Try new experience
with our app

INSTALL

MA(MA)SALAH  

MA(MA)SALAH

PART 3

  Malam itu, sewaktu aku kelas 1 SMA, aku buka puasa di rumah seorang teman laki-laki, bersama semua teman sekelasku. Mama dan Papa tak henti mengirimkan sms dan telepon, bahkan sampai Mama mengirim pesan, “Kamu lupa jalan pulang?” 

Aku berdecak kesal. Sudah sepantasnya aku pulang malam karena azan magrib saja baru berkumandang jam 6 sore. Kalau aku sampai rumah jam 9, wajar kan?

Tapi tidak menurut Mama. Mama amat marah di ambang pintu ketika aku pulang, lalu dengan emosi, Mama menamparku. Iya,  ditampar. 

  Tamparannya cukup menyakitkan di pipiku, tapi hatiku, jauh terasa sakit. Bagaimana bisa seorang ibu menampar anak perempuan yang konon disayanginya? Padahal kesalahanku tidak seberapa, setidaknya menurutku.

  Waktu menyembuhkan hatiku yang terluka karena peristiwa ini. Ketika adik perempuanku saat itu pulang subuh karena nonton konser K-Pop, atau adik perempuanku yang paling kecil pulang malam karena main sama teman, Mama hanya menegur. Mama tidak menampar mereka, seperti Mama menamparku. 

Mama salah. Mama sangat salah, menurutku.

  Tapi mungkin Mama sadar bahwa main tangan akan menyakiti hati anaknya, terutama anak perempuan. Oleh sebab itu, Mama tidak pernah mengulanginya. Aku menjadi korban satu-satunya atas emosi Mama yang tidak stabil. Tapi tidak apa-apa, asal adik-adikku tidak mengalami sakit hati yang kurasa. Asal Mama bisa belajar.

Dan sesungguhnya, bukan hanya Mama yang belajar. 

  Malam itu, adik perempuanku yang lain kupergoki berpacaran dengan laki-laki seusianya, kelas 2 SMP. Kekhawatiranku muncul begitu saja begitu mengetahui bahwa pacarnya itu, terkenal kurang ajar. Itu terbukti ketika aku melihat chat antara keduanya. 

Perasaan itu muncul begitu saja: aku tidak mau sesuatu terjadi pada adikku, aku tidak mau adikku rusak, aku tidak mau adikku sakit. 

  Perasaan takut dan ingin melindungi adik itu membuncah, membuat aku amat marah pada adik kecilku. Mungkin ini yang dirasakan Mama padaku, dahulu. Hanya bedanya, Mama menggerakkan tangannya, aku tidak. Karena aku tahu, kalau aku melakukan hal yang sama dengan yang Mama lakukan, adikku akan sakit hati, seperti aku saat itu.

Jadi Ma, tidak apa-apa.

Mama salah, tapi Mama telah belajar, dan aku belajar dari Mama. 

  Yang terpenting: apapun kesalahan Mama padaku, tidak seberapa besar dibanding kesalahanku pada Mama. Luka yang Mama timbulkan padaku, sembuh sendirinya karena Mama terus menyayangi tanpa henti dan tanpa lupa.

  Ranti, nama Mamaku. Ia seorang ibu yang sering salah, tapi tidak pernah mengaku salah. Entah karena gengsi, atau karena ia memang tidak merasa bersalah.Menurutku, untuk seorang ibu yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, iamelakukan tugasnya dengan baik.

Jadi, kurasa, aku akan selalu memaafkan Mama, meski Mama tak pernah meminta maaf.

***