Contents
MA(MA)SALAH
MA(MA)SALAH
PART 1
Namanya Ranti. Perempuan paruh baya itu Mamaku. Mama yang hanya lulusan SMA, tapi tahu segalanya. Tahu di mana kotak jarum pentul berada, tahu di mana kaos kakiku berada, tahu di mana tali sepatu belangku berada.
Mama tidak pernah tahu bagaimana caranya menjadi orang tua yang baik. Tidak pernah tahu pula bagaimana caranya menjadi kakak atau adik yang baik. Karena dahulu, Mama sudah ditinggalkan oleh Nenek karena Nenek menikah lagi di Sumatera, sehingga Mama dititipkan pada Uyut--Ibunya Nenek--di Bandung, di kotaku saat ini. Mama kaget karena ternyata orang tua yang selama ini mengurusnya ternyata bukan orang tuanya. Mama kaget karena ternyata ia adalah anak yang ditinggalkan. Tapi beruntung, Mama hidup dengan baik dan sehat.
Hingga Mama menikah dengan Papa.
Aku adalah anak sulung mereka. Sebenarnya, aku tak pernah ingat bagaimana dulu aku dimanjakan dan disambut sebagai anak pertama. Dua tahun kemudian, aku memiliki adik laki-laki, dan tiga tahun kemudian aku memiliki adik perempuan.
Kesalahan Mama padaku adalah… Mama tidak pernah mengambilkan aku rapor, padahal aku ini cukup pintar. Kelas satu hingga kelas enam SD, aku selalu ranking antara satu, dua, atau tiga, tidak pernah lebih. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana respon Mama ketika guru menyebutkan prestasi atau sikap baikku, karena Mama tidak pernah datang. Ia sibuk mengambil rapor adik laki-laki dan adik perempuan. Ketika bagi rapor, hanya pengasuhku atau bahkan tanteku yang mengambilkannya. Mereka tentu tidak peduli dengan isi rapor itu. Mereka hanya membantu Mama.
Andai saja Mama yang mengambil raporku, mungkin aku bisa melihat wajah bangga Mama karena anaknya ranking satu, atau wajah sedih Mama karena aku ranking tiga. Ya, andai saja.
Dari TK sampai SD, aku mengikuti beberapa study tour, tapi tidak pernah sekali pun ditemani Mama. Lagi-lagi, hanya pengasuhku dan tanteku yang menemaniku. Tentang bagaimana rasa sedih atau kecewaku saat itu, aku sudah tidak ingat.
Tapi andai saja Mama sekali saja menemaniku, mungkin aku punya foto dengannya di tempat wisata. Ya, andai saja.
“Kamu itu kuat, Mama percaya sama kamu,” kini kalimat itu yang sering diucapkan Mamaku, ketika aku pamit pergi wisata ke Thailand. Bukan hanya Thailand, aku pergi ke Surabaya, Samarinda, Singapore, atau Jepang sekali pun,Mama sudah tidak bawel.
Aku tahu, itu bukan karena Mama tak cemas, tapi karena Mama percaya aku bisa. Aku sudah dipaksa kuat dan mandiri bahkan sejak dahulu, tanpa Mama sadari.
“Ke mana Mama saat aku butuh ditemani?” tanyaku suatu saat.
Mama berdalih, sibuk dengan adik-adik, sibuk karena urusan kantor Papa, atau sibuk dengan kegiatan rumah tangga lainnya. Aku hanya diam… tentu Mama tidak merasa salah atas ketidakhadirannya dalam beberapa kejadian di hidupku yang kurasa penting.
Tidak apa-apa, Ma.
Mama tidak seburuk itu,untuk anak perempuan yang ditinggalkan dan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Mama tidak seburuk itu, untuk anak perempuan yang tidak punya sosok ibu sebagai panutan.
Kata Mama aku kuat, padahal Mama jauh lebih kuat.
Aku hidup dengan baik hingga sekarang, mungkin karena aku dilindungi oleh doa Mama yang tak kasat mata. Meski fisik Mama tak ada ketika aku bagi rapor dan study tour, doa Mama menemani. Mengikutiku ke sana ke mari. Menjadi perisai ketika marabahaya mendekat.
Ma, aku mengerti bahwa menjadi Mama yang selalu hadir untuk anak-anaknya itu sulit, karena tubuh Mama hanya satu. Untuk itu, Mama tidak perlu mengaku salah.
***