercapur cemas.

“Oke, baiklah. Tunggulah di sini.” tanggap Kaito sembari menepuk pelan pundak pria itu dan kemudian kembali masuk ke dalam ruangan bersalin. 


 

Semuanya telah siap di posisi masing-masing. Noriaki duduk di sebuah kursi tepat di depan kedua kaki yang terbuka lebar. Ia telah menggunakan APD lengkap, mulai dari masker, baju APD, hingga sarung tangan. Disebaknya kain penutup bagian depan untuk mengintip sudah seberapa besar lubang mulut rahim yang terbuka.

Sudah terbuka sekitar 9 cm. 


 

“Ayo kita mulai.” kata Noriaki pada semua orang yang ada di ruangan itu. “Nishizawa-san, jangan khawatir ya. Atur nafas Anda sebaik mungkin.” tambahnya. Seorang perawat yang berada di samping Nishizawa berulang kali mengajaknya untuk mengatur nafasnya dengan baik.

“Sakit!” jerit wanita itu.

“Anda pasti bisa Nona.” teriak Noriaki dengan sabar dan semangat. “Pada kontraksi berikutnya, ikuti arahan kami, dan Tarik nafas dalam-dalam ya!” Noriaki mengingatkan, tangannya masih berada di dalam kain penutup, ia harus sering melihat bagaimana keadaan bayi yang ujung kepalanya sudah mulai terlihat. 


 

Dan kontraksi terjadi kembali

“Tarik nafas dalam….. hembuskan perlahan…..” Noriaki membimbing, dibantu oleh perawat lagi. “Sekarang dorong!”


 

Si ibu menjerit kesakitan saat berusaha mendorong. Itu semua berulang, tangis kesakitan terus menderu, dan semua tim medis di ruangan itu tak henti pula menyemangati dan membantu. Hingga tak lama, Noriaki berhasil menarik tubuh bayi berjenis kelamin laki-laki itu keluar seutuhnya.

“Selamaaaaat Nona Yoshizawa! Anda memiliki bayi laki-laki yang tampan dan sehat!” seru Noriaki dengan bahagia dan tangan yang berlumuran darah segar. Ia menggendong dan memperlihatkan bayi yang belum terputus tali pusarnya pada sang ibu. Pancaran kebahagiaan jelas terlihat dari mata Yoshizawa, wanita itu tersenyum bahagia. 


 

Saat Noriaki menggunting tali pusar bayi, sang bayi tidak menangis seperti kebanyakan bayi. Dengan siap Noriaki menepuk pelan dua kali pundak si bayi, dan si bayi menangis dengan keras. Ini adalah kelahiran ke 453 kali yang ia bantu selama karirnya sebagai dokter. 


 

Malam itu saat Noriaki kembali ke ruang dokter, ia mendapati Miho masih berada di sana. Tampak olehnya wanita itu sedang sibuk membaca sesuatu di IPad-nya sambil menggosok-gosok pundaknya dengan alat pemijit manual. Meja Noriaki dan Miho berada di baris yang berbeda. Meja Noriaki berada di baris ke tiga, sedangkan meja Miho berada di baris kedua dan berada dua meja lebih dekat dengan ruang pertemuan. 


 

Ruangan dokter di malam hari memang lebih sepi, hanya ada beberapa dokter saja yang berjaga. Cahaya lampu juga tidak terlalu terang dan banyak, lampu di bagian tengah ruangan saja yang menyala, dan lampu baca milik Miho. Melihat betapa pekerja kerasnya Miho, Noriaki tersenyum dalam diamnya, inilah yang ia sukai dari Miho. Miho tidak pernah mengeluh jika diberi tugas piket malam. 

“Kau sudah makan malam?” tanya Noriaki yang berjalan menuju mejanya di baris ketiga. Miho menoleh padanya.

“Belum. Sebentar lagi.” jawab Miho yang terus memijat-mijat pundaknya. 

“Mau ku pesankan makan malam?”

“Tidak. Tidak perlu repot-repot begitu. Aku akan membelinya di kantin sebentar lagi. Kau sendiri sudah makan belum?” tolak Miho dengan sopan.

“Aku juga belum makan malam, makanya aku menawarimu makan malam, kita bisa makan bersama.” kata Noriaki yang duduk di kursinya. Miho jadi tidak enak menolak kebaikan seseorang padanya, niat baik tidak boleh disepelekan. “Mau tidak?”

“Baiklah jika kau memaksa.” 

“Unagi Chazuke ekstra bawang.” ucap keduanya bersamaan, mereka saling pandang dalam diam.

“Kau masih ingat makan favoritku ternyata.” kata Miho senang, senyumnya mengundang ribuan kupu-kupu bermain di dalam perut Noriaki. Bagaimana aku bisa melupakan dengan mudah dan sembarangan semua hal tentangmu? Bukankah aku telah serahkan semuanya padamu? Semuanya, Noriaki membatin. 

“Masih dong. Bagaimana aku bisa melupakan makanan favorit sahabatku sendiri.” goda Noriaki yang mengeluarkan ponsel dan jas putihnya untuk memesan dua porsi Unagi Chazuke untuk dirinya dan Miho. 

Beberapa saat kemudia, ketika sedang asyik membaca, Miho terkejut saat Noriaki duduk kursi kosong di sebelahnya sambil membawa sebuah paper bag berisi pesanan makan malam mereka. Noriaki mendorong kursi yang ia duduki agar sedikit lebih dekat dengan Miho. Ia kemudian mengeluarkan satu persatu kotak makanan dari dalam paper bag, Miho membantunya dengan mengambilkan dua gelas air dari pantry. 

“Ittadakimasu!” ucap keduanya bersamaan.

“Hmmm wanginya enak sekali.” kata Miho senang. Perlahan Miho menyantap Unagi Chazuke kesukaannya sambil sesekali bergumam kesenangan karena saking enaknya dan saking ia begitu menyukai makanan satu ini. Noriaki tersenyum geli saat melihat tingkah Miho seperti ini. 

“Kau seperti jarang atau bahkan tidak pernah memakan Unagi Chazuke saja. Padahal kau berada di Jepang, bisa memakannya kapan saja.” ledek Noriaki. 

“Tapi kan tidak setiap hari juga aku harus memakan ini.” Miho membela diri.

“Kau ingat kapan terakhir kita makan ini?” tanya Noriaki memancing Miho untuk mengingat kenangan mereka di masalalu, bertujuan agar Miho tidak gampang melupakan dirinya. 

“Hmmmm…” Miho menghentikan makannya sejenak untuk berpikir. “Kalau tidak salah di satu malam ketika kita baru saja menangani pasien luka bakar di UGD. Itu adalah malam terakhir kita koas. Dan aku mentraktirmu makan Unagi Chazuke.” kenang Miho. Ia ingat betul berapa persen luka bakar yang dialami pasien mereka saat itu. Sebenarnya ada kejadian lain yang terjadi malam itu, entah Miho tak sengaja melupakannya atau ia memang sengaja melupakannya. Noriaki malam itu sempat keceplosan mengutarakan perasaannya pada Miho, tapi jawaban Miho tidak sesuai dengan harapannya ---meski tidak menyakitkan hati. Sebelum malam itu, Noriaki telah mengatakan hal yang sama pada Miho, tapi Miho belum menjawabnya dan terus menggantung dengan alasan yang tidak jauh dari: Aku ingin fokus koas dulu, dan kau adalah sahabat terbaikku. Noriaki menghargai keputusan Miho untuk fokus pada koas yang mereka jalani, dan setelah koas selesai tentu Noriaki tak mau kehilangan kesempatan. 

“Itu adalah pasien pertama yang membuatku sangat terkesan, apalagi itu terjadi di akhir.” kenang Noriaki. 

“Ohya, kenapa kau mau meninggalkan karirmu di Amerika? Bukankah kau sudah memiliki karir yang bagus di sana?” tanya Miho penasaran.


 

Sayangku,

Andaikan kau tahu,

Kau sudah terlalu menjadi pemilik singgasana hati ini

Aku sudah terlalu lama bertuan padamu

Jadi, pantaskah hamba menjadikan Nona bukan sebagai alasan utama?


 

Noriaki meminum sedikit air di gelasnya, dan meneguknya perlahan. Otaknya berputar mencari alasan agar tidak terlalu jujur pada Miho, alih-alih menutupi alasan yang sebenarnya.

“Sebagai warga negara yang baik yang berprofesi sebagai dokter, aku harus mengabdi padamu----“ Upss…. dia keceplosan, Noriaki langsung terdiam membeku, Miho pun begitu, mereka saling tatap sejenak dengan sama-sama bingung. 

“Gimana?” tanya Miho kaget.

“Ah maaf, maksudku padamu adalah pada negaraku, Jepang. Hehehe.” tawa bodoh itu keluar seiring Noriaki yang ngeles. Keduanya sama-sama tertawa. 


 

Kaito pagi ini memulai aktifitasnya seperti biasa di rumah sakit setelah dua hari libur. Dia memang dikenal sebagai dokter jutek, perfeksionis, dan bermulut tajam oleh rekan-rekan kerjanya. Tapi tidak bisa bohong jika banyak yang menilainya sebagai pria tampan yang tahu bagaimana berpakaian yang sedap di pandang mata. Meski tak pernah lari mode fashion semi formal saat setiap kali bekerja, Kaito nyatanya tak kalah mempesona dengan dokter-dokter muda lainnya. 


 

Setelan kemeja putih dan celana abu-abu sangat pantas dikenakan di tubuhnya, ditambah dengan dasi berwarna biru tua dan jas berwarna hitam. Tatanan rambutnya selalu klimis karena selalu dipakaikan gel rambut. Landyard menggantung di lehernya yang gagah. 


 

Beberapa orang perawat dan dokter menyapanya dengan sopan ketika berpapasan dengannya. Mood Kaito hari ini baik-baik saja meskipun ia sedang berada di fase manik yang mungkin berakhir dalam beberapa hari ke depan. Kaito tidak pernah menjadi fase maniknya sebagai alasan untuk libur bekerja, ia malah disarankan untuk berkegiatan seperti biasa agar adrenalinnya yang berlebihkan bisa tersalurkan. Kurang tidur adalah kekurangannya, tapi ia sudah terbiasa dengan itu. 


 

Bicara soal mood, tidak bohong jika orang yang kurang tidur memiliki mood yang tidak stabil dari orang yang memiliki tidur cukup, dan jelas lebih gampang tersulut emosi bercampur kekesalan. Beruntung Kaito telah menemukan cara untuk mengontrol emosinya agar tidak mengganggu pekerjaannya. Hal yang berbahaya dari fase manik ini adalah emosi yang kurang stabil. Psikiater dan Psikolognya sangat membantunya dengan memberikan saran tentang pengendalian emosinya. 


 

Sebelum ke ruangannya, Kaito mampir dahulu ke nurse station bangsal bedah. Memastikan secara singkat para pasiennya dalam kondisi baik-baik saja.

“Selamat pagi dokter Ogasawara.” sapa beberapa perawat yang berjaga.

“Selamat pagi. Hari ini apakah pasienku sudah siap kondisinya untuk di operasi?” tanya Kaito sambil memeriksa medical record yang disodorkan perawat padanya. Mengeceknya secara cepat dan sekilas, karena ia akan memeriksanya dengan detail nanti. 

“Semuanya aman, Dok. Mesi tadi pagi kondisi Haruka-chan sempat drop.” jawab seorang perawat pria padanya.

“Lalu, bagaimana?” Kaito terus memeriksa medical record di tangannya. Ia berharap jawabannya tidak mengecewakannya.

“Ada Dokter Nakatani yang membantu.” jawab si perawat. Kaito menutup medical record itu dan mengembalikannya pada perawat.

“Bagus. Aku akan kembali nanti.” kata Kaito sembari berjalan meninggalkan tempat itu. 


 

Ia kembali di sapa banyak orang saat memasuki ruangan dokter, dan dengan ramah ia menyapa kembali. Saat berjalan menuju meja kerjanya yang sebaris dengan meja milik Miho, ia mendapati sang kekasih tertidur dengan posisi duduk dengan kaki yang menjulur ke depan. Kaito memperhatikan Miho yang tidur dengan menggunakan penutup mata di wajahnya. 


 

Dari kejauhan, Noriaki memperhatikan Kaito berdiri di samping Miho yang tertidur. Sudah pasti pria itu adalah rekan kerjanya sesama dokter, pikirnya. Kaito iseng membisikan sesuatu di telinga Miho.

“Selamat pagi, Dokter Nakatani!” bisiknya meski dengan suara yang sedikit lebih besar sebuah bisikan. Miho terbangun dan tergeliat karena kaget. Ia membuka penutup matanya, dan mendapati sang kekasih berdiri dan tersenyum di hadapannya. 

“Selamat pagi. Aku kira siapa.” kata Miho. 

“Terima kasih atas piket malamnya.” ucap Kaito yang mengelus-elus kepala Miho. Miho tersenyum malu pada Kaito, Kaito menatapnya dengan penuh kehangatan dan cinta. Noriaki masih memperhatikan diam-diam Miho dan Kaito. Gestur tubuh Kaito yang mengelus-elus rambut dan membisikan sesuatu ke telinga Miho masih menjadi tanda tanya besar baginya. 

“Maaf, Dokter Kawata. Saatnya kita memeriksa kondisi Nona Yoshizawa.” seorang perawat membuyarkan lamunan Noriaki. 

“Ah iya. Maaf. Ayo!” ia bergegas mengangkat kedua kakinya untuk pergi dengan pertanyaan yang memenuhi kepalanya. 

“Bagaimana liburanmu?” tanya Miho.

“Menyenangkan, seperti biasa.” jawab Kaito dengan senyuman lebar melegakan. 


 

Rapat mengenai operasi yang akan dilakukan pada pasien bernama Yamada Yuriko. Rapat penting ini selalu dilakukan di ruangan rapat yang ada di pojok dari ruangan dokter. Posisi ruang itu berada di bawah, jadi ada sebuah tangga kecil di depan pintu masuk. Tim operasi yang hadir terdiri dari Kaito sebagai head surgeon bidang kardiovaskular, Miho sebagai first assistant, Kitayama Naoto sebagai second assistant, Nishino Mariya sebagai perawat operasi, Maeda Kazuki sebagai dokter anestesi, Murakami Aoki sebagai medical enginer, dan Kawata Noriaki sebagai head surgeon bidang obgyn, bersama Rinko sebagai first assistantnya. 


 

Kini Noriaki bisa melihat lebih jelas wajah Kaito yang menjadi orang yang paling membuatnya penasaran sejak tadi pagi. Mereka duduk berhadap-hadapan di meja panjang itu. Kaito tampak serius membaca daftar nama timnya pada operasi kali ini.

“Wah ada dokter kandungan baru rupanya.” kata Kaito sambil melihat pada pria yang duduk di hadapannya. “Ku pikir Dokter Izumi bisa meng-handle polinya sendirian. Ternyata butuh bantuan juga.” sambungnya dengan ledekan. 

“Kau seperti tidak tahu seberapa banyak pasien ku setiap harinya.” sahut Rinko cuek yang duduk di sofa di belakang Noriaki. Wanita tomboy ini paling tidak suka suasana formal saat rapat. Kadang mau tidak mau ia harus duduk bersama yang lain, itupun jika mengikuti rapat bersama Tadashi di ruang pertemuan utama di lantai 7. 

“Ohya, akan ku perkenalkan, rekan baru kita.” kata Miho “Namanya Kawata Noriaki, seorang dokter kandungan yang akan membantu Dokter Izumi di poli kandungan. Dia adalah teman kuliah ku di Todai saat kami mengambil kedokteran umum.” Miho menjelaskan dan memperkenalkan Noriaki pada semua orang yang ada di ruangan kecil itu, terutama pada Kaito. 

“Selamat siang semuanya! Perkenalkan namaku Kawata Noriaki, dokter kandungan baru di sini. Spesialisasiku adalah bedah ibu dan bayi, serta bedah neonatal. Mohon bantuan dan kerjasamanya!” Noriaki akhirnya memperkenalkan dirinya secara langsung. Kaito memberikan senyuman ramahnya dengan tulus ---ia belum menemukan sesuatu yang menjengkelkan dari diri Noriaki, dan anggukan tanda setuju beberapa kali. 

“Selamat datang Dokter Kawata.” ucap Kaito menyambut rekan barunya itu. Noriaki mendapati reaksi dan raut wajah setiap orang di rumah itu, tampaknya mereka menyambut Noriaki dengan baik. “Oke baiklah sekian perkenalannya. Sekarang mari kita mulai rapat penting ini.”


 

Tidak boleh ada yang santai-santai dan tak serius setiap mengikuti rapat bersama Kaito sebagai kepala bedahnya. Yang boleh memberikan lelucon pencair suasana adalah Kaito, meski kadang Rinko suka iseng memberikan lelucon ketika ia muak dengan situasi yang terlalu tegang dan kaku. 

“HLHS bukankah kelainan jantung yang main-main, prosedur operasi yang dibutuhkan juga bukan prosedur biasa. Dan yang menjadi prioritas kita bukan hanya Nona Yamada saja tapi juga bayinya. Benar begitu, Dokter Kawata?” tanya Kaito.

“Ya benar sekali. Dengan kondisi Nona Yamada yang seperti ini, sangat tidak memungkinkan jika kita memintanya untuk melahirkan secara normal. Aku terpikirkan jika kita harus mengeluarkan bayinya terlebih dahulu, setelah itu kita bisa mengoperasi jantungnya.” jelas Noriaki. 

“7 bulan. Kelahiran prematur Nona Yamada sendiri memiliki riwayat kelainan jantung juga sebelumnya. HLHS adalah kelainan jantung bawaan yang biasanya menurun dari orangtua ke bayi.”gumam Kaito smabil membaca medical record milik Yuriko. “Kondisi kehamilannya bagaimana?” Kaito kembali melihat pada Rinko dan Noriaki. 

“Bayinya sehat meski tidak sesehat kondisi bayi pada umumnya, aku telah memeriksanya kemarin. Aku mengkhawatirkan kondisi fisik dan jantung Nona Yamada akan berpengaruh pada bayinya.” jawab Noriaki, ia diam-diam memperhatikan Miho yang duduk di sebelah Kaito. Tidak ada yang menarik perhatiannya seperti tadi pagi. Miho terlihat sangat fokus dengan pekerjaannya. 

“Kita akan mengoperasi jantung bayinya dengan menggunakan prosedur Norwood, karena selama ini yang paling pas dan cocok dengan kasus ini adalah Norwood.” Kaito mengambil keputusan untuk apa yang akan dilakukan timnya di kamar operasi. 


 

Beberapa mahasiswa koas yang ikut dalam rapat ini duduk di pojok ruangan, satu diantaranya memiliki ketidaksukaan pada Kaito sejak pertama ia melaksanakan koasnya di bawah bimbingan Miho. Mahasiswa pria berkacamata itu bernama Nikaido Daisuke. Mahasiswa kedokteran dari sebuah universitas swasta bergengsi. Daisuke selalu mendengus kesal ketika mendengar perkataan Kaito, baginya Kaito hanya sok hebat dan tidak memiliki kemampuan yang luarbiasa yang seperti oranglain agung-agungkan selama ini. 

“Kenapa harus menggunakan prosedur Norwood, Dok?” Daisuke bertanya secara spontan, ia hanya ingin menguji sehebat apa seorang Ogasawara Kaito. “Kenapa tidak menggunakan prosedur batista atau prosedur bypass?” Daisuke melipat kedua tangannya. 

“Apakah kau pernah mendengar jika kasus HLHS pada bayi diobati dengan prosedur batista atau bypass?” Kaito bertanya balik. Kini mata semua orang tertuju pada Daisuke dan Kaito. Naoto dan Mariya saling pandang, seolah mengindikasikan jika suasana akan mendingin sebentar lagi. Daisuke dikenal sebagai mahasiswa koas yang pongah sekalipun ia adalah mahasiswa yang pintar. Sebenarnya Daisuke telah beberapa kali berdebat dengan kepala bedah mereka, dan beberapa kali pula Kaito menegur pemuda itu secara langsung. 

“Dia mulai lagi.” gumam Naoto yang terdengar oleh Noriaki yang duduk di sampingnya. 

“Aku pernah mendengar tentang prosedur Glenn pada kasus HLHS bayi.” jawab Daisuke percaya diri. Kaito mendengus pelan dengan kesal, ia mencoba sabar dan menahan emosi saat berhadapan dengan Daisuke. Penyataan barusan tidak sepenuhnya salah, tapi sedikit kurang tepat. 

“Silakan Anda jawab, Dokter Nakatani, bukankah dia adalah mahasiswa koas bimbinganmu?” ucap Kaito pelan, ia membuka tutup air mineral di hadapannya dan meminumnya beberapa teguk. 

“Jadi, prosedur Glenn---“ 

“Saya bertanya pada Anda, Dokter Ogasawara. Saya berharap Anda mau membagi sedikit ilmu pada kami.” kata Daisuke bersikeras, mendesak Kaito menjelaskan padanya. Sikap Daisuke kali ini membuatnya gatal dan gerah, selain Daisuke memulai perdebatan, Daisuke juga dengan tidak sopan memotong pembicaraan yang akan dimulai oleh Miho. 

“Prosedur Glenn dilakukan saat bayi terlahir dan berusia 3 sampai 6 bulan. Untuk kondisi yang kita hadapi sekarang, kita harus mengoperasinya paling cepat setelah ia lahir dan paling lambat beberapa hari setelah kelahiran. Apakah Anda paham?” ujar Kaito menjelaskan. 

“Baik, saya paham.” Daisuke tersenyum dengan wajahnya yang puas karena berhasil membuat Kaito kesal hari ini. Tujuan utamanya adalah mempermalukan Kaito dan membuat Kaito mengaku jika kemampuan bedahnya tidak sekeren yang dikira. 

“Bagus. Lain kali jika ingin berdebat denganku, ku sarankan kau membaca banyak jurnal ilmiah terlebih dahulu daripada asal berbicara seperti itu.” kata Kaito menasehati Daisuke dengan kata-kata pedasnya yang khas seperti biasa. 


 

Noriaki menghembuskan nafasnya lega, kini ia paham apa yang dimaksud Miho. Ogawasara memang pria yang sedikit mengesalkan dan tanpa ampun jika menghadapi prilaku seperti Daisuke. Padahal menurutnya, menghadapi seseorang seperti Daisuke yang notabene adalah darah muda yang membara bisa dilakukan dengan cara yang lebih santai dan lunak. Ia tertawa meluapkan rasa keterkejutannya. Rinko menepuk pelan bahu bidang Noriaki dari belakang dua kali. 

“Welcome to our club, dude!” kata Rinko pelan. 

“Apakah dia selalu seperti itu?” bisik Noriaki pada Rinko.

“Ya. Jangan kaget jika kau mendapatinya seperti itu setiap hari mulai hari ini.” ucap Rinko dengan santai. “Dia hanya kurang santai.” ledeknya. 


 

Miho memandangi Noriaki dari jauh, tatapan itu tertangkap oleh Noriaki. Miho mengisyaratkan jika memang seperti inilah Kaito, Miho tersenyum kecut pada Noriaki dengan menggerakan kedua bahunya. Sifat keras Kaito kadang juga membuat Miho kesal, ini yang menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran kecil mereka. Miho hanya bisa mencoba memahami bagaimana Kaito, apa yang membuat pria berambut klimis itu pantang dibantah terhadap yang dianggapnya benar. Yang penting adalah Kaito bukan tipe orang keras yang akan bersikap batu tanpa sebab dan alasan kemudian marah-marah tanpa sebab pula. Meski bipolar yang dimilikinya bisa sangat memicu, tapi Kaito sanggup membedakannya dan menahan emosinya. Nalar dan pikirannya masih berjalan dengan baik. 

“Tampaknya Nikaido-kun sangat tertarik dengan kasus HLHS ini.” kata Noriaki mencoba mencairkan suasana. “Kenapa tidak Anda ajak saja dia saat operasi nanti? Itu bisa memuaskan keraguan dan keingintahuannya.” mata Kaito bergantian memperhatikan Daisuke dan Kaito.


 

Daisuke memperhatikan dokter baru ini, ia merasa Noriaki berada di pihaknya meski ada sedikit perasaan terhina, seolah ia adalah bocah yang sangat kepo dengan sebuah proses operasi. Kaito belum menjawab atau menanggapi apa-apa, ia hanya diam sambil menatap dengan tatapan lurus medical record yang ada di hadapannya. 

“Keren juga tuh idenya, Dokter Kawata.” tanggap Miho yang setuju, diam-diam ia memegang tangan Kaito, mengelus-elus tangan ajaib itu berharap hati Kaito mendingin dan mencair. 

“Ya ‘kan? Saat aku seperti dirimu, aku juga suka banyak bertanya pada dokter senior.” kata Noriaki dengan santai. Noriaki merasa agak kasihan pada Daisuke, tidak ada yang salah dengan mengungkapkan pendapat dan bertanya, meski caranya yang kurang benar. 

Semua masukan didengar baik-baik oleh Kaito, dalam hati ia tetap menolak enggan memasukan si pembuat dan pencari gara-gara masuk ke dalam ruang operasinya. Bisa-bisanya selama operasi Daisuke akan habis ia marahi, atau bisa saja Daisuke membuat kesalahan kecil tapi sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup seorang manusia. 

“Ayo kita lanjutkan rapat ini. Sebentar lagi aku ada operasi lain.” kata Kaito mengalihkan pertanyaan dan usul dari Noriaki. Daisuke menatapnya dengan kesal, ia kecewa Kaito tidak memberikannya kesempatan. 


 

Saat rapat selesai, semua orang perlahan keluar dari ruangan itu. Hingga yang tersisa hanya mahasiswa koas yang masih berada di tempat mereka duduk. Miho menghampiri Daisuke.

“Maafkan aku jika sikap Dokter Ogasawara membuatmu kesal dan malu tadi.” kata Miho, ia menatap iba pada Daisuke. 

“Dokter tidak perlu minta maaf. Aku hanya bertanya seperti itu, apakah itu salah?” Daisuke membela dirinya.

“Tidak kok. Hanya saja caramu tadi sedikit kurang tepat.” jawab Miho dengan pengertian dan lembut. “Tapi jangan terlalu dipikirkan ya. Kalau kau mau tahu lebih banyak soal kasus ini, aku bisa membantumu. Atau kau mau menyaksikan operasi itu lusa? Aku bisa membicarakannya dengan Dokter Ogasawara.”

“Tidak perlu, Dok. Terima kasih.” ucap Daisuke sok jual mahal dan kembali membuat drama. “Permisi.” ia dengan sopan undur diri dari hadapan Miho. 


 

Menjinakkan hati Kaito yang kesal akibat perselisihan kecil bukanlah hal baru bagi Miho. Hal yang perlu ia lakukan adalah bicara empat mata saja dengan Kaito tanpa diketahui oranglain. Miho mengikuti Kaito yang masuk ke dalam ruangan kecilnya. Tunggu, mengapa Kaito memiliki ruangan kecil pribadi? Bagaimana bisa? Ya tentu bisa, Kaito merupakan dokter bedah jantung andalan rumah sakit ini yang posisinya berada tepat di bawah kepala departemen bedah jantung. Pantas jika ia mendapatkan sedikit fasilitas tambahan. 

“Kaito.” panggil Miho saat mereka baru masuk ke dalam ruangan Kaito. Kaito segera menghempaskan punggung di kursi meja kerjanya, kemudian memandang pada Miho. Miho bersandar pada pinggir meja kerja Kaito, memasukan kedua tangannya ke dalam saku jas miliknya. 

“Aku harap kau bisa mendidik anak koas bimbinganmu dengan baik. Nikaido-kun sudah terlalu sering bersikap mengesalkan seperti tadi.” kata Kaito blak-blakan, kini ia jauh terlihat lebih santai. Cara duduknya pun lebih santai daripada saat rapat tad. Kedua kakinya ia biarkan menjulur ke depan. 

“Memang ia tadi sedikit kelewatan, tapi apakah salah ia bertanya padamu?”

“Salah? Aku yakin ia pasti tahu mengenai HLHS dan beda antara prosedur Norwood dan prosedur Glenn.” jawab Kaito cuek. “Jelas ia ingin menguji pengetahuanku tadi.” tambahnya. Miho mengalihkan pandangannya, baginya Daisuke tidak se-tidak kurang sopan itu menguji pengetahuan oranglain, terlebih seorang ahli. Ia percaya, dalam penilaiannya pertanyaan Daisuke tadi murni hanya sebuah pertanyaan biasa dari seorang pemula kepada seorang ahli. 

“Apapun itu, tak seharusnya kau terlalu keras padanya seperti itu. Kau seperti tidak pernah berada di posisinya saja.” kata Miho menunjukkan sedikit kekecewaannya pada Kaito, wajahnya sedikit murung. Kemurungan orang yang dicintai adalah sesuatu yang pantang bagi orang yang sedang jatuh cinta. Kaito meluruskan pundaknya, mendekatkan kursinya pada Miho yang masih membuang wajah padanya, kemudian mengambil tangan kanan Miho di saku jas, menggenggamnya dengan erat dan hangat. 

“Ya sudah, maafkan aku ya.” ucap Kaito pelan. Miho menoleh pada Kaito. Melihat sikap Kaito yang lunak seperti ini, membuat Miho bahagia. “Terima kasih juga, tadi kau mencoba untuk menenangkanku.” sambungnya dengan senyuman manis, Kaito mencium tangan Miho dengan lembut, menarik pinggang Miho dan perlahan mencoba membawa Miho dalam pelukannya. 

“Jangan bermanja-manja di tempat seperti ini.” bisik Miho meledek. Kaito tak peduli, ia hanya tersenyum, belum melepaskan tangannya dari pinggang ramping Miho. Miho meletakan satu tangannya pada pundak Kaito. “Bolehkah aku hari ini menjadi head surgeonnya?” ledek Miho.


 

Kaito langsung berdiri dari duduknya, tangan itu belum lepas dari genggamannya. Ia mendekatkan wajahnya pada wajah Miho. Dengan secepat kilat ia mencium bibir Miho, dan menjawab pertanyaan sensitif barusan.

“Tentu tidak, Dokter Nakatani.” bisiknya mesra penuh ambisi. Miho terkekeh dan langsung melepaskan tangannya dari genggaman Kaito. Keduanya tertawa pelan saling meledek, dan berjarak seperti semula.