Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

DASIM 

SATU

SATU

 

Alena berdiri di depan jendela memandang keluar, matanya liar seolah banyak pikiran yang berat untuk ditumpahkan. Hujan barusan turun tak membuat pikiran dan hati Alena makin tenang. Terlihat di luar sekumpulan manusia satu dan manusia lainnya sibuk dalam hiruk pikuk. Apa lagi yang mereka lakukan selain beraktivitas mencari rejeki setiap hari.

 

Alena mengenang satu dasawarsa lalu. Bibirnya tak henti komat kamit tak sadar mengucap satu hal yang pernah ia ucapkan pada seseorang. Merasakannya jika seseorang itu hadir.

 

“Lena.” Ibu membangunkan lamunan Alena yang sedari tadi berjam-jam diam berdiri di depan jendela ruang tamu.

Alena berbalik badan ke arah ibunya. “Iya bu”

“Kamu daritadi melamun saja! Apa yang kamu pikirkan?!” Setyowati khawatir jika anaknya malah keasyikan dengan dunianya sendiri. Seperti paralel dalam suatu dimensi. Jika anaknya takut terjerumus ke dalam dunia khayalan. 

Lena hanya menggelengkan kepala secara perlahan.

“Nggak bu, Lena lagi lihat orang-orang kok ramai sekali di luar?!” Lena menjawab sekenanya.

“Bukannya itu hal biasa, setiap manusia mempunyai kepentingan masing-masing dan beraktivitas sehari-hari.”

Mata Lena terpaku memandang ibu dengan lurus.

“Jangan bersedih anak ku, kamu jangan selalu terpaku pada masa lalu mu!” Setyowati memahami sifat anaknya yang sedari dulu memang mempunyai sifat ambisius yang diturunkan oleh ayahnya. 

 

Alena sedari dulu selalu menjadi harapan mendiang ayahnya. Banyak piagam yang menghiasi rumah Setyowati. Bagaimana tidak, Alena sedari kecil juara kelas, juara di bidang hobi yang disukai Alena yaitu catur dan panjat tebing. Saat kini sia-sia saat Alena mengucapkan jika semua tak berarti lagi di dalam hidupnya setelah memilih pilihan yang tidak menguntungkan dalam hidupnya lagi.

 

Apalagi Alena kini hanya seorang wanita yang membaktikan diri pada lelaki pilihannya. Alena bilang bahwa takdir yang salah telah ia pilih. Namun Setyowati tak henti-hentinya selalu membesarkan dan menabahkan hati Alena. Bahwa takdir seorang wanita adalah berbakti pada seorang laki-laki yang sudah sah dimata hukum dan agama. Meskipun keberuntungan setiap manusia itu berbeda-beda. Menurut Alena hal ini sudah terlalu usang dilontarkan oleh ibunya yang mempunyai  pikiran kolot. Alena tak mau terjebak oleh sistem yang mengharuskan dirinya pasrah pada takdir. Ia ingin melawan takdir itu sendiri dengan mempertaruhkan nasib yang akan ia upayakan dalam hidupnya.

“Ibu tahu apa yang kau ingin utarakan! Kau ingin berpisah dengan Roy bukan?” Setyowati menghadang pertanyaan tepat menusuk jantung Alena seketika.

 

Alena terpaku diam tak ingin menjawab ibunya. Namun Setyowati tetap menghadang Alena dengan berbagai pertanyaan. Setyowati tak ingin Alena bercerai dari suaminya. 

“Ayo, jawab!! Kamu sudah tak betah di rumah bukan?”

Bola mata Alena terus bergerak ke kanan kiri seolah ingin mencari jawaban dan menyembunyikan perasaannya terhadap ibu. Kedua tangan Alena memegang kepalanya.

 

“Tidak, tidak, tidaaaakkkkkkkkkkkkk!” Alena teriak dengan kencang sekali hingga terdengar keluar rumah dan pelayan di rumah segera mencari sumber suara. Pelayan menghampiri kedua majikan yang sedang berselisih. Alena tak sadarkan diri, makin berteriak tak karuan.

 

Bi Narti yang usianya sudah melewati separuh abad tak kuat menghalau Alena yang kini bukan anak kecil lagi. Setelah dewasa tenaganya seperti kuda. Alena menghampiri ibunya seolah Setyowati adalah musuh yang harus ditumpas. Setyowati hampir dicakar oleh Alena. 

 

“Biiii, bi Nartiiiii! Cepetan! Alena mau nyerang akuuu!

Narti yang kewalahan dibantu oleh baby siter untuk menenangkan Alena.

“Bu menyingkir dulu bu!” Dian masih ada di posisi bareng bersama Narti yang sedang mengamankan Alena.

 

Setyowati memanggil sopir agar membantu mereka. Karena tenaga tiga wanita saja belum cukup untuk menghalau Alena yang terkadang sering mengamuk.

 

Rupanya sudah ramai sekali di halaman depan cukup banyak orang berkumpul yang ingin tahu ada apa dengan rumah Setyowati. Parto menghalau orang-orang dan mengusirnya agar sekumpulan manusia tadi tidak merangsek ke dalam rumah. Karena sesuai dengan titah majikannya yaitu Setyowati setiap Alena mengamuk jangan sampai semua orang tahu.

“toooo, Partooooo!” Setyowati memanggil supirnya.

“Iya, bu!” Parto segera bergerak menghampiri Setyowati.

“Tolong bantuin Narti dan Dian ya! Alena kembali mengamuk!”

“Baik bu.” Parto mengikuti intruksi dari majikannya.

--------

Dian dan Mbok Narti masih berkutat memegang lengan Alena yang semakin kuat ingin lepas dari cengkraman Mbok Narti dan Dian.

 

“Pak bantuin pak!” Dian sudah tak kuat memegang lengan Alena yang makin ingin melepaskan diri dan menyerang Setyowati.

“Kasihan ya non, udah tiga bulan ini mengamuk.” Parto masih sempat-sempatnya mengobrol.

“Duh pak, ini lagi genting kok masih sempat-sempatnya mengasihani?!” Narti kebingungan selain mengamankan Alena ia juga harus mendengar keluhan Parto.

“Lha cuma ngomong toh!” Parto ngegas

“Iiihhh Pak nanti aja ngobrolnya!” Dian memastikan agar Alena segera diamankan dengan memberikan suntikan penenang.

Cairan diazepam pun menyebar melalui rongga-rongga nadi Alena. Pandangan Alena mulai kunang-kunang, lama lama menjadi kabur dan buram. Alena pun terjatuh, Parto sekejap menahan tubuh Alena dan membopongnya ke kamar Alena. Narti mengusap dahi yang penuh dengan peluh keringat. Dian mencari minum untuk memuaskan dahaganya yang mulai mengering.

“Pak mau kemana?” Dian masih membutuhkan Pak Parto agar tidak langsung pergi dari kamar Alena.

“Mau ke ibu dulu, tadi disuruh menghadap.”

“Oh, tapi jangan lupa ya, temenin mbok Narti kalo Non ngamuk lagi.”

“Sipp.” Celetuk Pak Parto menjawab dengan singkat.

 

Parto kembali menghadap majikannya, terlihat dari jendela luar Setyowati seolah memberikan aba-aba kepada Parto mengenai perintah yang mesti dilaksanakan Parto.

 

Dian menatap Alena yang tertidur pulas, dalam batinnya merasa kasihan di usianya yang tak beda jauh sekitar dua tahun di atas usia Dian sudah mengidap penyakit mental. Dalam pikirannya di hapus jauh-jauh supaya rasa kasihannya tak membabi buta, namun naluri moralnya jauh lebih besar dibanding logika. Kadang berpikir “untuk apa kasihan dengan anak majikan jika dirinya saja mendapatkan fasilitas yang tidak setara dengannya.” Sedangkan Dian dari usia muda hingga sekarang masih menjadi seorang pengasuh anak. Apalagi teringat usianya yang kini akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang di kampung. Dian belum menikah! Waktunya habis buat bekerja! Hal itulah membuat Dian tak mau kembali ke kampung. Dian berpikir realistis lebih baik bekerja seumur hidup daripada menikah malah merasa tersiksa seperti majikannya Alena. 

 

Bagaimana tidak, Dian melihat Alena tidak begitu bahagia dengan pernikahannya. Entah karena suaminya atau masalah pribadi yang Dian belum ketahui. 

 

“Gimana si non?!” Pertanyaan Mbok Narti mengangetkan lamunan Dian yang sedang menunggu Alena.

“Haduhh mbok, kaget aku! Non Alena sudah tenang kok. Mungkin kira-kira beberapa jam lagi ia akan terbangun.” Dian memastikan keadaan Alena.

“Ibu menyuruh saya untuk menggantikan mu, kamu istirahat dulu saja di kamar bayi! Jagain Stefan takutnya kebangun.” Mbok Narti memberikan intruksi pada Dian agar menjaga bayi Alena yang terlahir tiga bulan lalu.

“Iya mbok.” Dian pamit dan berlalu menuju kamar bayi.

-----