Contents
MA(MA)SALAH
MA(MA)SALAH
PART 2
Mama menikah di usia 22 tahun, di saat kondisi ekonomi Papa saat itu tidak stabil. Aku yang kini berusia 27 tahun, tidak pernah membayangkan, kalau anakku sudah dua seperti Mama, ditambah penghasilan Papa yang tidak seberapa.
Aku ingat saat SMP, Mama sering marah padaku dan dua adikku. Tak segan, dia memukul kami dengan sapu, atau mengurung kami di luar rumah. Aneh ya, dikurung kok di luar rumah? Kami bertiga awalnya murung dan menangis. Tapi kemudian kami bersenang-senang, main petak umpet, main tanah, main sama kucing yang lewat, sampai terdengar suara azan magrib dan Mama membukakan pintu rumah agar kami masuk. Mama gak sadar, Mama menghukum kami dengan cara yang asyik.
Mama dulu sangat tempramen, apa karena kondisi ekonomi juga? Mungkin.
… Atau karena Mama belum tahu cara mendidik anak yang baik tanpa marah-marah? Mungkin.
Hingga suatu saat, aku tahu aku akan punya adik lagi. Aku benar-benar marah. Punya dua adik saja sudah membuat aku kerepotan dan tersiksa, apalagi bertambah satu? Tiga anak saja Mama sulit mengurusnya, apalagi empat? Aku saja merasa tidak kebagian kasih sayang Mama, apalagi nanti ketika anaknya bertambah lagi?
“Anak itu rezeki, Kak, rezeki dari Tuhan,” kata Mama.
“Kalau kondisinya memungkinkan, ya memang rezeki, tapi sekarang… buat kebutuhan aku sama dua adik aja kondisinya susah. Sekarang ditambah lagi. Mama ga tau ada program KB? Orang pedalaman aja tahu, masa Mama gak tahu?”
Tanggapanku dianggap culangung. Tahu culangung? Istilah bahasa Sunda yang artinya tidak sopan, lancang, atau kurang ajar. Aku memang seperti itu. Aku tidak bilang sikapku benar. Tapi mengatakan apa yang ada di otakku, rasanya melegakan. Padahal mungkin ucapanku menyakiti Mama.
Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, karena kurasa Mama juga tak pernah memikirkan aku. Aku merasa Mama salah. Mama tidak mau mendengar.
Sampai suatu peristiwa mengejutkan terjadi, Mama ternyata keguguran. Bayi dalam kandungannya meninggal. Aku melihat betul bagaimana tangis Mama tumpah di atas makam bayi tersebut, lalu Papa merengkuh bahunya. Mencoba menguatkannya.
“Berarti Tuhan belum percaya sama Mama, atau Tuhan terlalu sayang sama adik, makanya diambil sama Tuhan. Apapun itu, mungkin jalannya memang harus seperti ini,” ucap Mama padaku dengan mata sembab.
“Tapi kalo adik itu masih ada, mungkin Mama jadi ga sayang Aa,” kata adik laki-lakiku.
“Jadi ga sayang Adek juga,” adik perempuanku menambahkan.
Mama tersenyum. Kata Mama, kasih sayang Mama itu seperti air di bumi, tidak akan habis meski dibagi-bagi ke banyak orang.
Bukan seperti angka 100 yang bisa dibagi dan dihitung seperti aku dapat 25, adik laki-laki dapat 25, adik perempuan dapat 25, almarhum adik dapat 25, lalu habis.
Tapi kasih sayang itu seperti angka 100 yang tidak terhingga. Aku dapat 100, adik laki-laki dapat 100, adik perempuan dapat 100, almarhum adik dapat 100. Semuanya dapat sama rata, hanya saja caranya berbeda.
Hal itu rasanya benar ketika temanku bertanya, “Lo lebih sayang adik lo yang mana?” ketika adikku sekarang sudah empat.
Aku berpikir cukup lama, karena tidak bisa memutuskan, adik mana yang lebih aku sayang? Rasanya tidak ada. Semua sama rata. Karena benar kata Mama, kasih sayang itu tidak memiliki kuantitas, dia bisa diberi sama banyak, dan tidak akan pernah habis.
Mama salah padaku dan dua adik, karena tidak mau dengar pendapat kami. Tapi mengetahui bahwa adik meninggal, membuat hatiku sakit dan dadaku sesak. Kesedihan Mama, menjadi kesedihan kami juga.
Tapi Tuhan tahu yang terbaik, seperti kata Mama. Mungkin ini cara Tuhan menyayangi Mama.
Tidak apa-apa, Ma.
Aku tidak sempat menyalahkan Mama atas ini.
Meski Mama tak mengaku salah, aku maklum.
Ma, bersedihlah sepuasnya, lalu marahlah lagi padaku dan adik-adik seperti biasa.
***