Contents
Cinta Beda Dunia
Chapter 7
Yura terbangun dengan hati yang penuh bahagia, gak seperti pagi biasanya. Ia langsung mencoba bangun dan meraba-raba kasurnya, mimpi tadi malam adalah kenyataan yang pasti gak bakal dapat diterima dengan mudah.
Yura paham akan hal itu, sehingga ia gak bakal bercerita kepada siapa pun, termasuk kepada Iyu.
Dalam hati yura, cowok bernama kanta di dalam mimpinya itu lebih mirip harta karun yang sekali datang akan diingat selamanya. Ternyata ibunya benar, ibu kandungnya gak berbohong akan hal ini.
Cinta dan sosok cowok yang bakal menjaganya dan membuatnya lebih bahagia.
Ia coba berdiri, rambutnya yang panjang bergelombang dengan baju tidur tipis, membuatnya begitu menawan. Yura rasakan cahaya matahari, berusaha masuk lewat celah-celah jendela kamarnya.
Cahaya yang seumur hidupnya gak dapat ia lihat. Sehingga ia hanya dapat merasakan dan membayangkan indahnya dunia ini dalam khayalannya sendiri.
"Setidaknya dalam mimpiku, aku bertemu dan dapat melihat wajah tampan itu," gumam yura sambil mengusap-usap dadanya yang terasa sesak.
"Apa ini rasanya damai dan tenang? Oh sungguh beruntung orang-orang yang pernah merasa jatuh cinta, ternyata cinta itu anugrah yang gak bakal dapat dibeli dengan apapun itu!" ia gak sadar, kalau sedari tadi Iyu mengamatinya dari pintu kamarnya. Tapi iyu membiarkannya menikmati kebahagiaan di pagi ini.
"Kalau jatuh cinta pada pandangan pertama seperti ini, bagaimana rasanya jatuh cinta pada pandangan terakhir ya? Hmmm.... apakah ada jatuh cinta seperti itu?" yura masih saja bergumam di dalam hati, sambil sesekali ia garuk pahanya yang putih mulus itu.
Saat ia sedang asik bergumam dalam hatinya, ia mendengar langkah kaki yang agak berat melangkah kepadanya. Ia langsung hafal, kalau itu adalah langkah kaki ibu Iyu.
"Ibu kapan masuk ke kamarku?" tanya yura singkat padat.
"Barusan kok? Kenapa nak?" jawab iyu berbohong.
"Hmmm kok aku gak dengar suara pintu dibuka ya?" yura mulai agak curiga.
"Kan anakku yang cantik ini, seperti lagi sangat bahagia? Pasti kedatangan ibu juga gak bakal didengar," mendengar itu, yura agak sedikit sedih. Sepertinya ia salah bertanya.
"Oh, gak gitu kok bu? Apa salah kalau aku bahagia?" yura mulai mencari tubuh iyu, ia raba-raba wajah orang tua itu yang sudah keriput kulitnya. Seperti biasa, iyu mengarahkan telapak tangan yura ke wajahnya.
"Maafkan yura kalau gak mendengar kalau ibu sudah membuka pintu," yura merasa bersalah.
"Oh, gak apa-apa nak, ibumu ini justru bahagia melihat kamu bangun tidur dengan wajah yang segar, gak melulu murung kan?"
Mendengar itu yura langsung memeluk tubuh iyu, ia benar-benar gak bisa hidup tanpa sosok perempuan tua yang satu ini. Meskipun ia telah bertemu dengan ibu kandungnya, dan juga cowok bernama kanta, tapi sosok iyu masih sangat berharga baginya.
Lalu iyu mengangkat tubuh yura, ia mengajak yura untuk menikmati indahnya cahaya matahari pagi.
Langkah mereka berdua pelan, melewati sela-sela kamar dan sudut-sudut rumah yang besar tapi sunyi ini. Rumah ini terlalu besar jika hanya ditempati dua orang saja, ya, sesekali ayahnya kadang pulang, hanya numpang tidur dan makan.
Nampak burung-burung gereja baru bangun dari tidurnya, burung-burung itu bersuara merdu, membuat telinga yura terasa geli tapi indah sekali. Di samping reranting pohon itu, terdengar suara-suara orang yang sedang berlari, dan sedang menjajakan dagangannya. Rumah yura tepat berada di depan jalan perumahan yang ramai.
"Non yura sudah besar ternyata?" tanya salah satu pedagang sayuran yang sering lewat di depan rumahnya.
"Siapa bu?" tanya yura singkat dan penasaran.
"Oh itu pak Mako, pak mako sudah kenal ibu kandungmu loh? Bahkan sebelum kamu lahir di dunia, dia ini sudah sering mangkal di daerah perumahan, jadi pasti kaget kalau melihat kamu sudah gede seperti ini," jawab iyu sedikit menjelaskan, yang membuat yura bahagia.
"Seandainya ibu Kanja masih hidup, bakal bahagia dan bangga melihat anaknya cantik seperti ini," puji pak mako kepada yura.
Yura hanya bisa tersenyum manis, sebab memang itulah harapannya sesungguhnya. Tapi waktu udah gak bisa diputar lagi, setidaknya ia masih pernah bertemu ibunya meski di dalam mimpi saja.
"Hmm... ya bagaimana ya pak? Itu sudah kehendak Tuhan?" jawab iyu dengan santainya.
"Begini, sayur bayam dan daging ayam ada?" iyu mencoba mengubah suasana, ia gak mau kalau pagi yang bahagia bagi yura, udah rusak dalam seketika.
"Jelas ada dong bu? Mau berapa?" jawab pak mako.
"Seperti biasanya saja dong pak," akhirnya iyu berencana untuk memasak sayur bayam dan ayam goreng kesukaan yura, makanan sederhana yang selalu yura pesan kepadanya.
Pak mako kemudian melanjutkan manjajakan dagangannya, iyu lalu bertanya pada yura, sambil menepuk pundak gadis itu.
"Duduk di depan teras rumah ya?" ajak iyu begitu lembutnya.
"Iya bu," yura hanya menjawab singkat, tapi raut wajahnya gak ada kesedihan sama sekali. Ia sekarang justru melihat sosok Kanta, sedang tersenyum dan melambai-lambai tepat di seberang jalan.
Betapa kagetnya ia melihat cowok tampan dalam mimpinya itu. "Apakah dia udah gak tahan menahan rindu denganku?" yura menebak-nebak hatinya, sambil berjalan ke teras rumahnya.
Iyu masih belum tahu kalau yura sedang melamunkan sosok cowok itu, dan tentu yura yakin kalau iyu gak bakal paham dengan apa yang ia bicarakan. Jadi ia sembunyikan saja perasaan dan kebahagiaan ini, sampai tiba waktunya.
Iyu masuk ke dalam dapur dan membiarkan yura duduk di depan terasnya. Cahaya pagi benar-benar hangat menyejukkan, kulit yura terasa kenyal dan enak dipegang. Sampai-sampai ia kaget, dan mencoba untuk gak berteriak tiba-tiba.
Ada tangan sedang meraba-raba lengannya, tangan itu halus dan lembut.
"Padahal bangun tidur, tapi kamu masih saja cantil!" goda suara cowok itu, tepat di belakang pundaknya.
"Kanta apa itu kamu?" yura masih agak takut.
"Kamu kira siapa lagi selain aku yang berani menggodamu seperti ini, Yur?" kanta memelas, sebab jawaban yura membuatnya agak menahan napas sebentar.
"Hmmm... yah gak begitu juga maksudku, kamu di sebelah mana seh? Aku kan gak bisa melihat Ta?"
"Di belakangmu kok? Boleh aku duduk di depanmu? Memandang wajahmu begitu lamanya?" kanta menggoda yura dengan bertubi-tubi.
"Katanya kamu hanya bisa bertemu aku dalam mimpi? Tapi kok?"
Sebelum yura bertanya lagi, kanta segera meluruskan apa yang sebenarnya terjadi, dengannya.
"Hmmmm... aku gak tahan untuk segera bertemu denganmu, ya rindu mungkin," matanya membesar sebelah.
"Kok mungkin? Berarti gak seratus persen ya rindumu?" wajah yura agak murung tiba-tiba.
"Kalau seratus persen, nanti dikira aku sedang merayumu, Yur?" lalu kanta tertawa kecil dan memegang kedua telapak tangan yura yang hangat itu.
"Anehnya kita ini seperti sudah kenal sejak lama ya? Apa kamu merasakan hal yang sama, Yur?"
"Hmmm... tanpa aku jawab, kamu pasti sudah tahu jawabannya kan? Entahlah doa apa yang ibuku minta kepada Tuhan, kok bisa-bisanya gitu meminta kamu hadir dalam hidupku, tapi jujur aku bahagia! Jadi aku punya teman, punya sahabat atau mungkin?" yura gak melanjutkan jawabannya.
"Atau mungkin apa, Yur?" kanta tahu apa yag dirasakan oleh yura, sebab hal yang sama juga dirasakan oleh kanta.
"Atau mungkin ya begitu," tiba-tiba suara ibu iyu datang ke arah teras rumah. Hal ini gak membuat kanta kaget dan takut, ia hanya sedikit mundur dan membiarkan iyu melihat keadaan yura yang duduk di depan teras.
"Masih ibu masakkan nak, sabar ya? Habis ini kita sarapan pagi," iyu mencium kening yura penuh kasih sayang.
Melihat hal itu kanta terharu. Ia menghela napas panjang dan sesekali terpukau dengan sosok bernama iyu.
"Orang itu sangat baik ya?" tanya kanta kepada yura.
"Ibu iyu maksudmu? Dia itu bahkan setara dengan ibu kandungku, ia sudah kuanggap keluarga dan separuh jiwaku ada di dalam hatinya," mendengar jawaban yura, kanta sadar jika gadis cantik dan manis ini adalah sosok yang lugu dan polos.
"Hmmm, beruntunglah, Tuhan memperbolehkan aku untuk menjagamu, Yur!" kanta mencium telapak tangan yura, hangat dan lembut. Yang membuat yura kaget bercampur malu.