Contents
Hilarity at OR
1
Hobi Kaito salahsatunya adalah menjelajah dan menikmati alam liar melalui hiking. Dia tidak akan keberatan ---meski beban di tas gunungnya nyatanya berat, dan tidak akan mengeluh jika disuruh menelusuri bukit, hutan, dan gunung indah yang ada di seluruh penjuru Jepang. Berbagai sertifikat pendakian, hiking, dan kegiatan alam lain sudah ia miliki sejak bertahun-tahun lalu. Ini menambah rasa percaya dirinya jika ditanyai orang tentang kesiapannya mendaki gunung.
Nafasnya tetap terengah-engah karena lelah, ini adalah hal normal bagi siapa saja yang melakukan kegiatan outdoor yang bersifat menjelajah alam. Yang membuat Kaito berbeda dengan oranglain lain adalah, ia tahu bagaimana harus bernafas dengan normal di saat berkegiatan berat tanpa harus terlalu menguras tenaganya, dan memforsir kegiatan jantung dan paru-parunya.
Gunung Fuji terlalu sering pria itu datangi dan daki. Rasanya jika Gunung Fuji bisa berbicara mungkin ia akan menjadikan Kaito sebagai teman dekatnya karena terlalu sering singgah. Dalam setahun, paling tidak Kaito menyediakan dua kali untuk mendaki gunung kebanggaan Jepang itu, yaitu pada tahun baru dan saat ia ulangtahun.
Lantas apakah Kaito hanya ingin mendaki Gunung Fuji saja? Tentu tidak.
Pria berusia 38 tahun itu, juga suka menelusuri objek alam lain seperti perbukitan, hutan lindung wisata, atau bahkan air terjun. Bahkan jadwalnya untuk ke tempat lain selain Gunung Fuji lebih banyak dalam setahun. Paling tidak satu kali dalam sebulan. Dan, kali ini Kaito bertandang Gunung Yoshino di Prefektur Nara.
Tak lupa sebelum mendaki semakin tinggi, Kaito menyempatkan diri di pagi hari untuk singgah ke kuil Kinpusenji yang terkenal di kawasan Gunung Yoshino. Ia berdoa bersama beberapa biksu dan peziarah yang beribadah pagi. Saat kedua telapak tangannya bertemu dalam keheningan dirinya, Kaito meminta banyak hal dalam doanya. Terutama untuk keselamatannya hari ini yang akan mendaki Gunung Yoshino, dan doa-doa lain yang sering ia ucapkan setiap kali mengunjungi sebuah kuil. Salahsatunya adalah meminta Dewa agar mempertahankan cincin pertunangan yang melingkar di jari manis Kaito sampai ia menghembuskan napas terakhirnya suatu hari nanti.
Langkah demi langkah terus berjalan, dalam hati Kaito terus menghitung satu-dua satu-dua, mencoba terus tetap rileks tanpa merasa terbebani dengan perjalanannya. Kaito selalu menggunakan pakaian lengkap ala pendaki gunung professional, lengkap dengan topi dan tongkat pembantu jalan. Ini baru start awal, masih jauh dari titik pemberhentian paling tinggi yang menjadi tujuan utamanya.
Diperjalanan tidak hanya ada dia sendiri. Pada pemberhentian awal, masih terlihat banyak masyarakat umum, bahkan ada anak-anak dan lansia. Bisa ditebak para pengunjung anak-anak dan lansia tidak akan terpikirkan untuk mendaki gunung ini hingga pemberhentian paling atas seperti Kaito.
Di sekitar kaki gunung, masih banyak kedai-kedai makanan dan rumah dari masyarakat sekitar. Kaito tidak tergoda untuk singgah dan makan sejenak di salahsatu kedai, mengingat ia telah membawa bekal sendiri. Hal yang harus ia pikirkan saat ini adalah fokus hingga titik terakhir di atas sana.
Hamparan pemandangan serba hijau dari pepohonan dan rumput tak henti memanjakan mata sepanjang perjalanan yang melelahkan ini. Hembusan angin sepoi-sepoi nan lembut menyentuh kulit, tapi tak membuat keringat berhenti keluar dari pori-pori kulit. Kaito tidak memforsir dirinya dengan terus berjalan tanpa henti, setiap beberapa meter perjalanan, ia berhenti sejenak untuk istirahat, minum seteguk dua teguk, dan mengabadikan momen yang baginya indah dengan kamera ponselnya.
Kaito duduk sejenak di bawah sebuah pohon yang rindang. Ini sudah setengah perjalanan, dan seperti yang ia duga, kini tidak begitu banyak pendaki yang meneruskan pendakian. Paling tidak, tidak ada anak-anak atau lansia seperti yang ia temui titik pendakian awal di bawah.
Tas ransel merah tua ia lepaskan sejenak dari pundaknya dan meletakannya di sampingnya. Sejenak ia menyelonjorkan kedua kakinya agar tidak keram. Kaito melihat pada jam tangannya, ini sudah hampir lewat tengah hari pikirnya. Ia tahu harus melakukan apa saat ini, membuka tasnya dan mengeluarkan kotak bekal nasi. Ada dua onigiri tersusun rapi di dalam kotak bekal nasi berwarna biru muda bergambar bunga Camomile itu. Ini adalah onigiri bikinannya sendiri, dengan isian mayonese, ikan tuna, dan suiran sayur. Tak lupa diselimuti oleh rumput laut kering di luar.
Mulutnya mengunyah nasi onigiri itu dengan penuh rasa nikmat dan rasa syukur sembari menikmati pemandangan super luar biasa indah dari atas sini dengan kedua matanya. Kegiatan seperti ini memang stress relief sebenarnya bagi Kaito. Obat anti depresan yang diresepkan psikiater padanya tidaklah cukup untuk membuat mental dan kebahagiaannya membaik, ia harus melakukan sesuatu secara fisik dan psikologis untuk memulihkan semuanya. Obatnya memang harus bahagia, bahagia lahir batin, tanpa ada manusia toxic yang hidup di sekelilingnya. Dan melakukan hobi seperti inilah yang menjadi pertahanan atau defense pertama Kaito untuk berhadapan dengan stress dan toxic. Ia harus membahagiakan dirinya terlebih dahulu, dan diri sendiri harus menjadi prioritas pertama kebahagiaan.
Setelah dua onigiri itu habis, 15 menit kemudian Kaito menenggak 3 butir obat anti depresan miliknya. Tak lama, ponsel dalam saku celananya berdering. Hanya ada deretan nomor yang terpampang di layar pintar itu. Sejujurnya Kaito enggan menjawab telepon ketika sedang asyik mendaki seperti ini, apalagi dari nomor baru. Benar-benar mengganggu pikirnya.
“Halo.” buka Kaito
“Halo, Dokter Ogasawara. Saya dari mahasiswa koas Anda di Rumah Sakit Meishin, Kitahara Ryuhei.” kata si penelpon yang suaranya terdengar terengah-engah melebihi dirinya yang sedang mendaki gunung.
“Ya, ada apa?” tanya Kaito santai.
“Pasien Anda yang berada di kamar 112 kondisinya kritis, dan seperti harus segera dioperasi. Beliau sudah tak sadarkan diri sejak 15 menit lalu.” jawab Ryuhei mencoba menjelaskan.
Kaito Ogasawara, pria berusia 38 tahun, pengidap Bipolar tipe 2 yang juga seorang dokter bedah kardiovaskular itu kini sedang mengingat siapa pasiennya yang berada di kamar nomor 112. Ia memiliki banyak pasien di rumah sakit Meishin, mau tak mau ia harus ingat semua penyakit dan keluhan semua pasien yang ia tangani.
Ryuhei menyebutkan semua kondisi yang ia hadapi dan pasien itu alami dalam 24 jam terakhir hingga hilang kesadaran 15 menit lalu. Kaito mendengarkannya dengan baik, otaknya sembari berpikir apa yang bisa ia lakukan mengingat ia tidak bisa kembali ke Tokyo saat ini juga.
“Bagaimana dokter?”
“Silakan hubungi Dokter Nakatani. Ia bisa membantu.” jawab Kaito dengan percaya diri.
“Dokter Nakatani? Apakah Anda tidak bisa datang sekarang ke rumah sakit?”
“Tidak bisa. Aku sedang di Gunung Yoshino, Nara sekarang. Tenang saja, aku telah menitipkan semuanya pada Dokter Nakatani, ia bisa mengatasinya.” kata Kaito. “Kalau tidak salah, hari ini adalah jadwal dinas Dokter Nakatani ‘kan?”
“Iya dokter.”
“Bagus. Koordinasilah dengannya.”
“Baik dokter.”
Percakapan genting itu selesai, dan Kaito memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Waktunya melanjutkan perjalanan kesembuhan mental ini. Ia tidak merasa berdosa tidak bisa membantu pasiennya barusan, paling tidak ia sudah memberikan solusi alternatif lain dengan merekomendasikan rekan kerja, dan calon rekan hidupnya, Nakatani Miho.
Bicara soal Miho, Kaito memikirkan wanita itu saat langkah pertama ia meneruskan perjalanan. Rumah sakit adalah tempat mereka saling mengenal, tidak jauh dari pekerjaan. Awalnya Kaito merasa terganggu dan sedikit takjub dengan kehadiran dokter wanita itu, karena ia tahu dengan segala kemampuan yang dimiliki Miho sebagai dokter bedah kardiovaskular, perlahan tapi pasti Miho akan menyaingi dirinya.
Kisah dan perjalanan cinta mereka merupakan implementasi dari istilah benci jadi cinta. Dulu perdebatan hampir tidak bisa dielakan setiap mereka bertemu di rumah sakit. Baik saat meeting hingga di ruang operasi. Kaito sangat jengkel ketika ada orang baru yang masuk ke dalam tim operasinya, bukan karena ia takut tersaingi ---baginya ia adalah nomor satu, tapi mau tidak mau ia harus mengoreksi kinerja orang baru tersebut. Berulang kali bahkan terlalu sering Kaito menahan emosi dan makan hati setiap kali ada asisten bedah baru dalam timnya, dan tak jarang Kaito menegur dan memarahi mereka saat itu juga. Bukannya sok hebat atau sok keren, tapi satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.
Dari sebuah bahkan banyak perdebatan, Kaito bisa menilai bagaimana Miho. Ia punya prinsip dan quote sendiri: Jika ingin melihat bagaimana watak dan karakter seseorang, maka ajaklah ia berdebat. Di matanya, Miho bukan tipe orang yang mempertahankan pendapat dan argumennya tanpa alasan, terlebih soal medis. Tidak hanya soal pekerjaan medis saja, di luar itupun Miho masih tetap sama.
Sebelum menyatakan cintanya pada Miho, ibu Kaito waktu itu tengah menjodohkan anak laki-lakinya dengan seorang wanita yang bekerja sebagai direktur di perusahaan kosmetik terkemuka. Tapi, perjodohan itu batal karena dari pihak si wanita sendiri tidak bisa menerima kondisi kesehatan mental Kaito yang saat itu masih sedikit berantakan. Hebatnya, meski Kaito memiliki kondisi kesehatan mental yang rentan, itu sama sekali tidak mempengaruhi profesionalismenya saat bekerja. Ia pintar mengatur mood dan waktu. Hingga hari ini, Kaito akan libur dari pekerjaannya jika ia sudah mendapati gejala depresif pada dirinya, dan memutuskan untuk beristirahat di rumah sekaligus healing time.
Kaito merasa tidak menyesal karena memilh melabuhkan cintanya pada Miho, ia juga tidak menyesal menyematkan cincin pertunangan seharga ratusan ribu yen di jari manis wanita cantik itu. Miho adalah apa yang diinginkan Kaito dalam hidupnya sebagai pendamping hidup.
Setelah beberapa jam, Kaito akhirnya tiba di titik tujuannya di salahsatu puncak Gunung Yoshino. Ada sebuah rasa kepuasan tersendiri ketika kita sampai pada satu tempat yang telah kita idam-idamkan sebelumnya. Jelas semua rasa lelah dan penat selama pendakian terbayarkan, dan tidak berakhir sia-sia.
Saat sampai di tujuan, terik matahari sudah tidak terlalu terik seperti siang tadi. Cahaya matahari menjadi lebih ramah saat menyentuh permukaan kulit. Dari atas sini, Kaito menikmati lebih luas lagi pemandangan hamparan pepohonan yang daunnya masih setia bertengger pada dahan pohon. Pada bulan ini, jangan harapkan warna-warni bunga bermekaran seperti musim semi, ini adalah saat peralihan dari musim semi ke musim panas. Hanya beberapa pohon yang masih memiliki bunga yang mekar, itupun sedikit. Bahkan, lebih banyak bunga yang telah berjatuhan dari rantingnya, Kaito mendapatinya di tempat ia duduk sekarang.
Sungguh situasi seperti ini adalah hal yang paling ia sukai. Alam memang tidak pernah salah, bahkan selalu bisa menjadi penyembuhan utama manusia.
Sesampainya di penginapan, Kaito segera mandi di pemandian air panas dan menyantap makan malam. Setelah itu ia memilih bersantai saja di ruangannya dan tidak beranjak dari ruangan itu. Dengan menyaksikan konten menarik dari Netflix di layar televisi datar, istirahat malamnya semakin menyenangkan. Jangan harap dan bayangkan Kaito mau menyantap segala bentuk junk food seperti pizza atau burger untuk menikmati siaran Netflix-nya. Ia tahu betul junk food berlebihan menjadi alasan para pasiennya yang berusia muda harus bertemu dengannya di kamar operasi.
Hanya edamame, ocha dingin, dan satu piring salad segar yang menemaninya saat ini. Remote TV tidak pernah lepas dari genggamannya, dan badannya belum beranjak sofa. Ketika sedang asyik menonton tayangan kesukaannya di Netfix, tiba-tiba ponsel pintar milik Kaito yang tergeletak di meja di hadapannya bergetar. Nama Miho terpampang dengan jelas di layar kecil itu.
“Halo.” buka Kaito, matanya tetap memperhatikan layar TV.
“Halo. Aku hanya mau bilang operasinya berjalan dengan lancar.” kata Miho yang langsung to the point.
“Bagus.” tanggap Kaito singkat. “Kau hanya ingin mengatakan itu saja?”
“Kau sedang apa?” tanya Miho yang berjalan sendirian menuju parkiran.
“Aku baru sampai penginapan jam 6 sore, dan aku sedang menonton Netflix sekarang. Kau sendiri?”
“Aku akan pulang.” Miho menemukan dimana sepeda kesayangannya terparkir. Kadang ia sering lupa dimana ia memarkirkan sepeda berwarna hitam itu.
“Matahari tenggelam di Gunung Yoshino sangat indah, sama seperti keindahan matahari tenggelam di atas gunung lainnya. Kapan-kapan aku ingin membawamu mendaki lagi.” kata Kaito dengan bahagia.
“Dengan senang hati, aku akan ikut mendaki bersamamu. Aku juga butuh liburan.” kata Miho dengan nada keluhan, ia menaiki sepedanya namun belum mengayuh pedalnya. Kini ia memasang helm sepeda di kepalanya.
“Apakah operasi hari ini sangat sulit?” tanya Kaito.
“Iya, sangat sulit, meskipun aku sudah terbiasa melakukan prosedur operasi seperti itu. Mau gimana lagi, aku harus melakukannya, aku ‘kan dokter.” jawab Miho.
“Maaf kalau hari ini aku membuatmu repot.” ucap Kaito dengan tak enak hati. Miho masih belum mengayuh sepedanya, ia akan menyelesaikan perbincangannya dengan Kaito sebelum ia berkendara dengan sepeda olahraga ini.
“Tidak membuatku repot, ini memang tugasku. Kau seperti tidak tahu saja pekerjaan kita.” hibur Miho. Suasana di area parkir tidak begitu ramai orang, hanya ada deretan mobil yang kosong.
“Hanya aku yang tidak akan repot dan kesusahan saat melakukan operasi.” tambah Kaito dengan bangga dan rasa percaya diri yang tinggi. Miho sedikit tertawa, ia sudah kebal dan kenyang dengan secuil kesombongan yang dimiliki tunangannya itu.
“Iya iya, aku tahu. Btw, kau sudah minum obat?” tanya Miho untuk yang terakhir kalinya sebelum ia benar-benar menggowes sepedanya.
“Sudah. Kau tak perlu terlalu mengkhawatirkanku, sekarang pulanglah dan istirahat. Selamat malam. Bye!”
“Bye!” ucap Miho yang langsung memasukan ponselnya ke dalam tas ranselnya, kemudian menaruh kaki kanannya di atas pedal sebelah kanan, dan kaki kiri di atas pedal kiri. Dokter Nakatani kini benar-benar menggowes sepeda kesayangannya untuk kembali pulang.
Miho mengayuh sepeda dengan tidak terlalu menguras tenaganya yang notabene sudah terkuras pada dua operasi hari ini. Sebelum kembali ke apartemen mungilnya, Miho menyempatkan diri untuk mampir ke toko sayur dan lauk langganannya untuk membeli bahan masakannya malam ini.
Di rumah, Miho sama seperti orang dan wanita lajang seumuran dirinya. Sibuk mengurusi dirinya sendiri, membuat makan malam, kemudian menyantapnya sembari bermain ponsel. Apartemen Miho adalah apartemen yang berukuran standar dan paling umum di Jepang. Hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, satu ruang tamu, dan bonus sebuah balkon.
Di gedung apartemennya, hanya ada 2 lantai, yang diisi oleh beberapa apartemen yang berukuran sama. Di antara semua penghuni, Miho yang sebenarnya memiliki pekerjaan paling bagus dan berpenghasilan lebih tinggi, tapi entah mengapa Miho memilih bertahan di apartemen ini sejak bertahun-tahun lalu. Ia enggan pindah ke apartemen yang lebih besar dan mewah, meski Kaito berulangkali memberikan rekomendasi apartemen yang lebih baik, bahkan Kaito pernah mengajak Miho untuk menjadi tetangganya.
Entah mengapa Miho sangat suka hidup dengan prinsip minimalis. Ia lebih suka menghemat pengeluaran untuk tempat tinggal kemudian menyimpan sisa uang untuk keperluan lain. Di otaknya telah terkonsep jika hidup dengan simple dan sederhana adalah hal yang menyenangkan tanpa perlu repot bagaimana mesti bergaya agar mendapatkan penilaian orang. Ia tidak perlu pusing memikirkan akan membeli mobil mewah jenis mana agar bisa dipuji, cukup dengan sebuah sepeda ia bisa hidup nyaman dan tenang serta sehat tanpa pusing memikirkan penilaian oranglain. Yang terpenting adalah Miho tidak mengeluarkan pajak kendaraan mewah secara berkala.
Setelah selesai menyantap makan malam, Miho mandi sebelum ia tidur. Berendam di dalam bak mandi ditemani busa mandi yang wangi dan melimpah dengan suhu air yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.
Saat akan memejamkan mata di tempat tidurnya yang kecil, Kaito kembali menghubunginya melalu panggilan video. Tampak pada layar itu, Kaito sedang berbaring di selimuti sebuah selimut yang tebal, pria itu juga bersiap untuk tidur.
“Ku kira kau sudah tidur.” kata Miho sambil menarik sedikit selimutnya hinnga menutupi pundaknya.
“Aku sedang manik tampaknya.” ucap Kaito sambil memandangi wajah Miho.
“Duh pasti sulit bagimu, meski tenaga dan semangatmu seolah tidak ada habisnya.” Miho menyemangati Kaito, ia selalu merasa kasihan dengan kondisi mental Kaito terlebih ketika sedang berada di fase seperti ini. Ia paham mengapa jalan-jalan, hiking, dan berkegiatan yang menguras tenaga menjadi pelampiasan sang kekasih saat berada di fase manik. “Dokter tidak memberimu obat tidur?”
“Ada, dan aku sudah meminumnya tadi. Tapi, ini masih terasa tinggi. Aku lelah jika seperti ini terus.” keluh Kaito sambil mengalihkan pandangannya dari tatapan Miho. Wajah tampan itu tampak murung, Kaito terkadang benar-benar merasa lelah dan kesal dengan kondisinya sendiri, mengingat banyak hal yang harus ia korbankan karena penyakitnya ini.
“Aku mengerti. Tapi, ku mohon bersabarlah. Ini butuh proses, dan kau sedang melaluinya.” kata Miho memberi pengertian. “Maaf, aku tidak bisa menemanimu di saat seperti ini seperti biasanya.”
Pasangan ini bukan hanya dimabuk cinta dan lantas tidak peduli dengan kekurangan dari keadaan masing-masing. Sudah beberapa tahun belakangan sejak mereka bersama, Miho telah menjadi caregiver untuk ahli bedah jantung tampan itu. Jika sudah mendapat sinyal akan memasuki fase manik, maka Kaito tak segan mengajak Miho untuk menginap di apartemennya selama beberapa hari ataupun sebaliknya.
Apakah seru menjadi caregiver seorang penyintas saat berada di fase manik? Tidak semuanya seru. Pemandangan Kaito tidak tidur selama satu minggu sering Miho dapati. Di malam-malam panjangnya, Kaito akan terus mengajak Miho untuk mengobrol, berberes apartemen, menonton film. Untungnya pengertian, ia tidak mau menyeret Miho ke dalam lelahnya fase manik. Ia sering membiarkan Miho tidur lebih dahulu agar Miho bisa bekerja lebih segar saat di rumah sakit.
Miho juga sudah terbiasa menghadapi Kaito yang tiba-tiba memangis tanpa alasan dengan kepanikan yang seolah memakan jiwanya. Awalnya, Miho selalu menangis ketika menghadapi kondisi yang seperti ini, namun perlahan ia tahu Kaito hanya perlu diberikan ruang untuk meluapkan emosinya. Titik balik saat Miho memahami itu ketika Kaito membentangkan kedua tangannya pada Miho sambil menangis dalam kebingungan seperti anak kecil, dan saat itu juga Miho memberikan pelukan hangatnya pada Kaito. Pelukan penuh pengertian dan cinta adalah penenangnya.
“Tidak masalah.” kata Kaito pelan. “Tapi sebagai gantinya…”
“Apa?”
“…….” Kaito terdiam sejenak, matanya masih belum menoleh pada Miho, ia melihat ke arah bawah layar ponselnya sejenak, kemudian tersenyum-senyum sendiri.
“Apa sih?” tanya Miho lagi.
“Gak ada.” Kaito masih senyum-senyum, ia menatap Miho dengan tatapan yang manis.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh ya!”
“Memangnya kenapa? Kau pikir hanya pasangan muda saja yang bisa melakukannya?” ledek Kaito dengan senyuman nakalnya. “Kita juga bisa.”
“Gak mau!” kata Miho tegas.
“Kau tahu dokter Mizuhara dari poli gigi?”
“Iya tahu.”
“Dia sering melakukannya dengan kekasihnya. Dia yang mengatakannya sendiri padaku, ia bahkan mengajariku bagaimana melakukannya.” ucap Kaito sambil tersenyum geli ketika mengingat bagaimana dokter muda itu curhat padanya soal semua permasalah percintaannya.
“Kalian berdua aneh. Dia telah mengajarimu yang aneh-aneh.” Miho masih kesal.
“Ya sudah sekarang-----“
“Aku bilang aku tidak mau.” kata Miho dengan tegas kembali.
“Hei ini gampang kok, tidak sesulit yang kau bayangkan.” bujuk Kaito dengan santai.
“Tidak. Lagian kau aneh, mau saja diajari oleh juniormu. Itu menggelikan, Kaito!” Miho tetap menolak.
“Menggelikan bagaimana? Kau hanya perlu terus mengaktifkan panggilan videomu semalaman sampai aku tertidur. Itu saja.” jelas Kaito singkat.
“Kita tidak melakukan apa-apa yang aneh?” tanya Miho yang sedikit kaget mendengar penjelasan Kaito.
“Yang aneh-aneh maksudmu? ITU?” Kaito balik bertanya.
“Iya, ITU.”
“Ah daripada melakukan ITU dari panggilan video seperti ini, lebih baik aku melakukannya langsung denganmu setibaku di Tokyo nanti.” ucap Kaito santai, ia merangkul bantal di kepalanya.
“Oh syukurlah kalau begitu.” Miho tampak lega, ia tersenyum sumringah. “Ya sudah, aku akan tidur duluan sepertinya. Hari ini sangat melelahkan.” sambungnya yang bersiap untuk tidur.
“Oke, aku akan mengawasimu dari sini. Hanya aku yang berhak mengakhiri panggilan video ini ya!”
“Iya.” kata Miho pasrah.
Mata Miho tidak langsung tertpejam dan ia tidak lantas langsung terlelap saat itu juga. Ia mendengarkan semua ocehan Kaito padanya, semua ide dari dalam kepala Kaito yang keluar dari mulutnya. Jika seperti ini, biasanya Kaito akan membicarakan banyak hal dengan pergantian topik pembicaraan yang sangat cepat. Misalnya saat ini Kaito berbicara mengenai pekerjaan mereka, bisa saja dalam beberapa saat kemudian Kaito akan berbicara mengenai hubungan dan keluarga, atau bahkan tentang politik di negera ini. Seiring pergantian topik pembicaraan mereka, maka Kaito berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Jika ia bosan rebahan di tempat tidur, bisa saja ia duduk di meja rias atau balkon kamar hotel agar tidak bosan dan semakin lelah kemudian berakhir tertidur di ranjang.
Noriaki Kawata sedang mengendari mobilnya di jalanan Tokyo yang selalu sibuk di pagi hari. Pria berusia 34 tahun selalu memiliki mood yang baik setiap harinya, ia bukan orang yang gampang marah, emosi, dan tersinggung. Belum lagi semangatnya yang selalu terjaga dari pagi hingga sepanjang hari selama 24 jam ke depan. Bisa dibilang dalam 24 jam waktu di hidupnya, Noriaki tidak pernah merasa begitu badmood, ia pintar mengembalikan moodnya seperti semula.
Di mobil sedan mewahnya, Noriaki mendengarkan musik dari pemutar musik yang tersambung dengan aplikasi pemutar musik di ponsel pintarnya. Bungsu Kawata itu tampak tampan dan rapi dengan menggunakan kacamata hitam tipe Clubmaster yang tergengger di wajahnya yang simetris, ditambah dengan baju setelan kemeja abu-abu dan celana dasar warna hitam yang terpasang sempurna di tubuhnya yang atletis. Noriaki mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang sambil sesekali memerika dan melihat dari kaca spion di sebelah pintu. Tentu dengan sabuk pengaman yang terpasang dengan erat agar semuanya aman dan baik-baik saja.
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di kantor baru, Rumah Sakit Universitas Meishin sebagai dokter kandungan dengan spesialisasi bedah ibu dan janin, dan ahli bedah neonatal. Ia meninggalkan rumah sakit lama tempat ia bekerja di California, Amerika Serikat dikarenakan masa berlaku visa pekerjanya telah habis. Selain itu alasan lainnya adalah pertama, ia ingin memulai karirnya di Jepang, dan mengabdi untuk negaranya.
Menolong banyak wanita hamil yang akan melahirkan kehidupan baru ke dunia ini merupakan suatu anugerah dan kepercayaan besar baginya. Kedua, ada sebuah nama yang menjadi alasannya rela meninggalkan karir cemerlangnya di Amerika. Sebuah nama sakral yang tidak pernah mungkin akan terusir dan berpindah dari hatinya, nama yang selalu menjadi kata pertama ketika Noriaki berbisik pada kalimat “….aku rindu padamu”. Hubungannya dengan sang pemilik nama bukanlah sebuah hubungan spesial, hanya Noriaki yang merasa hubungan mereka spesial lebih tepatnya. Mereka hanya teman dekat dan akrab semasa kuliah di Universitas Tokyo dulu. Noriaki pikir, selama ini rindu dan cintanya yang terpendam pada si pemilik nama cukup menyiksanya ---meskipun terkadang itu terasa nikmat, maka kali ini ia mengharuskan dirinya untuk hidup di dekat si pemilik nama sakral.
Mobil sedan hitam itu Noriaki parkirkan di halaman parkir rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, Noriaki mengambil tas ransel yang selalu menemaninya bekerja. Saat ia keluar dari mobil, Noriaki membuka kacamata hitamnya, dan meletakannya di saku kemeja. Senyum bahagia itu tampak terukir dengan jelas dan indah di wajahnya, ditambah dengan tatapan mata yang manis dan indah dari kedua bola mata milik seorang Noriaki Kawata.
Lobi utama dari Rumah Sakit Universitas Meishin tak kalah megahnya dengan rumah sakit kelas A lainnya di Jepang. Ini setara dengan kualitas pelayan yang diberikan. Tampak beberapa orang lalu lalang, baik dari petugas medis maupun pasien rawat jalan yang sedang mengantri di depan masing-masing poli. Mata Noriaki tertuju pada dua wanita cantik yang mendiami meja bagian resepsionis. Ia menghampiri dan memulai dengan tersenyum ramah pada keduanya.
“Selamat pagi. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?” tanya salah seorang dari keduanya pada Noriaki.
“Selamat pagi. Aku ingin bertemu dengan direktur rumah sakit, Dokter Tadashi Kimoto.” jawabnya dengan percaya diri dan tak kalah ramah.
“Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Anda bertemu dengan beliau?” tanya si wanita itu kembali.
“Aku ingin bertemu dan bicara dengannya soal pekerjaan.” jawab Noriaki lagi.
“Maaf? Apa Anda sudah memiliki janji dengan beliau? Beliau tidak bisa ditemui oleh sembarangan orang.”
Noriaki sama sekali tidak tersinggung dengan kalimat barusan, karena kedua wanita ini tidak tahu jika ia siapa. Ia baru ingat jika pihak rumah sakit telah mengiriminya surat panggilan kerja beberapa minggu lalu sebelum ia terbang dari California ke Tokyo. Segera ia mencari surat itu di dalam tas ranselnya, dan kemudian memberikannya pada resepsionis.
Mengetahui dengan siapa mereka berbicara, kedua resepsionis itu tampak sedikit malu dan segan, mereka tersenyum sembari menelpon Tadashi di ruangannya.
“Maaf Dokter Kawata atas sikap kami barusan.” kata keduanya hampir bersamaan.
“Ah- tidak apa-apa kok, aku saja yang berbelit-belit dan tidak mengatakannya langsung padamu.” kata Noriaki mengambil surat itu kembali dan memasukannya ke dalam tas.
“Mari saya antar.” kata salah seorang resepsionis yang segera mengantarkan Noriaki ke ruangan bos barunya.
Rumah Sakit Universitas Meishin beruntung memiliki seorang direktur rumah sakit yang berpengelaman selama puluhan tahun, Tadashi Kimoto. Tadashi adalah termasuk dokter senior di Jepang, usianya tahun ini sudah menginjak 58 tahun. Pria beruban itu telah merasakan bekerja di berbagai posisi di berbagai rumah sakit. Aslinya Tadashi adalah seorang dokter spesialis anak. Selain memiliki pengalaman puluhan tahun, sebagai seorang pemimpin Tadashi memiliki karakter idaman yang diidamkan oleh semua pekerja. Ia memiliki jiwa kepempinan yang kuat, bertanggungjawab, dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Meski demikian Tadashi memiliki sifat yang sangat lembut dan tenang, ia hampir tidak pernah ketahuan berbicara dengan nada yang tinggi pada siapapun dan dalam kondisi apapun.
Tadashi duduk bersama dokter barunya di sofa di ruangannya yang megah. Diperhatikannya sosok dokter yang usianya lebih muda 20 tahun darinya itu. Dokter spesialis kandungan yang telah menjadi incarannya bahkan sejak Noriaki baru menyelesaikan pendidikan spesialisnya. Tadashi dan Noriaki sempat bekerja di tempat yang sama di masalalu, tepatnya di sebuah rumah sakit swasta di Hokkaido. Tadashi sangat tahu bagaimana kemampuan dan kapabilitas Noriaki, pantas saja ia tidak ragu meminta Noriaki bekerja di rumah sakit ini. Ditambah, Noriaki dulunya adalah mahasiswa kedokteran di bawah bimbingannya saat masih berkuliah di Universitas Tokyo.
“Terima kasih sebelumnya karena Anda telah mempercayakan saya untuk mengisi posisi dokter spesialis kandungan di rumah sakit ini, Dokter Tadashi.” kata Noriaki dengan sedikit basa-basi, tapi ia juga merasa bahagia karena Tadashi memberinya bekerja di rumah sakit yang sama dengan si pemilik nama kecintaannya.
“Tidak jadi masalah, Kawata-sensei. Anda pantas untuk berada di sini sekarang. Ohya sebagai informasi, Anda akan bekerja dengan dokter kandungan lain di departemen kandungan, yaitu dokter Rinko Izumi.” kata Tadashi sambil menuangkan susu cokelat kesukaannya ke sebuah cangkir keramik di hadapan Noriaki.
“Terima kasih.” ucap Noriaki pelan saat melihat tuangan minuman itu pada gelasnya. “Saya akan bekerja keras. Mohon bantuannya.” tambahnya sambil meminum cokelat hangat itu. Noriaki mencoba mengingat setiap orang yang ia kenal dalam hidupnya, apakah ada yang bernama Izumi Rinko atau tidak. Tampaknya ia belum mengenal nama itu.
Dalam kepala Tadashi tiba-tiba terpikirkan sesuatu dan ia tergelitik untuk menanyakannya pada Noriaki.
“Aku mengenalmu sebagai orang dengan prinsip yang kuat dan kesetiaan yang luarbiasa pada tempat dimana kau bekerja, Dokter Kawata.” buka Tadashi perlahan. Noriaki tersenyum simpul mendengar pujian dan penilaian tentang dirinya yang keluar dari mulut Tadashi. “Aku berharap kau bisa tetap seperti itu di sini.” sambungnya.
“Tentu. Itu pasti akan ku lakukan. Anda tak perlu khawatir.” kata Noriaki dengan senyum percaya dirinya. Tadashi mengangguk pelan tiga kali.
“Ada banyak hal menarik di sini, termasuk dengan seseorang yang menjadi alasanmu mau pindah ke sini, Noriaki-kun.” Ya. Tadashi tahu bagaimana mantan muridnya ini mencintai ‘si pemilik nama sakral’, Noriaki pernah menceritakannya pada Tadashi beberapa tahun lalu.
“Maksud Anda?” Noriaki tampak penasaran, senyumnya menjelaskan semuanya. Tadashi tak ingin membuka tentang detailnya di awal.
“Maksudku, bukankah itu akan membuatmu semakin nyaman bekerja di sini? Bersama orang yang paling kau cintai.” Tadashi harus berkilah, meski akan banyak hal yang lebih dari itu, lebih dari bahagia yang menunggu dokter muda itu di sini di kemudian hari
“Kau benar.”
Tadashi berdiri dari duduknya, mengambil sesuatu dari lemari besar di samping meja kerjanya. Sebuah kotak berwarna merah tua. Ia lantas menyodorkan kotak itu pada Noriaki. Sebagai rasa hormatnya pada yang lebih tua, Noriaki segera berdiri dari duduknya dan menerima kotak itu dari tangan Tadashi. Perlahan Noriaki membukanya.
“Itu adalah jas barumu.” kata Tadashi saat Noriaki membuka kotak berisi sebuah jas putih, lengkap dengan landyard bertuliskan nama dan lambang rumah sakit, beserta ID card bertuliskan nama Kawata Noriaki dalam tulisan kanji maupun romawi. Tak lupa, foto wajah rupawannya terbaru yang sempat ia kirimkan via e-mail beberapa waktu lalu.
“Selamat bergabung dan bekerja di Rumah Sakit Universitas Meishin, Dokter Kawata.” Tadashi mengulurkan tangan kanannya.
Senyum dan binar penuh rasa percaya diri seketika langsung terpancar dari raut wajah Noriaki, dengan percaya diri pula ia menyambut tangan sang direktur rumah sakit.
“Aku akan hargai dan jaga kepercayaan Anda, Dokter Kimoto. Mohon bantuannya dan bimbingannya.” Noriaki benar-benar bahagia di tempat ini dan menggunakan jas yang sama dengan ‘si pemilik nama sakral’ , ia juga benar-benar penasaran dengan kata-kata Tadashi tadi padanya.
Hal menarik apa yang dimaksud pria tua ini?