Contents
Istri Gesrek
Satu
Tak pernah terbesit dalam angan terliar sekali pun, kalau aku akan menikah lagi. Untuk ke dua kalinya. Sudah kuhibahkan seluruh sisa hidup guna membesarkan Sani--anakku satu-satunya yang sekarang mondok, tanpa suami.
Siapa sangka rejeki nomplok datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa diundang. Seorang jejaka lapuk yang menawan telah 'gedebuk' cinta padaku. Eh, jatuh cinta. Setelah menjanda hampir satu tahun, kini aku resmi menjadi seorang istri. Istri seorang laki-laki tampan berwajah timur tengah berbadan tegap.
Bagas namanya, tapi aku lebih suka memanggilnya Mas Agas.
Berumah tangga selama tujuh belas tahun bersama--almarhum--Mas Bejo mengajarkan banyak hal. Pahit manis sebuah hubungan sudah kusesap semuanya. Namun sekarang, lembaran baru terbuka. Hidupku bersama Mas Agas baru saja dimulai.
"Mas, menurutmu poligami Abah bagaimana?" Pagi ini, aku menjejalkan kepala dalam dekapan dada bidangnya.
Suami yang sedang duduk manis di sofa jadi terdiam cukup lama. Sani dua hari yang lalu sudah berangkat ke rumah Ustadz Salam untuk meraih cita-citanya. Sekarang rumah ini terasa begitu kosong, meskipun ada Mas Agas yang menemani. Apalagi kalau dia berangkat kerja. Benar-benar sepi dan membosankan.
"Kenapa bertanya begitu, Sri?"
"Memangnya nggak boleh, Mas? Ayolah, biasakan berdiskusi membicarakan hal apapun. Jangan menghindar."
Mas Agas membelai rambutku, aroma yang menguar dari tubuhnya sungguh kecut-kecut maskulin.
"Repot punya istri lebih dari satu, Sri. Harus punya kesabaran ekstra untuk menyelesaikan masalah yang nggak pernah habis. Kalau menurutmu sendiri bagaimana?"
"Sama seperti wanita pada umumnya, sampai kapan pun aku tidak siap untuk dimadu. Namun aku juga nggak menolak syariat Allah itu, Mas. Berbahagialah dengan satu istri, bisa kan, Mas?"
"Tentu saja, Sri. Kamulah yang terbaik. Joz pokoknya. Mana mungkin aku melirik perempuan lain."
Aku tersenyum mendengar gombalannya. Saat ini, Mas Agas masih menikmati madu rumah tangga. Masih idealis dan merajut mimpi indah di benaknya. Aku tidak begitu yakin, kata-kata romantis itu akan terlontar tujuh tahun kemudian.
"Mas, pelanggan sudah menanyakan kapan buka penyetan lagi. Boleh kan aku tetap melanjutkan jualan?"
Mas Agas memegang bahuku. Matanya menatap tajam, menembus jantung. Sebelum menikah dengan Mas Agas, aku mempunyai usaha warung penyetan di rumah peninggalan almarhum Mas Bejo. Cukup lama warungku tutup karena harus mengurusi pernikahan mendadak.
"Apa uang yang kuberikan kurang, Sri?"
"Enggak, Mas. Itu banyak sekali. Hahaha." Aku tertawa garing, biasanya lelaki kalau sudah mengeluarkan pancaran sinar merah dalam manik hitamnya, itu pertanda bahaya.
"Aku tetap ingin berpenghasilan, Mas. Kita tidak tahu nyawa yang melekat di badan sampai umur berapa ... Kamu tahu maksudku, kan?"
Mas Agas menarik napas, aku yakin dia paham benar apa yang kumaksud. Ekonomi keluargaku pernah guncang karena Mas Bejo meninggal. Jangan sampai itu terulang lagi. Sebagai manusia, tentu saja keinginanku bisa sehidup semati dengan suami, tetapi bukankan semua sudah ditentukan Allah?
"Kamu boleh berjualan lagi, asal mempekerjakan pegawai. Jangan terlalu lelah. Aku juga ingin menjadi ayah."
"Asiiik, Mas Agas memang yang terbaik!" Aku mencubit pipinya sampai kulit bercambang itu melar beberapa senti.
Punya suami mantan bujang kadaluarsa itu banyak untungnya. Dia mandiri dalam segala hal. Beberapa hari jadi istrinya, mulutku nyaris tidak pernah mengingatkan tetek bengek peta lokasi.
Mas Agas meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Handuk, baju kotor tahu-tahu sudah terjemur rapi. Setelah makan dia cuci piring sendiri, sekalian piringku juga. Mas Agas juga tidak ngopi, karena dia bukan perokok. Benar-benar membuat nyaman, encok pergi jauh-jauh.
Berbeda sekali dengan almarhum Mas Bejo yang harus dilayani segala kebutuhannya. Dulu aku menyebutnya anak sulung, sementara Sani anak bungsu.
Sebenarnya Mas Agas ingin aku pindah ke rumahnya di kota sebelah, tetapi aku masih harus menyelesaikan beberapa urusan. Rencananya warung penyetan di sini akan kuserahkan pada Emak dan Bapak, mereka di desa hanya buruh tani yang tak tentu penghasilannya.
Aku akan membuka cabang baru di depan rumah Mas Agas bersama seorang pegawai. Wah, benar-benar rencana yang jenius.
"Mas, uang mahar dulu apakah bisa kugunakan untuk berbuat kebaikan?" Aku berdiri, meraih bahu Mas Agas, memijitnya perlahan.
Jurus yang sangat ampuh untuk menaklukkan hati suami.
"Itu milikmu Sri, terserah kamu gunakan buat apa saja." Mas Agas merem-melek merasakan kenikmatan.
"Aku punya sebuah impian, Mas. Kalau punya rejeki, ingin memberangkatkan Emak dan Bapak umroh. Bagaimana, Mas? Boleh kan?"
Sejenak Mas Agas membeku. Aku khawatir dia berubah pikiran. Bagaimana pun, uang segitu banyaknya bila digunakan harus atas ijin suami. Meskipun berstatus milikku pribadi.
Lelaki berkaca mata minus itu menyentuh jemariku. Membawanya ke bibir kemudian mengecupnya. Lama sekali.
"Tentu saja, Sayang. Kau bebas menggunakan semua yang kuberikan. Hatimu baik sekali, Sri. Aku beruntung memilikmu."
Mas Agas menarikku dalam dekapannya. Mencium ubun-ubunku yang masih basah beraroma sampo.
Dering gawai di atas meja membuat acara romantis buyar, ia segera menyambarnya dan berbicara serius. Rupanya ada sesuatu yang terjadi di ruko yang sedang digarap. Alis tebal Mas Agas berkerut.
Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk.