Try new experience
with our app

INSTALL

Istri Gesrek 

Dua

  Suara tertahan yang terhubung oleh gawai membuat hatiku merona. Aku paling suka saat-saat bersama mereka, walaupun tak bertatap muka. Keinginan mewujudkan impian kedua orang tua untuk menginjakkan kaki di tanah suci hampir terlaksana. Setelah mendapat restu Mas Agas, aku bergegas menelepon Emak dan Bapak di desa.

"Apakah Emak mau umroh bersama Bapak?" kataku setelah bertanya kabar dan hal-hal ringan lainnya. 

"Ya mau lah, Nduk. Tapi buruh tani seperti kami ra duwe duit, nggak punya uang. Cukup memandangi gambar Ka'bah di masjid saja, Nduk." Emak terdengar gembira sekali.

"Mak, aku punya rejeki banyak. Maukah Emak dan Bapak kuumrohkan?" 

Emak terdiam, bisanya dia memilin ujung baju bila berpikir keras.

"Mau banget, Nduk. Tapi sebaiknya uangnya kamu gunakan buat yang lainnya. Kebutuhanmu kan lebih banyak."

  Selalu begitu, bahkan untuk menyenangkan mereka saja, harus bersusah payah bersilat lidah. Orang tuaku memang tak mudah menerima bantuan dari anak-anaknya. Apalagi yang melibatkan uang jutaan rupiah, pasti mereka pertimbangkan masak-masak. Kecuali uang bulanan yang memang kukhususkan untuk orang tua dan mertua. Jumlahnya sama, jadi mereka tidak bisa menolak. Kebetulan rumah mereka hanya berjarak beberapa puluh meter. 

Khusus untuk uang bulanan yang biasanya kukirim tiga bulan sekali, saat almarhum Mas Bejo masih hidup sampai sekarang tak pernah terlewat. Walau pun jumlahnya jauh berkurang, sebisa mungkin tetap menyambung silaturahim dengan mereka di desa. 

Dulu waktu Mas Bejo masih hidup, sering dia sendirian yang pulang kampung. Aku memperlakukan orang tua dan mertua dengan berusaha adil, karena mereka sama-sama harta yang sangat berharga. 

Meski Mas Bejo sudah tiada, tak ada sebutan mantan mertua. Mereka tetap mertuaku, kakek neneknya Sani. Akan tetap begitu selamanya.

Kukira seperti itu. Sebelum aku tahu sesuatu yang hampir saja menghancurkan duniaku.

Kecuali untuk umroh ini. Aku lebih mementingkan orang tua kandungku. Mungkin nanti mertua akan diberi oleh-oleh khusus dari Mekkah. Mereka pasti senang. 

"Tenang saja, Mak. Uangku sekarang banyak." Emak tertawa renyah di seberang. "Emak dan Bapak pindah di sini saja, ya. Jualan penyetan, lebih mudah daripada pada menjadi buruh tani. Rumah di desa biar dirawat sama Dik Anto dan  istrinya. Bagaimana, Mak? Mau kan?"

"Keputusan besar seperti itu nggak bisa grusa-grusu, Nduk. Harus dengan hati tenang. Nanti akan kurembukkan dulu dengan bapak dan adikmu. Ini bapakmu mau ngomong." Terdengar Emak memanggil Bapak.

Aku menggigit bibir, berharap bapak memberikan jawaban memuaskan.

"Sri?"  Bapak menyapa.

"Nggih, Bapak."

"Aku sudah dengar pembicaraanmu. Matur suwun, terima kasih, ya, Nduk. Kamu telah tumbuh menjadi anak kebanggaan Bapak." Suara Bapak bergetar, tersendat. Beliau berhati lembut, mungkin saat ini air mata sudah meleleh di pipi keriputnya.

"Pak, aku mengerti Bapak dan Emak nggak mau merepotkan. Makanya Bapak dan Emak tinggal di sini saja, meneruskan jualan penyetan. Aku akan ikut Mas Agas di rumahnya. Sayang kalau nggak diteruskan, Pak. Pelanggannya sudah banyak. Kerjanya juga tidak terlalu berat. Aku yakin Emak dan Bapak pasti bisa."

Bapak terdiam beberapa saat, napasnya terdengar diembuskan, berat. "Apakah tidak merepotkanmu, Nduk?"

"Tidak, Bapak. Aku senang bisa sedikit membantu kalian. Maaf tidak bisa membalas semua jasa Emak dan Bapak. Hanya ini yang bisa kulakukan, mohon diterima, nggih? ..." 

"Baiklah, Nduk. Semoga bisa menjadi amal kebaikanmu."

"Terima kasih, Bapak." Tangisku pecah seketika.

Emak, Bapak ... tak akan bisa aku membalas jasa kalian, walaupun seujung kuku. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk kalian.

"Kalau begitu, aku akan mencarikan biro umroh. Sebaiknya Emak dan Bapak berangkat dari sini saja, ya."

"Terserah kamu, Nduk. Kami manut wae, ngikut saja," kata Bapak kemudian.

Setelah mengucap terima kasih banyak-banyak dan salam, aku menutup gawai dengan perasaan membuncah. Bahagia sekali, tak terlukiskan. 

Saat hendak beranjak dari sofa, ponsel bergetar. Ada pesan WA masuk. Pesan dari suami tercinta.

[Sri, kangen.]

[Aku enggak. Week. Bagaimana pekerjaan hari ini, Mas? Semua baik-baik saja, kan?]

[Iya, nanti kuceritakan di rumah. Cium aku, Sri.]

[Emmoooh, emot senyum. Sana kerja dulu, aku mau ke rumah Umi Nayah, tanya tentang umroh.]

[Emot mata cinta, iya, iya.]

  Aku tersenyum lebar. Hidupku benar-benar luar biasa. Semuanya begitu mudah dan lancar. Apalagi ketika aku bertanya tentang biro umroh yang cocok kepada mertuaku Umi Nayah, ternyata adiknya ada yang mengelola jasa travel dan umroh. Sekalian saja Emak dan Bapak akan kudaftarkan di sana. Tinggal memenuhi persyaratan dokumen yang dibutuhkan. Dapat diskon dua puluh persen lagi, wuaah, benar-benar sempurna!

  Diakui atau tidak, uang memegang peranan penting untuk bahagia. Bila uangnya banyak, ingin pergi kemana pun dan beribadah di mana pun akan terlaksana. Kalau uangnya sedikit, harus puas dengan mengunjungi masjid terdekat, menetes liur memandang gambar Baitullah yang sudah menjadi impian hampir seluruh umat islam. 

Ehem, termasuk aku. 

Pasti jalan itu akan kulalui bersama Mas Agas dan Sani. Entah bagaimana nanti caranya. Biarlah takdir yang akan membukanya. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, sisanya dipasrahkan pada Sang Maha Pencipta.

***

Gemintang sudah memancarkan sinar redup, nyaris tak kelihatan dari sini. Bulan sabit menyendiri, menanti gumpalan awan putih yang menyelimuti. Meringankan kesepiannya abadi. 

Aduh, kenapa aku jadi romantis begini, ya. Apa karena efek mempunyai suami ganteng maksimal? Dia masih seperti mimpi bagiku. Mas Agas, Mas Agas, Mas Agaas! Tak bosan-bosan bibir dan hati ini menjeritkan namanya.

  Lelakiku baru saja pulang kerja satu jam lalu. Seperti biasanya, dia meletakkan sesuatu pada tempatnya. Aku nggak kebagian melayaninya. Mas Agas juga membawa dua bungkus nasi padang yang rasanya lezat. Kami makan dengan riuh, dia memberikan daging empalnya untukku.

  Perutku kenyang sekali, tumpukan lemak di daerah pusar jadi terlihat menonjol. Semacam tubuh ular gendut nempel di sana. Juga selulit putih bekas garukan ketika hamil Sani dulu, menyeramkan bila dilihat ketika benderang. Seperti parutan kelapa, nggak indah sama sekali.

Tapi Mas Agas nggak pernah protes, dia menerima aku apa adanya. Tubuh yang sudah pernah melahirkan tentu berbeda dengan yang belum brojolin anak. Yah, itu resiko dia yang menikah dengan janda beranak satu, hihi.

"Sri, tadi ada seorang pegawai yang terjatuh dari atap. Kakinya patah, tapi bisa sembuh lagi meskipun butuh waktu lama." Mas Agas merebahkan kepalanya di pangkuanku. 

"Kasihan, ya, Mas. Apa dia sudah berkeluarga?"

"Iya, istrinya baru saja melahirkan."

"Lalu yang menafkahi keluarganya siapa, Mas?"

Belaianku pada rambutnya terhenti, membayangkan betapa hancur hati ibu muda itu. 

"Alhamdulillah, perusahaanku tidak melulu untung rugi, Sri. Dari awal aku ingin mensejahterakan karyawan. Memenuhi hak-hak mereka sebaik mungkin. Meskipun praktiknya sangat sulit. Selama karyawan tadi tidak bekerja, dia masih dapat separuh gaji."

  Baik sekali suamiku ini, dia mempunyai hati yang mulia. Banyak perusahaan di luar sana yang hanya memeras darah dan keringat karyawannya. Ketika ada kecelakaan kerja, mereka hanya memberi imbalan ala kadarnya dan memutuskan hubungan kerja. Rugi banget perempuan yang dulu mencampakkannya. Lho kok ....

Aku mencium kening Mas Agas, aromanya segar dan wangi. Sesuatu di dalam diriku mulai terbangun. Saat hendak meraih bibirnya yang ranum, terdengar suara pagar besi di bunyikan. Bergelontang! Berisik!

"Mas, ada tamu. Sebentar, ya. Kubukakan pintu dulu."

Siapa sih, bertamu jam delapan malam begini. Apa mereka tidak tahu kalau pengantin baru membutuhkan banyak waktu berduaan?

Aku menyambar kerudung hitam di cantolan belakang pintu kamar.

Rasanya seperti tersengat listrik ketika tahu siapa yang datang. Ibu mertua, Ayu dan bocah gadisnya yang masih berusia empat tahun. Mereka bertiga berdiri dengan gusar di depan pagar. Digigiti nyamuk.